Sistem pemilu proporsional terbuka: Agar demokrasi tak berubah oligarki

Sistem pemilu proporsional terbuka masih yang terbaik untuk demokrasi Indonesia, setidaknya sampai saat ini.

Ilustrasi pileg dengan sistem proporsional tertutup. Alinea.id/MT Fadillah

Perdebatan proporsional terbuka dan tertutup

Frasa 'proporsional terbuka' mendadak ramai jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Tentu saja penyebabnya adalah adanya gugatan dari segelintir orang soal sistem proporsional terbuka yang sudah dipakai sejak Pemilu 2009. Tercatat ada enam individu yang menggugat sistem proporsional terbuka ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2022.

Keenam individu itu adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi (bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan), dan Nono Marijono (warga Depok).

Mereka berharap MK menganulir aturan itu. Selanjutnya, mengembalikan sistem proporsional tertutup pada pelaksanaan Pemilu 2024. Sistem proporsional terbuka sudah digunakan selama tiga kali pemilu. Para penggugat menganggap, selama sistem ini digunakan, para calon legislator yang terpilih semakin menjauh dari ideologi partai tempat mereka bernaung. 

"Tidak memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol. Tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi parpol atau organisasi berbasis sosial politik," demikian sejumlah alasan pemohon menguraikan kekurangan proporsional terbuka.