Pakar soroti kasus Ade Armando dari peran sebagai buzzer politik 

Gerakan mahasiswa hari ini hidup di tengah situasi manipulasi opini publik yang membanjiri media sosial

Pegiat media sosial Ade Armando diwawancari wartawan sebelum aksi pengeroyokan di depan gedung DPR, Senayan, Senin (11/4/2022). Foto: Alinea.id/Marselinus Gual.

Direktur Pusat Studi dan Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, menilai kekerasan yang terjadi pada pegiat media sosial Ade Armando saat aksi unjuk rasa mahasiswa 11 April 2022 lalu tak lepas dari adanya kebencian yang telah terbangun dari ritual elektoral dengan penggunaan politik identitas yang digunakan demi kemenangan elektoral.

Akibatnya, kata dia, perselisihan di tingkat akar rumput menjadi tidak pernah usai, bahkan setelah pemilu selesai dan Prabowo Subianto telah menjadi bagian dari pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

"Siapa yang menjadi agen kebencian, merekalah para buzzer politik. Studi LP3ES, Universitas Amsterdam, UNDIP dan Drone Emprit menyebutkan kedua kubu sama-sama menggunakan cybertroop dengan framing kepada lawan politik melalui politik identitas," kata Wijayanto dalam sebuah diskusi LP3ES bertajuk "Gerakan Mahasiswa dan Masa Depan Demokrasi" pada Rabu (13/4) malam.

Menurut Wijayanto, buzzer politik berperan penting untuk menyulut kebencain dan kekerasan verbal dengan cap-cap kadrun dan cebong. Buzzer juga berperan penting dalam memanipulasi opini publik ketika menstigma Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seolah telah dikuasai Taliban. 

"Ada setengah juta percakapan dalam waktu satu minggu menjelang disahkannya UU KPK baru, yang berisi dukungan kepada revisi UU KPK akibat isu Taliban," jelas dia.