sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sudah 2 dekade, reformasi TNI berjalan mundur

Pertahanan negara menurut Samuel Huntington dibatasi hanya pada urusan terkait pengelolaan ancaman bukan sosial politik.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Rabu, 07 Feb 2018 22:47 WIB
Sudah 2 dekade, reformasi TNI berjalan mundur

Sejak digulirkan pada 1998 silam, reformasi TNI dinilai mengalami kemunduran. Salah satu indikasinya ialah pergeseran peran mereka dalam kehidupan sosial politik dewasa ini.

“Harusnya reformasi TNI selesai pada 2010, namun sekarang kita melihat banyak TNI masih tak paham dengan posisi mereka sebagai aparat pertahanan negara,” ujar Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Muradi saat berbincang dengan Alinea, Rabu (7/2).

Pertahanan negara menurut Samuel Huntington dibatasi hanya pada urusan terkait pengelolaan ancaman pertahanan nasional, bukan keamanan apalagi urusan sosial politik. Dalam ‘The Soldier and State’ (1957),  penulis dan pemerhati politik itu mengungkapkan, jika militer terjun di luar bidangnya, ia akan jadi pretorian, terjebak dalam urusan sipil semata.

Sementara TNI kini masuk dalam lingkup lebih luas, di luar otoritasnya. “Kasus terorisme ini semestinya berada di tangan Polri. Lalu yang paling terang kita lihat, adalah pelibatan mereka dalam konflik lahan, penggusuran warga, hingga pengelolaan pangan,” terang Khairul Fahmi, pengamat militer dari ISESS.

Kewenangan yang centang perenang ini, jika tidak diatur jelas akan berakibat fatal. Khairul menilai, jamak dipahami model pengelolaan konflik atau problem sosial politik yang dilakukan TNI rentan dengan intimidasi dan upaya represi. Kalau ini dibiarkan, militer akan merasa memperoleh ruang untuk kian mengaburkan posisinya sebagai alat pertahanan negara.

“Saya melihat, TNI bermain dengan pengelolaan rasa takut di hampir semua masalah di masyarakat, ini tidak baik,” terangnya.

Khairul membaca permasalahan tersebut sebagai gejala kemunduran dalam pelaksanaan agenda reformasi di sektor keamanan dan pertahanan.



Sementara Muradi mencatat dua isu penting di balik agenda ini. Ia menyebut ada dua syarat yang menyebabkan agenda reformasi TNI tak berjalan maksimal. Pertama, ada ruang yang kemudian bisa digunakan untuk menyalurkan energi besar kalangan militer. Kedua faktor kesejahteraan, yang lagi-lagi berimbas langsung pada masyarakat.

“Harus ada aturan tegas yang mengatur dimana posisi mereka dalam konstelasi ini,” paparnya.

Terkait kondisi spesifik, pelibatan militer di bidang lain, Muradi tak menafikan hal itu mungkin terjadi. Ia tak mempersoalkan, militer bermanuver ke bidang politik. Hanya saja, setelah ditetapkan secara definitif di gelaran Pilkada misalnya, maka ia harus melepaskan
jabatannya di bidang militer.

Sponsored

Di bidang ekonomi pun, pelibatan militer juga pernah terjadi di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Dalam kasus darurat pangan, mantan RI-1 itu juga sempat mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Iklim Ekstrim. Di aturan tertulis itu, SBY menginstruksikan Panglima TNI untuk mengambil tindakan penyelesaian. Saat iklim ekstrim berlalu, TNI tak lagi terlibat dalam urusan itu, sesuai instruksi SBY.

Namun di era Presiden Joko Widodo, ada kemunduran dengan banyaknya pelibatan
TNI dalam konflik sosial. Umumnya, pelibatan itu hanya berbasis keterangan lisan, bukan instruksi tertulis. Misalnya, beberapa pejabat sipil kerap menggandeng militer untuk resolusi konflik atau mengawal masalah sosial. Seperti yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat menggusur rumah liar warga.

Lalu mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun pernah curi panggung dengan mendekati kalangan Muslim di peristiwa 212. “Padahal jelas itu bukanlah tugas dari militer,” tegas Khairul.

Ahmad Yani Basuki, mantan Staf Khusus Presiden pernah menulis penyebab TNI turut serta di bidang-bidang tersebut. “Ini tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. TNI lahir dari revolusi dan perang. Dulu militer bisa mengorganisir massa dengan kekuasaannya. Rakyat dilibatkan, sementara militer berfungsi sebagai organisator dan pembuat strategi. Sistem ini terus direpetisi di era Orde Baru, terutama saat Soeharto memberlakukan Dwi Fungsi ABRI, di mana militer berkuasa masuk di segala lini,” urainya dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat.

Dewasa ini, perumusan fungsi militer di berbagai bidang kembali menguat. Terlebih, saat polarisasi publik makin tajam. “Isu primordialisme, sentimen rasial, agama, ultranasionalisme, dan komunisme yang menguat belakangan ini membuka ruang bagi militer untuk mencitrakan dirinya sebagai pahlawan,” tandas Khairul.
 

Berita Lainnya
×
tekid