Tantangan demokrasi jelang pemilu

Pesta demokrasi mendatang diprediksi akan diwarnai sejumlah isu, termasuk isu SARA, kampanye hitam, dan radikalisme.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (keempat kiri), Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan (ketiga kiri), Deputi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) Silverius Yoseph Soeharso (kiri), dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo (kedua kiri) menghadiri Deklarasi Kampanye Damai di Anjungan Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (18/2)./ Antarafoto

Tak lama lagi Indonesia akan menggelar perhelatan pilkada serentak di 171 daerah yang dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden (pilpres) pada 2019. Dua agenda besar ini diyakini akan menentukan wajah Indonesia di masa depan. Besarnya efek pemilu itu, membuat sejumlah pihak berpeluang menggulirkan berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar.

Menko Polhukam Wiranto mengatakan pilkada serentak 2018 yang dilanjutkan pemilihan legislatif dan pilpres, merupakan peristiwa yang sangat menentukan, tidak asal-asalan. "Momen ini menentukan arah Indonesia ke mana. Kami ingin membangun demokrasi baru yang lebih sehat dari sebelumnya," ujarnya di Hotel Grand Sahid Jaya, Selasa (20/2).

Dia menerangkan, sistem demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat idealnya menghasilkan pemimpin yang memang keberpihakannya jelas pada rakyat. "Para pemimpin itu harus dipilih oleh rakyat. Para pemimpin dan masyarakat mengemban amanah. Jika amanah disia-siakan, maka kita nantikan kehancurannya," imbuhnya.

Wiranto juga menerangkan, kehancuran itu bisa diukur dari proses pemilihan yang tidak benar. Oleh karenanya, dibutuhkan sinergi sejumlah aktor di antaranya penyelenggara pemilu, fasilitatornya yakni pemerintah, yang memilih masyarakat, dan partai politik.

Terkait ancaman yang rentan muncul, Wiranto tak menampiknya. "Tentu ada pihak-pihak yang tidak ingin pemilu kita sukses, baik dari luar dan dari dalam," ujarnya.