Sudah 2 dekade, reformasi TNI berjalan mundur

Pertahanan negara menurut Samuel Huntington dibatasi hanya pada urusan terkait pengelolaan ancaman bukan sosial politik.

Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto memimpin Sertijab KSAU. (foto: A Akbar/Antara)

Sejak digulirkan pada 1998 silam, reformasi TNI dinilai mengalami kemunduran. Salah satu indikasinya ialah pergeseran peran mereka dalam kehidupan sosial politik dewasa ini.

“Harusnya reformasi TNI selesai pada 2010, namun sekarang kita melihat banyak TNI masih tak paham dengan posisi mereka sebagai aparat pertahanan negara,” ujar Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Muradi saat berbincang dengan Alinea, Rabu (7/2).

Pertahanan negara menurut Samuel Huntington dibatasi hanya pada urusan terkait pengelolaan ancaman pertahanan nasional, bukan keamanan apalagi urusan sosial politik. Dalam ‘The Soldier and State’ (1957),  penulis dan pemerhati politik itu mengungkapkan, jika militer terjun di luar bidangnya, ia akan jadi pretorian, terjebak dalam urusan sipil semata.

Sementara TNI kini masuk dalam lingkup lebih luas, di luar otoritasnya. “Kasus terorisme ini semestinya berada di tangan Polri. Lalu yang paling terang kita lihat, adalah pelibatan mereka dalam konflik lahan, penggusuran warga, hingga pengelolaan pangan,” terang Khairul Fahmi, pengamat militer dari ISESS.

Kewenangan yang centang perenang ini, jika tidak diatur jelas akan berakibat fatal. Khairul menilai, jamak dipahami model pengelolaan konflik atau problem sosial politik yang dilakukan TNI rentan dengan intimidasi dan upaya represi. Kalau ini dibiarkan, militer akan merasa memperoleh ruang untuk kian mengaburkan posisinya sebagai alat pertahanan negara.

“Saya melihat, TNI bermain dengan pengelolaan rasa takut di hampir semua masalah di masyarakat, ini tidak baik,” terangnya.

Khairul membaca permasalahan tersebut sebagai gejala kemunduran dalam pelaksanaan agenda reformasi di sektor keamanan dan pertahanan.