sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Agar investor newbie tak kurang edukasi

Investor pemula harus memahami tujuannya, apakah sekadar investasi atau trading saham.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Sabtu, 30 Jan 2021 06:35 WIB
Agar investor newbie tak kurang edukasi

Gegap gempita kedatangan vaksin Covid-19 menjadi dorongan bagi Tiffany (27) memborong saham perusahaan farmasi dan kesehatan saat pergantian tahun 2020 lalu. Namun alih-alih melejit, saham-saham yang ia beli justru ambruk. Harapan untung pun berbalik jadi buntung.

Saham karyawan swasta di Jakarta itu bahkan mengalami ARB (Auto Reject Bawah) atau batas maksimal penurunan harga saham. 

"Desember mulai beli, terus Januari 2021 memperbanyak gitu, sempat naik 20% tuh, tapi enggak aku take-take ya, eh taunya, orang enggak pada percaya vaksin, langsung drop," ujar Tiffany saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (28/1). 

Tidak hanya perusahaan kesehatan, perempuan yang berdomisili di Jakarta ini juga sempat mengantongi saham-saham pertambangan. Dia menyangka, prospek mobil listrik dengan hadirnya pabrikan raksasa asal Amerika Serikat, Tesla bakal mengerek harga sahamnya. Namun, lagi-lagi dia salah memprediksi. 

Saham-saham di sektor terkait pun masuk dalam kondisi ARB. Nyatanya, ada pelbagai musabab saham di sektor ini loyo. Sebut saja berbagai pembatasan yang menyebabkan penundaan realisasi mobil listrik hingga harga nikel yang relatif rendah menyesuaikan harga dunia.

Sayangnya, Tiffany pun mengaku, dirinya sempat membeli saham 'gorengan' demi spekulasi dapat keuntungan tinggi. Akhirnya, saham yang tidak jelas kinerja keuangannya itu pun juga terjun bebas. 

Jika ditotal, tak sampai dua bulan ini Tiffany setidaknya telah kehilangan nilai investasi saham sebesar Rp18 juta. Sementara total dana investasinya di saham 10 emiten mencapai Rp150 juta. 

"Penyakit kemarin juga aku sempat beli saham 'gorengan', mestinya harus cepat close ya. Karena kinerja keuangan juga enggak jelas," katanya. 

Sponsored

Tiffany memang tidak menampik, lingkungan pertemanannya yang masuk ke pasar saham mendorongnya turut berinvestasi. Sebagai pemula. Tiffany membekali diri dengan berbagai informasi soal pasar saham dari dunia maya. Dia juga bergabung di grup-grup serupa untuk belajar saham secara otodidak. 

"Makanya, setelah loss ini, wah gila banget sih, harusnya balik lagi ke prinsip awal, beli harusnya bukan karena FOMO," imbuhnya.  

Memang, perilaku FOMO (Fear of Missing Out) tidak dimungkiri banyak menjangkiti investor milenial. Ini bermula dari banyaknya postingan pamer portfolio di media sosial yang menggiring kelatahan dalam memilih emiten. Terutama di kalangan pemula.

Tiffany memang menggunakan 'uang dingin' atau dana menganggur untuk berinvestasi saham ini. Namun, menurutnya, kerugian ini menjadi pelajaran berharga. Dia mengaku akan lebih jeli dan hati-hati dalam investasi saham. 

"Paham dulu secara fundamental, jangan ikut-ikutan. Apalagi sampai pakai uang utang," kata dia.  

Ilustrasi investasi. Pixabay.com.

Tidak hanya Tiffany, investor pemula yang mengalami nasib serupa adalah Kusuma (25). Dia juga merasa kecele, karena saham yang dia bidik juga tak bernasib baik. Apesnya lagi, investasi saham perdana itu, dia lakukan kala kondisi keuangan sedang seret. 

Nilai investasi Uma, sapaan akrabnya, hanya berkisar Rp5 juta. Namun, kondisi tersebut cukup membuat perempuan itu was-was. Sebab, saham yang direncanakan untuk investasi jangka pendeknya itu masih betah 'memerah'. Meskipun, di portofolio miliknya juga ada saham yang ditanam untuk jangka panjang.

"Kebutuhan memang lagi membengkak banget. Sekarang keuangan masih belum memungkinkan berinvestasi banyak. Masih saham ini saja, yang investasi lainnya belum," ujar Uma saat dihubungi Alinea.id melalui sambungan telepon, Kamis (28/1).  

