sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Akademisi IPB: Food estate program sesat pikir

Setidaknya ada 7 faktor kegagalan dan 6 akar masalah Indonesia tidak juga dapat mewujudkan kedaulatan pangannya.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Selasa, 26 Okt 2021 21:42 WIB
Akademisi IPB: <i>Food estate</i> program sesat pikir

Wakil Kepala LPPM IPB University, Sofyan Sjaf, menyatakan, program food estate (lumbung pangan) yang dicetuskan pemerintah adalah sesat pikir. Dicontohkannya dengan pengalaman-pengalaman yang pernah dilakukan sejak era Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada 1996, misalnya, di mana pemerintah menggas program food estate di lahan gambut di Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan target 1.457.100 ha. Namun, hanya berhasil membuka 48.000 ha lahan.

"Kalau kita lihat, 4.000 (ha) areal yang dibuka ini tidak efektif juga sekarang di Kalimantan," katanya dalam sebuah webinar, beberapa waktu lalu.

Pun begitu dengan proyek-proyek berikutnya, seperti hanya mampu membuka 1.024 ha dari target 298.221 ha di Bulungan, Kalimantan Timur (Kaltim), pada 2011 dan yang berhasil hanya 5 ha; lalu cuma merealisasikan 400 ha dari target 1,23 juta ha di Merauke, Papua, pada 2013, padahal dijalankan oleh korporasi bukan rakyat; serta hanya 104 ha yang berjalan berkelanjutan dari 100.000-an ha yang berhasil dibuka dari target 886.956 ha di Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar), pada 2013.

"Cukup sudah kita belajar dari pengalaman-pengalaman yang ada," ucap Sofyan. "Kalau kita belajar dari sejarah yang ada, kalau kita tidak perbaiki ke depannya, saya kira, kita membuat kecelakaan sejarah lagi."

Dirinya melanjutkan, ada empat momentum untuk menggeliatkan membangun kedaulatan pangan sebelum pandemi Covid-19. Disebut momentum karena pertumbuhan ekonomi ditopang sektor agromaritim dengan pertumbuhan positif. Namun, semuanya tidak dimanfaatkan dengan baik.

Momentum pertama berkaitan dengan pidato Presiden pertama RI, Soekarno, tentang pangan rakyat pada 1952. "Dengan jelas Bung Karno mengatakan dan menyerukan kepada pemuda-pemudi untuk menggeluti sektor pertanian dan menata pangan. Mengapa demikian? Karena sektor pangan inilah yang akan merespons bencana suatu saat," jelasnya.

Kedua, kebijakan Revolusi Hijau tahun 1970-an pada rezim Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto. Kala itu, terjadi homogenisasi pendekatan melalui proses pertanian sehingga tercapai swasembada pangan, tetapi petani hanya menjadi objek pembangunan. Dengan demikian, modernisasi tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang.

Sponsored

Momentum selanjutnya adalah agribisnis pada era reformasi '98 dan agribisnis kerakyataan yang digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lagi-lagi tidak dimanfaatkan dengan baik. Sekalipun modernisasi pertanian masih menjadi "roh", tetapi perbedaan hulu hingga hilirnya diperkuat dengan mengarusutamakan padat modal, subsidi barang, dan investasi korporasi.

"Ya, memang kita melihat efisiensi menjadi core, kemudian membuka rezim perdagangan masuk jauh dari semangat the people driven approach. Ini kemudian menjadi kesejahteraan petani tidak tercipta, ketimpangan masih tinggi. Yang kami potret saat Covid ini, Indonesia dalam ketimpangan di desa 0,39 sampai 0,41. ini berbahaya," tegasnya.

Faktor Kegagalan
Menurut Presidium Majelis Wilayah (MW) KAHMI Jawa Barat (Jabar) itu, kegagalan Indonesia membangunan kedaulatan pangan tersebut disebabkan beberapa faktor. Pertama, desa sebagai lokus produksi pangan karena 73,14% penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dan 15,11% di desa pesisir dari perikanan/kelautan tidak pernah dikelola dengan baik oleh pemerintah.

"Sebaliknya, fakta impor pangan tidak pernah berhenti. Akibatnya, desa-desa tersebut identik dengan ketertinggalan dan kantong kemiskinan. Sederhananya, kalau kita ingin menyelesaikan kemiskinan dan ketertinggalan, maka perbaiki desa yang kemudian desa tersebut basisnya pertanian dan perikanan," sarannya.

Kemudian, tenaga kerja muda dan produktif tidak tertarik lagi dengan pertanian sehingga memilih bermigrasi ke kota. Tidak heran jika kemudian ada generasi yang hilang (lost generation), di mana 61,8% petani hari ini di atas 45 tahun dan 12,2% lainnya di bawah 35 tahun. "Artinya, bonus demografi tidak kita manfaatkan untuk membangun kekuataan untuk bangun desa," katanya.

Ketiga, terjadi pelemahan objek maupun subjek pangan. Keempat, mandegnya kebaruan pendekatan dalam pembangunan pertanian di pedesaan. Kelima, alokasi penggunaan dana desa tidak tepat sasaran dalam mengembangkan potensi desa.

"Desa selalu dijadikan kekuatan, tapi desa tidak pernah diberikan kemerdekaan dalam merumuskan kebijakan pembangunannya sehingga yang terjadi tidak memiliki daya membangkitkan ekonomi pedesaan," ucapnya.

Selanjutnya, lanjutnya, kelembagaan ekonomi rakyat dipedesaan, seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), tidak diorientasikan dan berfungsi untuk mengonsolidasikan kekuatan ekonomi pedesaan. Ia dibiarkan begitu saja tanpa rumusan kebijakan yang tepat.

Terakhir, tidak adanya data desa secara presisi yang kemudian dijadikan sebagai basis perencanaan dan implementasi. Imbasnya, terjadi kegagalan dan konflik kepentingan elite yang sangat besar. 

Akar Masalah
Sofyan berpendapat, kegagalan tersebut disebabkan beberapa akar masalah. Pertama, dominasi orientasi pemenuhan kebutuhan pangan melalui rezim perdagangan dibandingkan produksi berbasis lokal melalui pemberdayaan. "Ini yang saya lihat," ujar Sekretaris Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICWI) Korwilsus Bogor itu.

Lalu, adanya komodifikasi pangan, disorientasi kbijakan, lemahnya politik pangan, dan kepemimpinan yang tidak berkarakter. Ketiga, terjadi ketidakberdayaan desa lantaran hak rekognisi dan subsidiritas dijalankan setengah hati, yang mengakibatkan terhambatnya laju pembangunan pertanian dan pedesaan. 

Keempat, data tidak terkelola dengan baik. Kelima, adanya problem pola pikir generasi muda "terserap pasar" bukan "menciptakan pasar". Pemungkas, lemahnya sumber daya di sektor pertanian dan pedesaan.

Karenanya, Sofyan berpendapat, pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum membangun kedaulatan pangan. Caranya, dengan mengembangkan desa-desa sebagai pendekatan alternatif. "Tidak perlu lagi kita buka pendekatan-pendekatan yang tidak sesuai dengan struktur masyarakat kita," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid