MKD: Pendefinisan pasal merendahkan DPR menyusul

Publik gaduh mengkritik UU MD3 yang disahkan DPR. Protes tersebut terutama karena beberapa pasal tak jelas didefinisikan batasannya.

Mahasiswa yang tergabung salam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) membakar ban saat menggelar aksi di depan gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (7/3)./ Antarafoto

Beberapa waktu lalu UU MD3 resmi disahkan oleh DPR, dengan urutan UU Nomor 2 Tahun 2018. UU ini secara khusus mengatur tugas dan peranan MPR, DPR, dan DPD termasuk Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) yang turut disusun tupoksi barunya. Yang menjadi kontroversi, UU ini tak jelas mengatur tentang batasan perendahan DPR lewat kritik publik. Pasal di dalamnya pun tergolong sumir, sehingga membutuhkan pendefinisian lebih lanjut.

Tak ayal, pengesahan ini ini menuai protes dari masyarakat. Namun MKD lewat rilisnya, Kamis (14/2) menulis, akan mendefinisikan batasan-batasan itu secara rigid dan berhati-hati.

Lebih detail, UU ini mengatur fungsi MKD, sesuai pasal 122 huruf (l), untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Kemudian di pasal 245 ayat (1), pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mengantongi pertimbangan MKD.

Pasal tersebut yang dinilai rentan mengintensifkan kriminalisasi publik. Alhasil MKD lewat rilisnya berinisiatif mempersiapkan aturan turunan untuk melaksanakan UU ini.