Pemilu Serentak 2024 lebih banyak mudaratnya

Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 menggabungkan antara pilpres, pileg, dan pilkada potensi konfliknya lebih besar.

Ilustrasi. Alinea.id/Dwi Setiawan

Ada tiga kelemahan pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 secara serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Hal itu disampaikan aggota Komisi II DPR RI, Surahman Hidayat.
 
Pertama, menurut dia, banyak daerah yang memiliki pemimpin berstatus pejabat sementara (pjs) dalam jangka waktu dua tahun. "Akan ada daerah-daerah yang memiliki pjs cukup lama, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi efektivitas kinerja pemerintahan daerah. Pjs memiliki kewenangan dan dukungan masyarakat yang berbeda dibandingkan kepala daerah definitif," ujar Surahman, dalam keterangannya, Minggu (31/1).

Kedua, pelaksanaan pilkada serentak memiliki potensi konflik yang lebih tinggi. Terlebih, dengan situasi masyarakat yang dinilai bingung menghadapi pandemi Covid-19. "Pilkada serentak akan membuat situasi menjadi sensitif, sedikit pemicu dapat menimbulkan konflik horizontal," tuturny.

Ketiga, kata dia, biaya pilkada serentak dalam satu waktu dinilai terbilang lebih mahal dan potensi angka golput semakin tinggi. Karena itu, politikus PKS ini menyarankan, agar pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan.

"Pelaksanaan pilkada tidak perlu dipaksakan dilaksanakan serentak dalam satu waktu baik tahun 2024 sebagaimana UU Pemilu maupun 2027 sebagaimana draft revisi UU Pemilu yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI," terang Surahman.

Terlebih, kata Surahman, telah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomkr 55/PUU-XVII/2019 tentang desain keserentakan pemilu. Dalam putusan itu, dia berkata, pemilu serentak memiliki makna pilpres, DPR RI dan DPD RI dilakukan dalam waktu yang sama.