Penambahan pimpinan MPR diibaratkan politik jatah preman

Penambahan kursi pimpinan MPR dinilai hanya upaya bagi-bagi kue kekuasaan di DPR.

Media meliput jalannya rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8). /Antara Foto

Penambahan kursi pimpinan MPR dinilai tidak mendesak dan tidak berdasarkan asas manfaat. Menurut peneliti senior Populi Center, Afrimadona, usulan menambah kursi MPR hanya upaya bagi-bagi kue kekuasaan di gedung DPR. 

"Dengan formasi yang cukup gemuk, efektif enggak, misalnya, nanti prosesnya kalau semakin banyak kepala yang berdebat? Apalagi, orang politik. Bisa saja nanti dengan sepuluh orang yang berdisikusi akan timbul sebelas keputusan," ujar Afrimadona di kantornya di Jakarta, Rabu (21/8). 

Karena itu, Afrimadona memandang, wacana penambahan kursi pimpinan MPR hanya digulirkan untuk mengakomodasi kepentingan elite-elite parpol penghuni Senayan.  "Lebih (seperti) bagi-bagi jatah preman saja. Kalau pimpinan itu berdasarkan partai yang lolos, misalnya, dia akan berubah terus nanti. Itu juga tidak baik bagi kita," tuturnya. 

Lebih jauh, ia menilai, jika disepakati, penambahan kursi MPR bakal merepotkan pemerintah yang harus merevisi APBN 2020. "Karena itu, harus ada argumen yang lebih legitimate, yakni apakah itu dari segi kegunaan dan sebagainya," imbuh dia. 

Senada, Ketua Kode Inisiatif Veri Junaedi mengatakan hingga kini belum ada urgensi untuk menambah kursi pimpinan MPR. "Karena yang kebaca adalah, ya, sudahlah, biar gak ribut (antar partai politik). Itu yang terbaca di ruang publik," ujar Veri.