close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Panglima TNI Agus Subiyanto dan Kapolri Listyo Sigit menjajal alat pertanian di lahan ketahanan pangan Kodam IV/Diponegoro, Bulusan, Tembalang, Semarang Jawa Tengah, Kamis (21/11). /Foto dok. Puspen TNI
icon caption
Panglima TNI Agus Subiyanto dan Kapolri Listyo Sigit menjajal alat pertanian di lahan ketahanan pangan Kodam IV/Diponegoro, Bulusan, Tembalang, Semarang Jawa Tengah, Kamis (21/11). /Foto dok. Puspen TNI
Peristiwa
Senin, 16 Juni 2025 12:00

Seberapa relevan wacana perekrutan 24.000 tamtama TNI AD?

Para calon tamtama itu tidak disiapkan menjadi pasukan tempur, tetapi pasukan ketahanan pangan.
swipe

Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) berencana merekrut 24.000 tamtama. Menurut Kepala Biro Informasi Pertahanan (Infohan) Setjen Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Frega Wenas Inkiriwang, dalam konferensi pers di Kantor Kemenhan, Jakarta, Jumat (13/6), wacana perekrutan itu sudah melewati perhitungan yang matang dan cermat, sesuai kebutuhan riil dalam pembangunan kekuatan TNI.

Perekrutan besar itu, menurut Frega, adalah bagian dari langkah strategis pemerintah untuk membangun kekuatan pertahanan yang tangguh, termasuk dalam hal pengembangan dan pembentukan satuan-satuan baru di berbagai wilayah.

Sementara, menurut Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AD Wahyu Yudhayana pada Rabu (4/6) menuturkan, para calon tamtama itu tidak disiapkan menjadi pasukan tempur, tetapi pasukan ketahanan pangan hingga pelayan kesehatan dalam batalion teritorial pembangunan (BTP).

Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan, rencana TNI merekrut 24.000 tamtama sebagai kebijakan yang menyimpang dari tugas utama TNI, seperti yang diatur dalam konstitusi UUD 1945, bahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.

Ardi menjelaskan, prajurit TNI seharusnya difokuskan untuk mempertahankan negara dari ancaman perang, bukan menjalankan tugas-tugas sipil, seperti pertanian, peternakan, atau pelayanan kesehatan.

“Prajurit TNI direkrut, dilatih, atau dididik untuk perang. Ini bukan hanya keluar dari mandat konstitusional, tapi juga bisa melemahkan kesiapan militer kita dalam menghadapi ancaman sesungguhnya,” ujar Ardi kepada Alinea.id, Kamis (12/6).

Dia menegaskan, di tengah dinamikan global yang menuntut modernisasi militer, TNI seharusnya fokus pada peningkatan profesionalisme dan teknologi pertahanan. Menurutnya, jumlah prajurit bisa diimbangi dengan penguatan alutsista canggih, bukan menambah personel tanpa orientasi yang jelas terhadap kebutuhan tempur.

“Jumlah personel memang penting, tapi di era militer modern, kualitas dan teknologi jauh lebih menentukan,” tutur Ardi.

“Satu prajurit dengan persenjataan modern, bisa menyaingi 10 prajurit dengan senjata seadanya.”

Ardi menambahkan, rencana perekrutan 24.000 tamtama TNI AD justru tidak relevan. Apalagi, katanya, Indonesia negara maritim, yang seharusnya memperkuat Angkatan Laut.

Lebih lanjut, Ardi menyoroti kecenderungan militer untuk mengambil alih tugas-tugas sipil sebagai kemunduran dari semangat reformasi TNI. Dia menyebut, kebijakan ini mencederai prinsip pembagian peran antara militer dan sipil.

“Kebijakan ini menunjukkan kegagalan pemangu kebijakan menjaga batas antara urusan sipil dan militer. Ini adalah langkah mundur dan bisa membuka kembali praktik dwi fungsi TNI, seperti masa Orde Baru,” ucap Ardi.

Dia juga memperingatkan dampak lanjutan jika kebijakan ini diambil, mulai dari pemborosan anggaran, ketidaksiapan prajurit dalam tugas tempur, hingga persoalan pembinaan karier dan penempatan jabatan di tubuh TNI.

“Bayangkan jika ribuan prajurit malah disiapkan untuk urusan pertanian dan kesehatan. Ini tidak hanya melenceng dari tugas TNI, tapi juga menimbulkan permasalahan baru di tubuh militer dan pemerintahan sipil,” kata Ardi.

img
Muhamad Raihan Fattah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan