sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Aktifkan IK-CEPA, Indonesia bidik peningkatan volume perdagangan dengan Korsel

Indonesia dan Korea Selatan kembali mengaktifkan perundingan kerja sama perdagangan secara komprehensif tahun ini.

Soraya Novika
Soraya Novika Selasa, 19 Feb 2019 15:05 WIB
Aktifkan IK-CEPA, Indonesia bidik peningkatan volume perdagangan dengan Korsel

Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) kembali mengaktifkan perundingan kerja sama perdagangan secara komprehensif atau Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA) tahun ini.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan kerja sama ini akan meningkatkan volume perdagangan kedua negara dari US$20 miliar saat ini, menjadi US$30 miliar dalam tiga tahun mendatang.

"Target yang dicanangkan kedua kepala negara sampai 2020 ya sebesar US$30 miliar bisa dicapai,” ujar dia saat acara Indonesia-Korea CEO Business Forum di Jakarta, Selasa (19/2).

Enggar juga menuturkan kerja sama ini rencananya akan disepakati dan dikukuhkan paling lambat November 2019, atau saat pertemuan kedua kepala negara. Sehingga, kata Enggar, substansi dari kerja sama ini harus diselesaikan sebelum November.

Enggar mengatakan alasan pemerintah meneruskan kesepakatan tersebut yakni mengejar ketertinggalan kerja sama ekonomi Indonesia terhadap Korsel. Sebab, tanpa dipayungi perjanjian ini, kesepakatan-kesepakatan kedua negara, baik investasi maupun perdagangannya bisa ketinggalan. 

“Untuk itu, renegosiasi kali ini kita akan menyepakati penurunan tarif dan berbagai fasilitas yang diberikan kedua belah pihak," imbuhnya.

Selain itu, Enggar menilai, Korea Selatan merupakan mitra strategis bagi Indonesia. Sebab, selain nilai volume perdagangan kedua negara yang besar, Korsel merupakan negara kelima terbesar yang menanamkan investasinya di Indonesia. Dari catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Korsel berkontribusi mengembangkan 3.000 proyek pada 2017 atau setara dengan US$2 miliar.

Dari sektor perdagangan, komoditas yang diekspor Indonesia ke Korsel meliputi karet, kelapa sawit, batu bara, bijih tembaga, kayu lapis, dan timah. Sedangkan, untuk ekspor Korsel ke Indonesia meliputi perangkat elektronik, minyak petroleum, kapal, kain, karet sintetis, besi dan baja.

Sponsored

Bidang investasi lainnya yang menurut Enggar kian membaik selama memasuki 2019 ini meliputi bidang industri, elektronik, gas hingga air. "Indonesia menjadi tujuan investasi yang besar nantinya," tegasnya.

Ke depannya, melalui perjanjian perdagangan itu, serta fokusnya Indonesia dalam mengembangkan revolusi industri 4.0, diharapkan investasi Korea Selatan tidak hanya mengarah ke sektor proyek infrastruktur dan industri heavy metal, elektronik, maupun pertambangan saja, melainkan juga ke sektor pendidikan serta vokasi dalam bentuk pertukaran pelajar dan sebagainya.

Enggar mencontohkan nilai kerja sama Korsel dengan Vietnam saja bisa mencapai US$60 miliar. Sehingga, kerja sama Indonesia dengan Korsel mesti terus ditingkatkan dari berbagai sektor. "Korea Selatan itu potensial, semuanya (sektor), terutama untuk investasi dan perdagangan. Sama negara-negara lain aja kita buka, kenapa sama Korea kita tidak. 

Pemilu 2014 jadi alasan IK-CEPA sempat mandeg

IK-CEPA tercatat pertama kali disepakati dalam pertemuan bilateral antara Pemimpin kedua negara, yaitu Mantan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Mantan Presiden Republik Korea Lee Myung-bak di sela-sela 'Nuclear Security Summit' pada 28 Maret 2012 di Seoul, Korea Selatan. Dari 2012 hingga 2014, perundingan IK-CEPA sudah sempat dilakukan dalam tujuh kali putaran. Namun, kemudian sempat terhenti pada pertengahan 2014. 

Menurut Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Iman Pambagyo, alasan perundingan tersebut terhenti lantaran Indonesia mengalami pergantian presiden kala itu. Dengan demikian, Iman menjamin, pasca-pemilu 2019, perjanjian tersebut tidak akan kembali terhenti sebagaimana yang terjadi pada pergantian Presiden sebelumnya.

"Nanti, kita tidak akan memulai dari awal lagi. Kita tinggal melanjutkannya dan melakukan update peluang-peluang kerja sama baru dari kedua negara," kata dia.

Imam menambahkan poin-poin lain yang menjadi penghambat kerja sama sebelumnya dengan negara ginseng tersebut antara lain komitmen investasi Korea Selatan yang harus dimasukkan ke dalam CEPA, sikap Indonesia yang belum bisa menerima proposal penurunan tarif Korea Selatan untuk produk yang sensitif seperti besi dan baja, serta keinginan Indonesia agar tidak mau meliberalisasi sektor telekomunikasi seperti proposal Korea.

"Ada komitmen-komitmen soal penurunan tarifnya yang belum selesai. Karena 2016 lalu juga merupakan jadwalnya penurunan tarif ASEAN-Korea Free Trade Agreement ditargetkan selesai kan, jadi ada gap. Sehingga kalau sekarang kita mulai lagi harus re-maping lagi. Tapi itu tidak terlalu makan waktu," paparnya.

Namun, ia yakin kesepakatan kali ini bisa berlangsung lancar karena Korea Selatan juga sudah memberikan lampu hijau. 

"Kita sepakat yang kita negosiasikan ini bisa simpel dan 'business friendly'," tandasnya.
 

Berita Lainnya
×
tekid