Perempuan yang berdomisili di Cirebon, Jawa Barat itu, mengaku tertarik berinvestasi untuk menambah penghasilan. Saat ini, ia memegang portfolio berisikan saham-saham tambang.

"Aku investasinya saham sebenarnya enggak ngerti ke depannya seperti apa. Belajar dari internet sebisanya, waktu terjun langsung, eh sekarang kok tambah minus lagi. Sedih juga," kata dia. 

Portfolio saham yang 'memerah' juga dirasakan Latifa Asrah (21). Mulai Januari 2021, ia akhirnya mengeksekusi keinginannya sejak lama untuk berinvestasi saham. Sudah ada empat saham dari sektor tambang, telekomunikasi, dan infrastruktur yang ia beli.

Mahasiswi yang berkampus di Tangerang Selatan ini mengaku tergiur berinvestasi saham dari postingan di media sosial. "Tadinya mau emas batangan, tapi kaya lama naiknya," ujarnya.

Namun, investasi saham yang masih seumur jagung ini belum mendatangkan cuan baginya. Semua saham yang ia pegang belum juga 'menghijau'. "Semuanya masih 'diam', belum di cut loss," tambahnya.

Rencananya, Latifa akan menunggu faktor fundamental yang akan mendorong saham-sahamnya naik. Awalnya, dia menilai pasar saham masih mengalami January Effect dengan harga-harga saham yang masih mahal.

Namun, January Effect ternyata absen di awal tahun 2021 ini. Di akhir perdagangan bulan Januari 2021, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali berakhir di zona merah. Pada Jumat (29/1), IHSG  ditutup melemah 1,96% ke level 5.862,35. Bahkan, dalam sepekan IHSG merosot hingga 7,05%. Sementara dalam sebulan terakhir, IHSG juga tercatat melemah 1,95%.

Wanita yang juga berprofesi sebagai Make Up Artist (MUA) Tangerang Selatan ini sangat berharap ada peluang indeks kembali rebound di tahun 2021. Sebagai investor pemula, ia mengaku masih gegabah karena terburu-buru dalam memilih emiten. "Sekarang portfolio aku masih minus," cetusnya.

Menurutnya, investasi saham menjadi jalan baginya untuk lebih disiplin menabung. Langkah ini juga lebih baik ketimbang menghabiskan penghasilannya untuk sekadar jajan di aplikasi online.

Euforia investor saham

Pasar saham memang mengalami turbulensi luar biasa sepanjang tahun 2020. Kala pandemi terdeteksi di Indonesia awal Maret, IHSG pun anjlok. Bahkan, indeks pernah menyentuh level terendah Rp3.937 pada 24 Maret 2020. Namun, IHSG perlahan kembali merangkak naik dan menembus level Rp6.012 pada 14 Desember 2020.

Seiring dengan adanya pandemi, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat investor pasar modal pada 2020 meningkat 56% menjadi 3,87 juta, berdasarkan data Single Investor Identification (SID). 

Namun belakangan, maraknya pemain baru di bursa saham ini ternyata menimbulkan fenomena baru. Kisah-kisah harapan mendulang cuan di pasar saham pun mencuat di media sosial. Obrolan soal kerugian saat trading saham pun ramai diperbincangkan. Petikan pengalaman para investor ritel ini viral di lini Instagram. 

Para anonim di medsos ini, menceritakan segala kegagalan saat membeli saham emiten yang sebelumnya diperkirakan akan mentereng. Sebut saja, saham Kalbe Farma (KLBF) yang menduduki level Rp1.760 pada 11 Januari 2021 kini anjlok ke level Rp1.465 pada penutupan perdagangan, Jumat (29/1).

Nyatanya, harapan soal vaksin Covid-19 tak membuat kinerja emiten farmasi maupun sektor kesehatan moncer. Begitu pun dengan emiten pertambangan yang tidak terkerek naik meski ada wacana investasi Tesla ke Indonesia. Keinginan mendulang cuan pun pupus. Seperti halnya yang terjadi pada Tiffany, Kusuma, dan Latifa. 

Direktur Anugerah Mega Investama, Hans Kwee menilai fenomena FOMO terhadap investasi saham ini menunjukkan minimnya pengelolaan risiko investor. Investor newbie sangat menggebu dalam mendulang untung.

"Analisanya juga kurang, karena cuma ikut-ikutan," ujar Hans kepada Alinea.id, Rabu (27/1). 

Belum lagi tujuan investasi jangka pendek dan jangka panjang yang masih belum dimengerti para newbie. Padahal, keduanya memiliki karakteristik dan strategi yang berbeda. 

Membeli saham untuk keperluan investasi, jelasnya, harus melihat faktor fundamental serta kinerja perusahaan. Valuasi atau estimasi terhadap nilai suatu aset harga saham pun juga harus terukur. Sementara untuk tujuan trading saham, investor harus mengacu pada kejelian momentum serta disiplin melakukan pemantauan dan target. 

"Aplikasi sekarang sudah sangat membantu. Jadi orang habis beli, bisa pasang cut loss," katanya. 

Seorang pengunjung mengenakan masker saat berada di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Foto Reuters/Willy Kurniawan.

Sementara itu, Perencana Keuangan dari OneShildt Budi Rahardjo mengakui banyak fenomena investor pemula yang gegabah mengambil langkah investasi. Ini akibat investor tak paham soal risiko yang menyertainya. Singkatnya, peluang untung juga bebarengan dengan risiko. 

"Gambling, taruh saja uang di situ. Dasarnya apa? Enggak tahu. Jadi pertama, kita harus membekali diri kita dengan pengetahuan dulu," ujar Budi kepada Alinea.id, Rabu (27/1). 

Tidak hanya itu, pengelolaan uang saat berinvestasi pun masih belum diterapkan dengan optimal. Misalnya, investasi di satu keranjang dengan jumlah langsung besar.

Selain jeli dalam memilih emiten saham dan peluangnya, Budi melanjutkan, investor juga perlu menetapkan patokan keuntungan yang rasional dan terukur. Di sisi lain, sumber dana investasi juga mesti diperhatikan. 

Hal yang jadi masalah, menurutnya, jika investor menggunakan uang belanja untuk investasi karena pengeluaran pasti harus dipenuhi sedangkan keuntungan belum pasti. Berisiko lagi, tambahnya, kalau dana investasi berupa uang pinjaman yang juga mesti membayar bunga.

"Investasi dari pinjaman ini saja menunjukkan kesehatan keuangan enggak kokoh. Sebab seharusnya, terpenuhi dulu dana darurat, kebutuhan basic dan jaminan asuransi. Baru investasi," jelasnya. 

Belajar dari kesalahan 

Budi juga mengingatkan bagi investor saham pemula untuk belajar dari kesalahan. Dengan membangun sikap mental ini, menurutnya, investor akan lebih bertanggung jawab dan hati-hati saat akan berinvestasi saham maupun trading

Investor pemula pun, kata dia, mesti mempunyai tujuan investasi yang jelas. Sejak awal, investor harus mengetahui kebutuhan dan kemampuannya di pasar modal. Jangan sampai, investor hanya latah mengikuti tren. 

"Karena keputusan investasi itu letaknya di individu masing-masing," kata dia. 

Menyikapi ini, Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menyarankan investor pemula untuk mempelajari investasi secara utuh. Bukan saja tertarik pada keuntungan, namun juga waspada pada risiko. 

Fawzi menyarankan agar investor tidak menggunakan dana yang bersumber dari pinjaman/utang, dana yang diperlukan untuk kebutuhan sehari hari, dana untuk kebutuhan darurat, atau dana kebutuhan jangka pendek lainnya.

"Ini tentunya, juga akan semakin membatasi pilihan dan strategi investasinya dan juga dapat mempengaruhi aspek psikologis para investor," ujar Fawzi kepada Alinea.id Kamis (27/1).

Pihak BEI, kata dia, juga mendorong agar para investor terus belajar dan meningkatkan pemahamannya dalam berinvestasi saham. BEI menyediakan berbagai program dan sarana dalam melakukan edukasi kepada masyarakat dan juga para investor. Diantaranya, kegiatan Sekolah Pasar Modal, Webinar, Workshop, dan edukasi melalui media sosial BEI. 

Kalaupun investor berencana menggunakan jasa pihak tertentu dalam membantu investasinya, tegasnya, investor dapat menggunakan jasa dan rekomendasi dari pihak-pihak yang sudah diberikan izin resmi oleh OJK. Misalnya, Penasihat Investasi, Manajer Investasi, atau Perusahaan Efek tempat pembukaan Rekening Efek dari investor atau melalui program edukasi investasi dan transaksi yang resmi di Pasar Modal.

"Jika tetap ingin mendapat informasi tambahan dari sumber lainnya, agar dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana, " pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid