sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Konsekuensi politik dari keengganan Jokowi teken UU MD3

Sikap Presiden Jokowi yang enggan menandatangani UU MD3 dinilai akan menguntungkannya secara politik. Bagi publik, ini juga menguntungkan.

Arif Kusuma Fadholy
Arif Kusuma Fadholy Rabu, 21 Feb 2018 19:00 WIB
Konsekuensi politik dari keengganan Jokowi teken UU MD3

Presiden Jokowi hingga kini menolak menandatangani perubahan kedua RUU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), yang disahkan DPR. Secara terbuka, Menkumham Yasonna Laoly mengungkapkan alasan yang mendasari sikap Jokowi adalah karena beberapa pasal panen kritik dari publik. Di antaranya aturan tentang imunitas DPR dan pemanggilan paksa.

Sikap Jokowi itu menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti menghasilkan dampak politik tersendiri. "Jadi kalau Presiden tidak melakukan tanda tangan, maka akan bagus. Tapi jangan lupa, pemerintah juga ikut dalam pembahasan UU tersebut dan tidak memberikan nota keberatan apapun," ujar Ray di Cikini, Rabu (21/2).

Alhasil, penolakan pasca disahkan UU, akan membuat publik memikirkan dua kemungkinan. Pertama, Jokowi akan dianggap menerapkan pencitraan semata, karena jika tak sepakat dari awal, mestinya Jokowi aktif memberi masukan.

"Pemerintah dari awal menunjukkan tidak ada keberatan dari pasal-pasal yang tengah dirumuskan," ungkapnya.

Hal ini kontradiktif dengan sikap Jokowi sekarang yang justru menyiratkan penolakan keras. Sementara dinamika perumusan dulu untuk pasal pemanggilan paksa instansi dan perorangan, justru pemerintah lewat Menkumham yang mengusulkan.

Kini pemerintah mengamini kritik publik tentang dampak negatif pasal tersebut. Ia mencotohkan betapa bahayanya ketika pers dipanggil paksa DPR terkait masalah penyiaran. Jika menolak datang, insan pers bisa diseret paksa.

Konsekuensi kedua, Jokowi akan dinilai pro pada kepentingan publik, seiring masifnya reaksi publik atas UU ini. Menurut pakar hukum tata negara Andi Muhammad Asrun, ini berdampak positif bagi Jokowi, apalagi jelang Pilpres 2019. Sikapnya bisa mendongkrak citra baik di depan publik. “Di samping itu kita tahu desakan terbesar Jokowi tentang penolakan UU MD3 datang dari kantung Islam berpengaruh, LBH GP Ansor,” ungkapnya di Hotel Atlet Senayan, pekan lalu.

Kendati demikian, penolakan Jokowi tak akan membuat UU batal secara hukum. Sebab berdasarkan pasal 20 ayat 5 UUD 1945, RUU sah menjadi UU dan wajib diundangkan meski tidak ditandatangani presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak disetujui bersama. Aturan lebih lanjut, termaktub dalam pasal 170 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Jokowi tidak tanda tangan pun UU tetap berlaku,” imbuhnya.

Sponsored

Lebih lanjut, publik bisa judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan keengganan Jokowi untuk teken UU tersebut, kemungkinan MK untuk mengabulkan permintaan publik jauh lebih besar. Sebab, ini mengindikasikan ada beda pendapat yang serius antara ekskutif dan legislatif.

Di tempat terpisah, pengajuan gugatan ini memang dianjurkan Yasonna. "Saya persilakan teman-teman menggugat ke MK, tapi setelah jadi UU. Jangan digugatnya sebelum jadi UU, nanti batal. Daripada kita capek-capek berdebat, lebih baik gugat saja ke MK," ujarnya, dikutip dari Antara.

Gugatan ini menjadi solusi paling mungkin, sebab menurut Yasonna, Jokowi tidak akan menyusun Peraturan Pemerintah Penganti UU (Perppu).

"Perppu memang salah satu solusi, tapi ini karena reaksi publik, dan pemerintah melepas tanggung jawab. Tinggal ke MK apakah mau mengabulkan permintaan rakyat atau tidak. Mudah-mudahan MK melihat reaksi publik ini," tandas Ray.

Beberapa UU yang berlaku tanpa tanda tangan presiden, antara lain UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Berita Lainnya
×
tekid