sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Babak baru renewable energy di tahun 2018

Revisi peraturan dilakukan demi menarik cuan dari kantong pemodal. Namun, bagaimana minat investor?

Fira Fauziah
Fira Fauziah Jumat, 23 Feb 2018 08:08 WIB
Babak baru renewable energy di tahun 2018

Pemerintah sedang giat-giatnya memangkas dan merevisi sejumlah peraturan demi menarik cuan dari kantong pemodal. Salah satunya adalah energi baru dan terbarukan.

Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik digadang-gadang menjadi faktor penarik minat investor untuk mengembangkan pembangkit di Indonesia. Dalam peraturan tersebut tertuang jelas tentang aturan main mekanisme pembelian tenaga listrik. Selain itu, pemerintah juga telah menelurkan Peraturan ESDM Nomor 49 tahun 2017 tentang perjanjian jual beli listrik.

Adanya aturan ini menjadi jaminan bagi investor untuk mengikat tali kerjasama dengan PT PLN (Persero). Permen ESDM No 50/2017 menyebutkan jika skema pembelian energi baru dan terbarukan mengunakan mekanisme Build, Own, Operate and Transfer (BOOT). Alhasil dalam jangka periode waktu tertentu, proyek pembangkit harus diserahkan kepada negara melalui PT PLN (Persero). Selain menerapkan skema BOOT, pemerintah juga mengatur harga pembelian listrik.

Sedangkan aturan Nomor 49/2017 mewajibkan PT PLN (Persero) menyeragamkan perjanjian jual beli listrik dengan pengembang. Peraturan ini juga membatasi maksimum perjanjian jual beli antara PT PLN (Persero) dengan investor maksimum adalah 30 tahun. Alokasi risiko dan kondisi kahar (force majeur) menjadi poin penting yang digarisbawahi oleh investor.

Kedua peraturan ini menjadi titik baru dukungan pemerintah dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan. Meski pemerintah mengklaim peraturan tersebut tak bakal menghambat investasi, namun banyak investor yang kurang sepakat dengan peraturan No 50/2017. Skema BOOT dan penetapan harga pembelian listrik menjadi alasan investor berpikir ulang berinvestasi di Indonesia karena dianggap merugikan. Mereka harus berhitung dengan cermat soal keekonomian proyek. Di satu sisi, investor harus teken kontrak tidak boleh lebih dari 30 tahun. Namun, di sisi lain harga jual beli setrum energi baru dan terbarukan diatur pemerintah.

Memang, dalam aturan No 50/2017 menyebutkan bahwa harga jual setrum berdasarkan kesepakatan para pihak jika biaya pokok produksi (BPP) ketenagalistrikan setempat sama atau lebih rendah dari BPP nasional. Tapi, perlu diingat harga jual tersebut wajib mengantongi persetujuan dari Menteri ESDM terlebih dahulu sebelum diteken. Tentu saja, ada risiko harga yang diinginkan oleh investor tak sejalan dengan kemauan pemerintah sehingga mereka harus menyesuaikan tarif demi mendapatkan lampu hijau dari Menteri ESDM.

Untuk proyek yang BPP daerah di atas BPP nasional, pemerintah membatasi harga jual listrik yang dibanderol tak boleh lebih dari 85% sampai 100% dari BPP daerah. Ketentuan ini membuat investor kesulitan mencari pendanaan di bank. Tarif listrik mini dengan nilai investasi jumbo membuat perbankan enggan mencairkan dana. Belum lagi, para investor harus menanggung beban bunga komersial. Dengan demikian, risiko gagal bayar para investor di sektor energi baru dan terbarukan cukup tinggi. Makanya, investasi energi menjadi sektor yang kurang dilirik oleh perbankan.

Sementara itu, Permen ESDM No 49/2017 lebih berpihak sedikit kepada investor dibandingkan peraturan sebelumnya yakni Permen ESDM No 10/2017. Sebab alokasi risiko jika ada kondisi force majeure perubahan kebijakan yang dibebankan kepada investor dan PT PLN (Persero) telah dihapus. PT PLN (Persero) akan menanggung kebutuhan beban tenaga listrik, kemampuan transmisi yang terbatas dan keadaan kahar. Sementara, investor akan menanggung beban pembebasan lahan, perizinan (termasuk izin lingkungan), ketersediaan bahan bakar, ketepatan jadwal pembangunan, dan performa pembangkit dan kondisi kahar.

Sponsored

Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi mengatakan tujuan pemerintah menetapkan harga jual listrik supaya tidak membebankan anggaran. Sehingga, meski banyak suara sumbang dari pengusaha, pemerintah tetap bersikeras tak akan mencabut skema BOOT ataupun membebaskan tarif jual beli listrik. "Sesuai arahan pak Jonan, kami ingin listrik itu murah dari tahun ke tahun. Apalagi tren energi baru dan terbarukan itu semakin murah," kata Hendra.

Pemerintah percaya diri jika Peraturan ESDM No 50/2017 tak menghambat investasi sebab Indonesia punya potensi yang cukup besar. Buktinya, pada September 2017, terjadi penandatanganan jual beli listrik dengan total kapasitas 91,4 megawatt (MW). Sepuluh PPA yang ditandatangani tersebut membandrol harga jual setrum antara US$6,60 hingga US$8,60 per kWh. Rata-rata harga jual setrum sebesar 85% dari BPP lokal. Hanya PLTM Kunci Putih (Jawa Tengah), PLTA Air Putih (Bengkulu), dan PLTA Pakkat (Sumatera Utara) yang mengadopsi harga jual listrik lebih dari 90% dari BPP lokal.

 

 

Di tahun anjing tanah ini, para investor pembangkit setrum energi baru dan terbarukan harus melihat sejumlah faktor sebelum memutuskan berinvestasi di Indonesia. Pertama, tren ongkos energi baru dan terbarukan dunia yang semakin turun, baik di negara maju maupun negara berkembang. Tentu saja ini akan berpengaruh terhadap Indonesia. Namun, investor juga harus mengetahui bahwa industri energi baru dan terbarukan di Indonesia masih belum terbangun. Ambil contoh industri solar panel. Sejauh ini hanya 13 perusahaan yang memproduksi solar panel sehingga kebutuhan solar panel banyak diperoleh dari impor. Tahun 2015, Indonesia impor solar panel tercatat sebesar US$ 232,38 juta. Jumlah ini naik menjadi US$ 246,33 juta di tahun 2016. Sampai kuartal ketiga tahun 2017, impor solar panel menyentuh angka US$ 229,35 juta.

Di sisi lainnya, kebijakan yang mewajibkan 40% tingkat kandungan lokal dimulai pada tahun ini. Dari sisi pasokan material bisa-bisa tersendat. Ketergantungan terhadap impor dan belum siapnya industri komponen dalam negeri menjadikan pasokan bahan baku terbatas dan harga tinggi. Ongkos produksi murah di energi baru dan terbarukan menjadi mimpi belaka.

Belum lagi dengan kondisi di lapangan soal pembebasan lahan. Investor harus menguras uang guna mencapai kesepakatan lahan dengan penduduk lokal. Tak jarang, para pemilik lahan ini meminta ongkos ganti rugi yang tak masuk akal. Tingginya biaya pembebasan lahan tentu berdampak terhadap neraca kas perusahaan. Namun, jika perusahaan tidak menyetujui harga yang dibanderol oleh pemilik lahan, jadwal pembangunan proyek bakal terancam molor. Lagi-lagi, molornya proyek bakal menambah ongkos perusahaan.

 

 

Kedua, melihat trend biaya pokok produksi (BPP). Maklum, harga listrik akan ditentukan berdasarkan BPP listrik. Dengan demikian, BPP menjadi faktor penting dalam menghitung harga jual beli setrum. Ada peluang BPP listrik akan naik sebab harga komoditas seperti minyak, gas dan batu bara mulai pulih. Sekitar 90% biaya kWh setrum berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil. Yang harus diwaspadai adalah keinginan pemerintah menekan subsidi energi. Baru-baru ini pemerintah sedang mewacanakan untuk mengutak-atik komponen biaya setrum lantaran harga batu bara tinggi. BPP yang seharusnya bisa naik mengikuti perkembangan harga komoditas pun bisa jalan di tempat.

Ketiga adalah para investor harus menghitung ongkos perubahan kebijakan. Tahun 2018 boleh dibilang adalah tahun terakhir Presiden Joko Widodo memimpin Indonesia. Tahun depan, Indonesia akan disibukkan oleh pemilu. Jika pemerintahan berganti, boleh jadi kebijakan dan peraturan yang telah disusun rapi bakal berubah dalam waktu dekat. Sedangkan proyek pembangkit membutuhkan jangka waktu periode yang lama. Kemudian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai menginisiasi pembentukan undang-undang energi baru dan terbarukan. Kepastian iklim investasi menjadi tantangan investor untuk menanamkan modal di Indonesia.

 

 
Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid