Tanpa regulasi siber, Indonesia bisa rugi ratusan triliun per tahun

Kejahatan siber di Indonesia bisa menyebabkan kerugian hingga sebesar Rp478,8 triliun.

Ketua DPR Bambang Soesatyo (kanan) melambaikan tangan disaksikan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen (Purn) Hinsa Siburian (kiri) dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Edmon Makarim usai menjadi pembicara dalam Diskusi Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KS), di Jakarta, Senin (12/8). /Antara Foto

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Menurut Kepala BSSN Hinsa Siburian, Indonesia membutuhkan payung hukum untuk mengatur kejahatan siber yang kian marak. 

"Masyarakat kita sudah amat bergantung pada akses internet dan pemanfaatan gawai. Hampir seluruh masyarakat menjalankan aktivitasnya berdampingan dengan dunia siber," kata Hinsa dalam Simposium Nasional RUU Keamanan dan Ketahanan Siber di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin (12/8).

Berdasarkan penelitian Frost & Sullivan yang diprakarsai Microsoft pada 2018, kejahatan siber di Indonesia bisa menyebabkan kerugian hingga Rp478,8 triliun (USD34,2 miliar). Sejalan dengan itu, BSSN mencatat, ada sekitar 232 juta serangan siber menyerbu Indonesia sepanjang 2018. 

Hinsa khawatir, jika tidak diregulasi, para penjahat siber bisa memanfaatkan celah-celah hukum untuk melancarkan kejahatan-kejahatan yang merugikan negara. Selain itu, menurut dia, RUU KKS dibutuhkan untuk memayungi kolaborasi antarsektor di dunia siber. 

"Keamanan siber di berbagai sektor strategis ini adalah persyaratan mutlak. Semuanya memerlukan payung hukum agar integritas jaringan informasi dapat terwujud, baik dalam scope nasional maupun internasional," katanya.