sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Senandung Efek Rumah Kaca: KPK Bunga yang tak dikehendaki

Bagi ERK, KPK seperti puisi yang ditulis Wiji Thukul yakni: Seumpama bunga yang tak dikehendaki tumbuh.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Senin, 23 Sep 2019 14:40 WIB
 Senandung Efek Rumah Kaca: KPK Bunga yang tak dikehendaki

Grup musik Efek Rumah Kaca angkat suara soal persoalan kebangsaan terkini. Grup band indie ini menyesalkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Presiden Joko Widodo dalam penetapan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Vokalis ERK Cholil Mahmud mengatakan, pembahasan revisi UU KPK menjelang berakhirnya masa jabatan DPR Oktober menjadi puncak upaya pelemahan KPK.

“Kami semua kecewa dan marah atas revisi UU KPK yang dilakukan secara senyap. Kami semua sepakat untuk tetap terus melawan hingga titik darah penghabisan,” kata Cholil belum lama ini. 

Pekan lalu Selasa (17/9) ERK turut dalam aksi “Pemakaman KPK” di lobi Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.

Aksi yang digelar oleh wadah pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi ini dimaksudkan sebagai ungkapan atas matinya KPK dan demokrasi setelah pengesahan revisi UU KPK. Keputusan ini serangkai dengan ditetapkannya lima pimpinan baru KPK untuk periode 2019–2023, Jumat pekan lalu (13/9).

Koalisi tersebut mencakup sejumlah kelompok, antara lain: Indonesian Corruption Watch, YLBHI, Masyarakat Pegiat Antikorupsi, dan sejumlah mahasiswa. Dalam kesempatan itu, Cholil tampil bernyanyi. 

Begini lantunannya: “Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh/ Seumpama bunga, kamilah yang rontok di bumi kami sendiri//.

Lagu “Bunga dan Tembok” ciptaan Wiji Thukul itu mengisi keheningan yang merambati ruang lobi Gedung Merah Putih KPK.

Sponsored

Ada sedikit sendu muncul, ketika arak-arakan simbolik peti dan makam dibawa keluar. Beberapa pegawai KPK berjalan membawa poster-poster bertulisan “KPK Mati”.

“Malam ini kita semua berduka. Kita mendengar bahwa gedung di belakang ini bukan lagi menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi. Sejak RUU KPK disahkan, harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sirna,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dalam orasinya di gedung Merah Putih KPK, Selasa malam itu.

Asfinawati menyampaikan, hasil pimpinan baru KPK dengan rekam jejak bermasalah menunjukkan upaya mengikis taji KPK dalam misi pemberantasan korupsi telah dimulai sedari peran panitia seleksi (pansel).

“Kalau kita lihat secara umum pansel malah menyetujui revisi, ada juga yang menyatakan sebaiknya tidak perlu ada penyadapan, lalu hanya menekankan upaya pencegahan,” kata Asfinawati, Senin (23/9).

Hal itu senada dengan penolakan sejumlah akademisi, ahli hukum, dan aktivis sosial, terlebih dengan terpilihnya Firly Bahuri sebagai Ketua KPK. Selain catatan gelap karena dugaan pelanggaran etik, keterpilihan Firli dinilai melanggar kriteria dan aturan yang berlaku. Adapula keempat pimpinan KPK lainnya tak luput dari catatan minor.

“Hasil itu melanggar kriteria atau aturan calon pimpinan KPK sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Berdasar aturan UU itu, seharusnya yang terpilih bukan orang-orang ini,” katanya.

Dia melanjutkan, ada banyak fitnah yang dilemparkan kepada lembaga KPK beserta anggotanya. Revisi UU KPK adalah jalan utama melumpuhkan KPK. Hal itu, kata dia, membuat dukungan publik kepada KPK menyurut.

“Desakan publik beberapa waktu belakangan tak diperhatikan, baik oleh Presiden maupun DPR. Revisi (UU KPK) ini berfungsi menunjukkan upaya melemahkan KPK,” ujarnya.

Dibandingkan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, menurut dia, revisi UU KPK terlalu dipaksakan untuk segera disahkan. Padahal revisi UU KPK juga tidak menjadi prioritas legislasi nasional.

“Dibandingkan revisi UU KPK, pembahasan RUU PKS ditolak mati-matian oleh DPR. Meskipun akhirnya dibahas, proses pembahasan RUU PKS sangat lama dan tidak kunjung ketok palu,” ujarnya.

Setidaknya ada delapan pasal bermasalah dari UU KPK yang baru, yakni Pasal 1 Ayat (6), Pasal 3, Pasal 12B Ayat (1), Pasal 12B Ayat (4), Pasal 24 Ayat (2), Pasal 37B huruf b, Pasal 37E, dan Pasal 40. Pasal-pasal itu menentukan pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) dan perubahan status KPK menjadi lembaga eksekutif. Ketentuan itu diikuti perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, serta kewenangan penghentian penyidikan suatu perkara.

Oleh karena itu, senada dengan Cholil, Asfinawati mengimbau publik untuk berfokus menguatkan peran KPK dalam pemberantasan korupsi dan menghadang upaya-upaya pelemahan KPK.

“Kami akan berjuang melawan pelemahan KPK untuk mewujudkan negara yang bersih dari korupsi,” ucap Cholil.

Berita Lainnya
×
tekid