sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Saat kontrak politik tak lagi sekadar basa-basi...

Kontrak politik kerap dianggap tak bertaji. Perlu diformalisasi dalam aturan kepemiluan?

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 10 Jun 2023 06:33 WIB
Saat kontrak politik tak lagi sekadar basa-basi...

Suasana rapat informal di selasar Blok D Kampung Susun Aquarium, Penjaringan, Jakarta Utara mendadak menghangat, Minggu (4/6) petang itu. Adu argumen kian seru begitu para peserta rapat diminta merinci kasus-kasus warga miskin yang terbelit urusan birokrasi di DKI.

"Soal masalah IMB (izin mendirikan bangunan) di Kampung Balokan itu gimana? Sudah sampai mana? Apa lagi yang mau kita perjuangin," ujar salah seorang peserta rapat. 

Selain warga setempat, setidaknya ada 50 anggota Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dari seantero Jakarta yang hadir dalam persamuhan itu. Sejumlah persoalan dibahas, mulai dari persoalan sengketa tanah, izin mendirikan bangunan hingga kontrak politik dengan caleg yang bakal bertarung di Pemilu 2024. 

"Tahun politik agak susah kita menuntut aspirasi karena perhatian pejabat sedang ke Pilpres 2024," ujar Koordinator JRMK Minawati yang dipercaya memimpin rapat itu. 

Menurut Wati, sapaan akrab Minawati, warga miskin yang tergabung dalam JRMK harus berhati-hati dalam menyampaikan aspirasi. Ia khawatir warga Kampung Akuarium dibidik politisi berkantong tebal dengan strategi politik uang. "Dikhawatirkan menyeret nama organisasi JRMK," ujar dia. 

Saat ini, ada tujuh orang anggota JMRK yang bakal maju sebagai caleg DPRD DKI Jakarta lewat Partai Buruh. Dua lainnya maju menjadi caleg DPR RI. Salah satu caleg DPRD DKI dari Partai Buruh ialah Enny Rohayati, eks Koordinator JRMK.

Kepada Alinea.id, Enny bercerita ditempatkan di dapil Jakarta 3 yang meliputi Penjaringan, Tanjung Priok dan Pademangan. Berdompet tipis, ia mengaku telah menawarkan kontrak politik kepada warga Kampung Akuarium untuk mendukungnya pada Pileg 2024. 

Dalam kontrak politik itu, sejumlah kesepakatan telah dicapai. Jika terpilih dan dianggap melanggar kesepakatan atau tidak memperjuangkan aspirasi warga, Enny harus siap diganti.  "Ya, mudah-mudahan kalau saya kepilih, enggak sampai segitunya," ucap Enny.

Sponsored

Enny mengaku tidak mudah menjaring suara warga hanya dengan mengandalkan kontrak politik. Ia menyebut kebanyakan warga DKI sudah terbiasa diperdaya politisi dengan politik uang. Dalam sebuah momen pedekate di Tanjung Priok, Enny bahkan sempat merasakan "dipalak" warga setempat. 

"Saya bilang ke mereka, 'Saya enggak ada duit.' Saya tanya ke mereka, 'Kalian maunya apa? Ayo kita buat kontrak politik!' Jangan terus-terusan nerima politik uang," cetus Enny. 

Persoalan lainnya, Enny berada di dapil neraka yang umumnya disii caleg petahana berkantong tebal. Menurut Enny, sejumlah caleg bahkan sudah mulai melancarkan politik uang untuk meraup simpati warga di dapil.  

"Ada beberapa (caleg) yang sudah memberi Rp100 ribu atau Rp200 ribu. Jujur saja, ini berat. Ya, tapi namanya usaha. Tetap kontrak politik untuk mengurangi politik uang itu harus saya lakukan," ucap Enny.

  Suasana rapat informal yang dihadiri anggota Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan warga setempat di di selasar Blok D Kampung Susun Aquarium, Penjaringan, Jakarta Utara,  Minggu (4/6). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Gerus politik uang

Ketua Koperasi Kampung Aquarium Dharma Diani membenarkan sudah ada kontrak politik yang disepakati warga dengan sejumlah caleg Partai Buruh. Menurut dia, kontrak politik merupakan strategi yang disepakati untuk memastikan warga tak "dikhianati" para caleg setelah mereka terpilih. 

"Dari yang sudah-sudah, mereka hanya datang kasih uang atau sembako. Lima tahun setelahnya, mereka tidak lagi mewakili kami sehingga kontrak politik kami pilih agar tetap punya wakil di DPRD atau DPR RI besok," kata perempuan yang akrab disapa Yani itu kepada Alinea.id, Minggu (4/6).

Total ada 177 kepala keluarga yang tinggal di Kampung Susun Akuarium. Para penghuni kampung itu rata-rata ialah korban penggusuran pada era pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada 2016. Menurut Yani, mayoritas warga Kampung Susun Akuarium ialah konstituen eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.  

