sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Baru disahkan, UU MD3 panen gugatan

Kendati baru disahkan pada Senin (12/2), sejumlah pihak telah melayangkan uji materi UU MD3 pada Mahkamah Konstitusi.

Arif Kusuma Fadholy
Arif Kusuma Fadholy Sabtu, 17 Feb 2018 16:47 WIB
Baru disahkan, UU MD3 panen gugatan

Koalisi masyarakat sipil telah resmi mendaftarkan uji materi UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (14/2). Ada beberapa pasal yang dipermasalahkan dan menjadi perdebatan publik. Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil, Irman Putra Sidin menerangkan, pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan penyimpangan antara lain mengenai pemanggilan paksa, imunitas anggota DPR, dan tindak pidana untuk semua orang.

Pasal yang digugat menurutnya sangat bertentangan dengan marwah lembaga DPR. Secara harfiah, DPR adalah lembaga yang dipilih rakyat untuk menjadi penyambung lidah mereka. "Tiba-tiba masyarakat justru bisa dipanggil paksa, ini anomali. Ada apa di sini? Padahal kita memilih parpol karena percaya aspirasi didengarkan. Sekarang mau panggil paksa kita," kata Irman di Warung Daun, Sabtu (17/2).

Terkait pasal tersebut, Irman menerangkan analisisnya. “Saya kira UU MD3 merupakan produk politik dari DPR dan pemerintah. Dugaan saya, niat awal membuat UU ini mungkin sudah bagus, tapi hasil akhirnya saja yang berbeda,” ujarnya.

Perbedaan antara tujuan awal dengan penulisan akhir UU ini dimungkinkan terjadi. Sebab, seringkali ada ketidaksepahaman antara anggota yang satu dengan lainnya. "Yang membuat dan menulis aturan itu memang DPR, tapi kadang beberapa anggota enggak paham isinya. Ujung-ujungnya, para ahli dipanggil untuk menafsirkan UU itu, dari berbagai perspektif. Akhirnya muncul perbedaan tafsir, ini hanya problem tafsir teks dan tanda baca,” imbuhnya.

Anggota Komisi III fraksi PPP, Arsul Sani menerangkan, PPP merupakan salah satu partai yang menolak dan walk out (WO) saat proses sidang penetapan UU MD3 berlangsung. Delapan fraksi menerima, sedangkan dua yang menolak. Selain PPP, fraksi Partai Nasdem juga menolak.

Alasan penolakan ini menurut Arsul adalah lantaran ada kesan terburu-buru dalam penyusunan dan pengesahan UU MD3. “Revisi undang-undang secara total memerlukan persiapan dan pembahasan yang hati-hati. Kadang perlu juga studi banding, meski tidak harus pergi ke luar negeri. UU MD3 ini memang harus direvisi menyeluruh. Kalau dari kami, pengesahan UU MD3 ini terkesan terburu-buru," ujarnya.

Dia merekomendasikan supaya UU MD3 dipisah muatannya per lembaga, sehingga setiap anasir di MPR, baik DPR dan DPD memiliki aturan sendiri. Namun yang terjadi, badan legislatif (baleg) justru menggabungkan UU ini dalam satu paket, karena gagal mufakat.

Arsul berharap, setiap pengesahan UU harus melibatkan partisipasi publik. Semisal dalam proses revisi RKUHP, yang disusun tim panja dengan pelan dan tak tergesa-gesa.

Sponsored

"Kami ingin UU MD3 seperti itu karena jika disahkan terburu-buru, pasti akan memicu beda tafsir di masyarakat. Dalam UU MD3 ini misalnya, PPP masih silang pendapat dengan fraksi lain mengenai aturan pemanggilan paksa dan penyanderaan. Sayangnya, kami kalah suara karena mayoritas fraksi mengatakan berbeda,” tuturnya.

UU MD3 sendiri sedari awal penggodokannya telah melahirkan banyak kritik publik. Selain dianggap menjauhkan publik dari DPR, dikhawatirkan aturan ini akan membuat DPR menjadi lembaga superbody. Apalagi mengingat kasus korupsi di kalangan DPR masih menggurita dalam beberapa tahun terakhir.

Berita Lainnya
×
tekid