Konsekuensi politik dari keengganan Jokowi teken UU MD3

Sikap Presiden Jokowi yang enggan menandatangani UU MD3 dinilai akan menguntungkannya secara politik. Bagi publik, ini juga menguntungkan.

Menkumham Yasonna H Laoly (keempat kanan) melakukan penandatangan hasil rapat kerja pengambilan keputusan revisi UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) disaksikan pimpinan dan sejumlah anggota Badan Legislasi DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/2) dini hari./ Antarafoto

Presiden Jokowi hingga kini menolak menandatangani perubahan kedua RUU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), yang disahkan DPR. Secara terbuka, Menkumham Yasonna Laoly mengungkapkan alasan yang mendasari sikap Jokowi adalah karena beberapa pasal panen kritik dari publik. Di antaranya aturan tentang imunitas DPR dan pemanggilan paksa.

Sikap Jokowi itu menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti menghasilkan dampak politik tersendiri. "Jadi kalau Presiden tidak melakukan tanda tangan, maka akan bagus. Tapi jangan lupa, pemerintah juga ikut dalam pembahasan UU tersebut dan tidak memberikan nota keberatan apapun," ujar Ray di Cikini, Rabu (21/2).

Alhasil, penolakan pasca disahkan UU, akan membuat publik memikirkan dua kemungkinan. Pertama, Jokowi akan dianggap menerapkan pencitraan semata, karena jika tak sepakat dari awal, mestinya Jokowi aktif memberi masukan.

"Pemerintah dari awal menunjukkan tidak ada keberatan dari pasal-pasal yang tengah dirumuskan," ungkapnya.

Hal ini kontradiktif dengan sikap Jokowi sekarang yang justru menyiratkan penolakan keras. Sementara dinamika perumusan dulu untuk pasal pemanggilan paksa instansi dan perorangan, justru pemerintah lewat Menkumham yang mengusulkan.