Saat kontrak politik tak lagi sekadar basa-basi...

Kontrak politik kerap dianggap tak bertaji. Perlu diformalisasi dalam aturan kepemiluan?

Ilustrasi kontrak politik. Alinea.id/Aisya Kurnia

Suasana rapat informal di selasar Blok D Kampung Susun Aquarium, Penjaringan, Jakarta Utara mendadak menghangat, Minggu (4/6) petang itu. Adu argumen kian seru begitu para peserta rapat diminta merinci kasus-kasus warga miskin yang terbelit urusan birokrasi di DKI.

"Soal masalah IMB (izin mendirikan bangunan) di Kampung Balokan itu gimana? Sudah sampai mana? Apa lagi yang mau kita perjuangin," ujar salah seorang peserta rapat. 

Selain warga setempat, setidaknya ada 50 anggota Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dari seantero Jakarta yang hadir dalam persamuhan itu. Sejumlah persoalan dibahas, mulai dari persoalan sengketa tanah, izin mendirikan bangunan hingga kontrak politik dengan caleg yang bakal bertarung di Pemilu 2024. 

"Tahun politik agak susah kita menuntut aspirasi karena perhatian pejabat sedang ke Pilpres 2024," ujar Koordinator JRMK Minawati yang dipercaya memimpin rapat itu. 

Menurut Wati, sapaan akrab Minawati, warga miskin yang tergabung dalam JRMK harus berhati-hati dalam menyampaikan aspirasi. Ia khawatir warga Kampung Akuarium dibidik politisi berkantong tebal dengan strategi politik uang. "Dikhawatirkan menyeret nama organisasi JRMK," ujar dia.