"Kami melakukan kontrak politik dengan Anies Baswedan. Sementara, setelah beralih ke (pejabat Gubernur DKI) Heru (Budi Hartono), kontrak itu tidak berlanjut lagi. Jadi, perlu strategi baru agar aspirasi kami tetap ditindaklanjuti. Kami perlu wakil di DPRD," ucap Yani. 

Sejauh ini, kata Yani, baru caleg Partai Buruh yang menjalin kontrak politik dengan warga. Ia juga membenarkan warga setempat punya kuasa untuk memberhentikan legislator terpilih yang tak taat kontrak politik. "Calon kami bisa diganti oleh partai dengan yang lain sesuai rekomendasi kami," ucap dia. 

Ikhtiar mencegah politik uang dengan kontrak politik juga tengah dijalankan Suaib, Ketua RW 07, Tugu Selatan, Koja, Jakarta Utara. Suaib mengaku rutin mengedukasi warga di lingkungannya supaya tak menukar suara mereka dengan duit pada Pemilu 2024. 

"Saya bilang ke masyarakat, 'Paling cuma dapet Rp50 ribu sampai Rp200 ribu.' Lima tahun setelahnya, kita enggak dapat apa-apa. Buat apa?" ujar Suaib kepada Alinea.id, Selasa (6/6).

Suaib menyebut isi kontrak politik belum mewujud. Namun, ia sudah bolak-balik menyampaikan kepada warga supaya memetakan persoalan-persoalan yang memerlukan sentuhan advokasi dari para caleg yang berlaga di pemilu nanti. 

"Agar suara yang kita berikan tidak dikalkulasi dengan uang. Tetapi, dengan kinerja dia (caleg terpilih) untuk kita. Sudahlah uang Rp50 ribu atau Rp500 ribu tidak akan mengubah hidup kita lebih baik," ujar Ketua DPW Forum RT/RW Jakarta Utara itu. 

Diakui Suaib, upaya mencegah politik uang tak akan mudah. Apalagi, sebagian warga sudah terbiasa "menjual" suara mereka kepada para caleg saban pemilu. "Paling tidak di lingkungan saya, saya coba dengan kontrak politik," ujar Suaib.

Ilustrasi bendera parpol. /Foto Antara

Perlu diformalisasi? 

Guru besar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan mengatakan upaya sebagian kelompok masyarakat mengganti politik uang dengan kontak politik patut diapresiasi. Ia merasa politik uang kerap membuat wakil rakyat yang tak berkualitas lolos ke parlemen. 

"Saya melihat mereka (warga yang menolak politik uang) seperti semacam oase di padang tandus. Politik uang yang semakin memburuk ini sudah begitu parah," kata Fauzan saat dihubungi Alinea.id, Selasa (6/6).

Meski begitu, Fauzan memandang upaya menggerus politik uang lewat kontrak politik tak akan mudah. Salah satu persoalan utamanya ialah karakter pemilih di Indonesia yang belum ideal dan mudah diperdaya politikus. 

"Orang itu memilih bukan karena mencari atau melihat program kerja, tapi karena kedekatan. Hal-hal yang sifatnya masih sangat-sangat simpe, seperti karena ada hubungan darah atau pertemanan. Kemudian, (warga) mungkin diberikan sesuatu atau (politikus) menjanjikan sesuatu," kata Fauzan.

Persoalan lainnya, lanjut Fauzan, kontrak politik yang rutin disepakati antara caleg atau capres dengan rakyat pada saat pemilu tak bertaji. Tak ada sanksi hukum bagi penguasa atau caleg terpilih yang lalai menjalankan kontrak politik. "Kontrak politik hanya soal etik. Ketika dia tidak menjalankan, paling dia tidak dipilih lagi," jelasnya. 

Fauzan mengusulkan agar kontrak politik diformalisasi dalam aturan kepemiluan. Sebagai preseden, ia mencontohkan aturan kontrak politik antara kepala daerah terpilih dengan rakyat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Bedanya, aturan itu berlaku untuk format pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

Dalam UU itu, menurut Fauzan, ada pasal yang mengatur pemberhentian kepala daerah bila mengalami krisis kepercayaan publik. "Sudah tidak bisa dipercaya oleh masyarakat kebijakannya sudah tidak dilaksanakan, demo berkali-kali. Ya, itu bisa diusulkan untuk diberhentikan," ucap Fauzan.

Regulasi serupa, lanjut Fauzan, bisa disusun dan diberlakukan untuk para caleg dan capres yang terikat kontrak politik dengan konstituen. Namun, ia mengingatkan agar formalisasi kontrak politik dalam regulasi itu harus dibahas secara matang dan mendetail. 

Ia mencontohkan frasa kepercayaan publik dalam UU Pemda yang potensial disalahartikan. "Krisis kepercayaan publik itu harus diukur karena nanti dikhawatirkan ada perusahaan atau bohir yang mengerahkan massa untuk demo. Masyarakat disuruh demo tiap hari untuk menunjukkan krisis kepercayaan publik. Ini mudharat dari aturan itu," jelasnya. 

 

Berita Lainnya
×
tekid