close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menhan, Prabowo Subianto, menetapkan 2.497 personel komcad pada 2023. Dokumentasi Kemhan
icon caption
Menhan, Prabowo Subianto, menetapkan 2.497 personel komcad pada 2023. Dokumentasi Kemhan
Peristiwa
Jumat, 13 Juni 2025 10:00

Absurdnya batalyon "sipil" ala Prabowo

Prabowo ingin agar setiap kabupaten dijaga oleh satu batalyon TNI AD.
swipe

TNI Angkatan Darat (AD) berencana menambah 24.000 prajurit tamtama baru pada tahun ini. Para personel baru itu akan disiapkan untuk mengisi Batalyon Teritorial Pembangunan yang bakal disebar ke seluruh Indonesia. 

Rencana itu diungkap Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AD Brighen Wahyu Yudhayana dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, awal Juni lalu. Para prajurit baru tak disiapkan menjadi pasukan tempur, melainkan untuk membentuk sejumlah kompi "sipil", semisal kompi pertanian, kompi peternakan, dan kompi medis.

Mulanya, wacana pembentukan batalion itu digulirkan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR pada 25 November 2024. Sjafrie mengklaim Batalyon Teritorial Pembangunan sebagai gagasan Presiden Prabowo Subianto. 

Menurut Sjafrie, Prabowo ingin agar setiap kabupaten dijaga satu Batalyon Teritorial Pembangunan. Untuk tahap awal, TNI merencanakan pembentukan seratus batalyon. "Hal ini menunjukkan peran TNI yang lebih holistik," ujar Sjafrie ketika itu. 

Pengamat militer dari Universitas Jenderal Soedirman, Andi Ali Said Akbar menilai rencana TNI merekrut 24 ribu prajurit untuk keperluan pangan dan kesehatan potensial merusak profesionalisme TNI. Dalam negara demokrasi, militer semestinya fokus sebagai alat pertahanan negara. 

Keterlibatan militer dalam urusan sipil, kata Andi, harusnya dibatasi pada saat kondisi darurat dan atas permintaan pemerintah sipil sendiri, semisal saat terjadi peristiwa bencana alam, huru hara, konflik etnis, dan keadaan darurat lainnya. 

"Sementara negara kita tidak dalam kondisi darurat kelaparan nasional sehingga belum saatnya militer terlibat langsung mengurus pembangunan sektor sipil seperti ketahanan pangan," kata Andi kepada Alinea.id, Selasa (11/6).

Andi meminta pemerintah menghindari konsep-konsep absurd yang seolah ingin mengglorifikasi militer sebagai aktor pembangunan yang kompeten. Pada era rezim Orde Baru, peran militer di ranah sipil tak selalu murni untuk pembangunan. Ada banyak prajurit militer yang terjun ke ranah sipil karena tergerak motif ekonomi. 

"Pada zaman Orde Baru, perwira tertarik ingin sekolah dan naik pangkat karena ingin dapat kegiatan ekonomi nonmiliter. Militer membangun di luar fungsi militer sebenarnya itu mengambil wilayah kerja sipil, terutama urusan pangan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup miskin. Padahal, petani kita sebenanrya ulet, sehat, terampil tetapi tidak memiliki lahan pertanian," kata Andi. 

Andi menilai semestinya Prabowo belajar dari sejarah kebobrokan militer pada era Orde Baru. Jika tulus memperkuat ketahanan pangan nasional, Prabowo sebaiknya menjadikan para petani aktor utama pembangunan. 

"Seharusnya petani inilah yang diutamakan bekerja di bidang ketahanan pangan. Payung kerjanya bisa di bawah pemerintah, BUMN urusan pangan atau korporasi. Merekalah yang berhak mendapatkan akses kerja sector pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka," kata Andi. 

Lebih jauh, Andi menilai DPR seharusnya membuat batasan peran operasi militer selain perang (OMSP) lebih rinci. Dengan begitu, pemerintahan sipil dan militer memiliki pedoman jelas mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing. "Baik dalam kondisi darurat maupun dalam kegiatan pembangunan," kata Andi. 

Sesuai aturan, prajurit aktif hanya bisa ditugaskan memegang jabatan pada operasi militer selain perang (OMSP). Yang temasuk OMSP, semisal operasi mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, serta mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.

Sebelumnya, rencana rekrutmen 24 ribu prajurit Tamtama baru yang digulirkan TNI AD mendapat protes keras dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Koalisi menilai rencana rekrutmen tersebut sudah keluar jauh dari tugas utama TNI sebagai alat pertahanan negara. 

"Perubahan lingkungan strategis dan ancaman perang yang semakin kompleks dan modern sebenarnya menuntut TNI untuk fokus dan memiliki keahlian spesifik di bidang peperangan," kata Ketua Dewan SETARA Institute Hendardi dalam sebuah keterangan tertulis, Rabu (4/6).

Selain Setara, koalisi beranggotakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, semisal YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.

Tak hanya melanggar semangat reformasi, Hendardi menilai upaya menempatkan para prajurit di bidang-bidang yang bukan keahlian mereka justru akan melemahkan militer. 

"Membuat TNI menjadi tidak fokus untuk menghadapi ancaman perang itu sendiri dan secara tidak langsung akan mengancam kedaulatan negara," jelas Hendardi. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan