Bagaimana cara Rusia merekrut tentara bayaran?
Beberapa hari lalu, beredar video mantan anggota Marinir TNI Angkatan Laut yang menjadi tentara relawan Rusia, Satria Arta Kumbara merengek ingin kembali menjadi warga negara Indonesia (WNI). Dalam video itu, Satria mengaku tidak tahu kalau perbuatanya mendandatangani kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia mengakibatkan status kewarganegaraannya dicabut.
Nama Satria mencuat pada Mei lalu usai beredar foto-fotonya dalam operasi militer Rusia di akun TikTok @zstorm689. Kepala Dinas Penerangan TNI AL Tunggul mengatakan, Satria bukan lagi bagian dari TNI.
Menurut Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas, status kewarganegaraan Satria bisa hilang dengan sendirinya ketika aktif dalam kegiatan militer asing tanpa izin dari Presiden, merujuk Pasal 23 huruf d dan e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan serta Pasal 31 huruf c dan d Peratuan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Bagaimana proses perekrutan?
Perang dengan Ukraina yang masih berlangsung, membuat Rusia membutuhkan banyak tentara, yang berasal dari negara lain. Dikutip dari RadioFreeEurope RadioLiberty awalnya Presiden Rusia Vladimir Putin sudah memerintahkan apa yang disebut mobilisasi parsial para pria usia produktif untuk menjadi tentara melawan Ukraina pada September 2022, tujuh bulan setelah invasi.
Perekrut menyerbu kantor-kantor, mengintai di luar gedung apartemen, dan berjalan melalui kereta bawah tanah untuk mencari pria yang wajib dipanggil, dan ratusan ribu warga Rusia meninggalkan negara itu untuk menghindari pengiriman ke garis depan di Ukraina.
Militer Rusia kemudian beralih ke berbagai metode untuk menjaga agar arus tentara ke meda perang tetap berjalan, mulai dari perekrutan di penjara, lembaga pemasyarakatan, dan tempat penampungan tunawisma.
Pada Desember 2023, dua unit investigasi RadioFreeEurope RadioLiberty—Schemes di Ukraina dan Systema di Rusa—mengungkap temuan mengejutkan terkait Redut, sebuah perusahaan tentara bayaran swasta yang diketahui telah mengirim ribuah orang ke medan perang di Ukraina. Investigasi tersebut membuktikan, Redut sebenarnya bukan perusahaan swasta, melainkan bagian dari jaringan perekrutan yang dikendalikan negara.
Di balik layar, operasional Redut dijalankan GRU—direktorat intelijen utama militer Rusia. Temuan ini mengungkap keterlibatan langsung aparat negara dalam merekrut dan mengerahkan pasukan bayaran untuk kepentingan militer Rusia.
“Sebuah investigasi terbaru oleh Systema mengungkap bagaimana militer Rusia terus memperluas strategi perekrutannya dengan menciptakan jalur alternatif bernama Dobrokor—Dobrovolchesky Korpus atau Korps Sukarelawan,” tulis RadioFreeEurope RadioLiberty.
“Skema ini dirancang untuk menarik para calon tentara yang enggan menandatangani kontrak dengan Redut ataupun langsung dengan Kementerian Pertahanan Rusia karena berbagai alasan, termasuk kondisi dan durasi layanan yang memberatkan.”
Poin utama yang membedakan perekrutan lewat Redut atau Dobrokor dibandingkan dengan kontrak dinas militer resmi adalah soal durasi kewajiban. Kontrak langsung dengan Kementerian Pertahanan bersifat otomatis diperpanjang hingga berakhirnya apa yang Rusia sebut sebagai operasi militer khusus—artinya para tentara tersebut terikat hingga perang di Ukraina benar-benar usai. Sementara kontrak lewat Redut atau Dobrokor biasanya punya durasi tetap, seperti enam, delapan, atau 12 bulan, dan tidak diperpanjang secara otomatis.
Namun, ada risiko besar di balik fleksibilitas kontrak. Tentara yang direkrut lewat jalur sukarelawan ini sering dikirim ke garis depan dengan perlindungan minim, dalam operasi berisiko tinggi.
Siapa saja yang direkrut?
Kyiv Independent mencatat, lebih dari 1.500 tentara bayaran asing dari 48 negara direkrut Rusia untuk melawan Ukraina. Data itu berasal dari sistem informasi dan analisis medis terpadu Moskow yang bocor, lalu sampai ke wartawan Important Stories, sebuah media independen asal Rusia.
Orang-orang dari negara lain ini melewati pusat perekrutan Moskow antara April 2023 dan Mei 2024. Lebih dari 1.500 orang asing yang diproses, setidaknya 1.300 telah diidentifikasi berdasarkan kewarganegaraan.
“Nepal berada di puncak daftar, dengan setidaknya 603 warga negaranya bergabung dengan tentara Rusia,” tulis Kyiv Independent.
Selain Nepal, ada pula warga negara Sri Lanka sebanyak 64 orang, China 51 orang, India 43 orang, Serbia 8 orang, Kuba 8 orang, dan Latvia 4 orang. Dari negara-negara bekas Uni Soviet, antara lain warga negara Tajikistan 86 orang, Uzbekistan dan Belarusia masing-masing 71 orang, Kirgistan 59 orang, Turkmenistan 19 orang, dan Moldova 12 orang.
Jumlah total tentara bayaran kemungkinan jauh lebih tinggi. Sebab, pada Februari 2024, CNN melaporkan ada lebih dari 15.000 warga negara Nepal yang kemungkinan sudah direkrut Rusia. Rusia juga mengerahkan sekitar 12.000 tentara Korea Utara untuk melawan serangan Ukraina di Oblast Kursk.
Apa saja iming-imingnya?
Di China, untuk merayu orang, disiarkan video-video yang disebar di media sosial. Video-video itu menampulkan berbagai bentuk pesan yang menggoda. Sebagian merupakan propaganda Rusia yang dipoles dengan apik—menggambarkan sosok pria “tangguh” dan gagah di medan perang.
Ada juga yang lebih mirip promosi influencer, menawarkan “liburan kerja” yang menjanjikan pengalaman dan imbalan. Yang lainnya adalah rekaman atau tangkapan layar hasil editan warga yang mengaku akan segera meninggalkan China.
“Meski gaya dan pendekatannya berbeda, semua video ini memiliki satu benang merah: mereka menjual iming-iming menjadi tentara bayaran asal China untuk bertempur di pihak Rusia,” tulis The Guardian.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy pernah mengungkap, ada 155 warga negara China menjadi tentara Rusia. Zelenskyy mengatakan, Rusia merekrut warga China lewat iklan di platform media sosial China, seperti Douyin dan TikTok.
Dilansir dari Deutsche Welle, menurut juru bicara departemen tawanan perang di dinas intelijen militer Ukraina HUR, Petro Yatsenko, sebagian besar tentara bayaran yang ditangkap berasal dari belahan bumi selatan, terutama negara-negara miskin. Yatsenko mengungkapkan, Rusia mencoba merekrut warga negara asing dengan memasang iklan di media sosial dan menggunakan agitator.
“Mereka sering menjanjikan pekerjaan di perusahaan, dan ketika tiba saatnya bertugas di militer, mereka hanya akan ditempatkan di daerah terpencil,” kata Yatsenko.
Pernyataan ini dikuatkan oleh delapan orang asing—lima warga negara Nepal serta masing-masing satu dari Kuba, Sierra Leone, dan Somalia—yang dihadirkan oleh badan intelijen militer Ukraina HUR dalam sebuah konferensi pers di Kyiv pada Maret 2024.
Salah satu dari mereka, pria asal Sierra Leone mengungkapkan, dia pernah bertempur dalam konflik bersenjata di negaranya sendiri, bahkan mengalami luka akibat perang tersebut. Dia menegaskan, dirinya tidak berniat kembali berperang. Dia mengaku datang ke Rusia karena dijanjikan pekerjaan di sektor konstruksi—bukan untuk menjadi tentara bayaran.
Namun, tidak semua orang asing yang bertempur untuk Rusia tertipu atau dijebak. Yatsenko menjelaskan, sebagian dari mereka berpengalaman, dengan latar belakang militer yang kuat.
"Beberapa dari mereka memang tahu betul apa yang mereka lakukan," ujar Yatsenko.
Berapa imbalannya?
Dikutip dari The Guardian, dalam video rekrutmen di media sosial China, ditawarkan gaji berkisar antara 60.000 hinga 200.000 renminbi (RMB) atau setara 6.000 hingga 21.000 poundsterling sebagai bonus pendaftaran, dan gaji bulanan sekitar 18.000 RMB atau sekitar 1.900 poundsterling.
RadioFreeEurope RadioLiberty menulis, lewat Dobrokor dan Redut, pria berusia 18 hingga 55 tahun dan perempuan berusia 18 hingga 45 tahun dapat mendaftar. Perempuan akan ditugaskan di unit medis. Gaji mereka mulai dari 205.000 rubel atau setara 2.600 dollar AS per bulan dan bisa lebih tinggi, tergantung peran sebagai tentara bayaran.


