Penundaan pemilu disebut sebagai kudeta konstitusi

Propaganda penundaan pemilu disebut dilakukan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan tiga petinggi partai politik.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan. Foto tangkapan layar.

Political Economy and Policy Studies (PEPS) memandang pembangunan opini untuk penundaan pemilu dan masa jabatan presiden tiga periode sebagai propaganda untuk melanggar konstitusi. Apalagi ada pihak-pihak yang menggunakan Lab45 dan lembaga survei untuk menunjukkan mayoritas masyarakat masih menginginkan Jokowi sebagai presiden, sehingga diperlukan penundaan pemilu. 

Managing Director PEPS, Anthony Budiawan mengatakan propaganda ini dilakukan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan tiga petinggi partai politik, yakni Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (PAN), dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Ketiganya dianggap kompak minta penundaan pemilu sekitar satu, dua, hingga tiga tahun.

"Luar biasa. Baru dua tahun berkuasa sudah berpikir memperpanjang masa jabatan dari menunda pemilu sampai menambah periode jabatan. Tentu saja semua ini tidak sah dan melanggar konstitusi alias kudeta konstitusi. Meskipun begitu, segala upaya dilakukan untuk memenuhi nafsu kekuasaan memperpanjang masa jabatan," kata Anthony dalam keterangan, Sabtu (2/4).

Anthony melihat, narasi penundaan pemilu dilakukan dengan membangun opini publik menggunakan big data Lab45 yang disebut menangkap keinginan masyarakat. Juga, data dari lembaga survei yang mengatakan kepuasan masyarakat terhadap Jokowi mencapai 70% lebih, bahkan 73,9%. 

Namun, kata Anthony, sambutan masyarakat mengejutkan. Menurutnya, rakyat tidak bisa menerima pemerintah melanggar konstitusi. Perlawanan sengit datang bertubi-tubi, bahkan ada yang menyuarakan revolusi demi mempertahankan konstitusi.