MAMI ungkap faktor yang sebabkan melemahnya kondisi pasar saham dan obligasi
Pasar saham dan obligasi saat ini dinilai melemah, terhitung sejak pascalibur Lebaran di Mei 2022. Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan menilai, ada beberapa faktor yang menyebabkan melemahnya kondisi pasar saham dan obligasi saat ini.
Salah satunya adalah keputusan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang dengan tegas berkomitmen untuk menanggulangi laju inflasi dengan mempertahankan arah kenaikan suku bunga agresif. Hal ini juga menimbulkan ketidakpastian pasar yang meningkat terhadap outlook pertumbuhan ekonomi AS, karena kenaikan suku bunga agresif dikhawatirkan akan memicu resesi ekonomi.
"Selain itu, pasar juga dibayangi oleh lockdown di China karena meningkatnya kasus Covid-19 dan kebijakan ‘zero Covid’ pemerintah China," jelas Katarina dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/6).
Menurutnya, kondisi China saat ini juga meningkatkan kekhawatiran gangguan rantai pasokan dunia, karena peranan penting China dalam produksi global, dan dampaknya terhadap inflasi dunia.
Berkaitan dengan dugaan resesi ekonomi AS pascakenaikan suku bunga The Fed, Katarina menilai, dugaan tersebut terlalu cepat. Pasalnya kondisi global sangat dinamis dan outlook ekonomi dapat berubah sewaktu-waktu.
"Kami melihat saat ini kondisi ekonomi AS masih kuat, didukung oleh tingkat pengeluaran masyarakat, sektor tenaga kerja, dan manufaktur yang solid sehingga dapat bertahan menghadapi kenaikan suku bunga The Fed yang agresif dalam jangka pendek," imbuhnya.
Meski demikian, tak seluruhnya naik ke arah positif. Terlihat saat ini ada beberapa tekanan di bagian ekonomi AS, seperti sentimen bisnis dan konsumen yang melemah, serta tingkat suku bunga kredit properti yang naik ke level tertinggi sejak 2009. Faktor ini dapat memengaruhi outlook pertumbuhan ekonomi di AS dan mendorong The Fed untuk menjadi lebih suportif.
Secara keseluruhan, ekonomi AS terlihat memiliki kemungkinan besar dapat menghindari resesi, walau pun outlook pertumbuhan ekonomi AS melemah.
Dalam jangka pendek, The Fed diperkirakan masih bergerak agresif. Diketahui, pasar memperhitungkan kenaikan suku bunga 50 bps di bulan Juni dan Juli. Namun berikutnya, The Fed terlihat akan lebih fleksibel, lebih mengacu pada data dalam mencermati perkembangan kondisi ekonomi sebelum nantinya memutuskan untuk kembali bergerak agresif atau lebih suportif terhadap pasar.
Jika dilihat dari berbagai komentar Ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya, menurut Katarina, The Fed dapat bergerak lebih dovish apabila beberapa kondisi terpenuhi.
"Mungkin The Fed akan lebih dovish, jika inflasi melewati puncak atau mulai mendatar, dan ekspektasi inflasi jangka panjang tetap terjaga. Data inflasi AS terakhir di Apri mulai menunjukkan perbaikan," lanjutnya.
Katarina juga melanjutkan, data anekdot seperti biaya pengapalan kontainer dan biaya pupuk Amerika Utara-indikator untuk biaya ekspor-impor dan bahan pangan- sudah menunjukkan penurunan, yang mengindikasikan tekanan inflasi mulai berkurang. Namun hal ini masih merupakan indikator sangat awal, dan masih harus terus dipantau apakah perbaikan ini adalah awal dari titik balik atau hanya bersifat sementara.
Dibalik tingginya inflasi AS dan beberapa negara maju lainnya, serta pelemahan pertumbuhan ekonomi global, Indonesia diyakini justru akan mengalami pertumbuhan ekonominyang baik. Hal ini seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat karena tingkat kasus Covid-19 domestik yang rendah.
Hingga saat ini tercatat konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 55% terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga meningkatnya mobilitas akan menjadi faktor pendukung yang kuat bagi ekonomi. Selain itu Indonesia juga diuntungkan oleh harga komoditas yang meningkat, suportif bagi kinerja ekspor dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. Secara historis harga komoditas yang kuat juga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
Selain dari pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga diuntungkan oleh tingkat inflasi domestik yang terjaga. Pemerintah memastikan harga BBM Pertalite dan listrik bersubsidi tidak naik tahun ini, serta menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi. Kebijakan ini akan berdampak positif bagi inflasi domestik dan memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk tidak buru-buru menaikkan suku bunga, menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Dengan demikian, di tengah tantangan inflasi dan pertumbuhan global, Indonesia menawarkan proposisi yang menarik bagi investor karena memberi lindung nilai (hedge) terhadap inflasi dan bantalan (buffer) terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
Katarina juga menjelaskan, subsidi yang diberikan pemerintah di tengah inflasi global saat ini tidak memengaruhi APBN. Alsannya adalah kenaikan anggaran subsidi dan kompensasi energi dapat dibiayai oleh kenaikan pendapatan dari sektor komoditas sehingga beban APBN tetap terjaga.
"Dalam APBN Perubahan 2022, target pendapatan naik 23,1% sementara anggaran belanja naik 14,4%, sehingga defisit anggaran justru membaik 4,85% dari PDB menjadi 4,5% dari PDB. Perubahan postur APBN ini positif bagi pasar obligasi karena mengurangi risiko tekanan inflasi dan mengurangi asumsi penerbitan SBN tahun ini," jelas Katarina.
Katarina juga menilai, potensi pasar saham Indonesia masih terlihat positif. Kondisi makroekonomi domestik masih suportif dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi terjaga, dan neraca perdagangan yang kuat. Kondisi makroekonomi Indonesia secara relatif juga menarik dibandingkan kawasan lain yang harus menghadapi tantangan lonjakan inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, sehingga potensi arus dana asing masuk ke pasar saham Indonesia juga masih terbuka.
Secara bottom-up, kinerja emiten Indonesia juga terlihat membaik tahun ini seiring dengan kondisi ekonomi domestik yang kondusif. Katarina memprediksikan, IHSG dapat mencapai level 7600 tahun ini dengan asumsi pertumbuhan laba korporasi sekitar 12%.
Selanjutnya, pada pasar obligasi menurut Katarina, tekanannya sudah berkurang. Dari sisi domestik, tekanan inflasi diperkirakan lebih terjaga dari ekspektasi pasar sebelumnya didukung keputusan pemerintah untuk menjaga harga BBM Pertalite dan tarif listrik bersubsidi.
Pendapatan pemerintah yang meningkat dari sektor komoditas juga membawa angin positif bagi APBN, karena bisa membiayai naiknya subsidi dan mengurangi penerbitan SBN. Selain itu, dengan tingkat inflasi yang lebih terjaga maka kenaikan suku bunga Bank Indonesia juga dapat menjadi lebih konservatif dibandingkan perkiraan pasar sebelumnya.
Sedangkan dari sisi eksternal, Katarina menduga masih ada kemungkinan untuk The Fed beranjak lebih dovish seiring dengan outlook ekonomi AS yang melemah dan tekanan inflasi yang mereda. Perubahan postur The Fed yang lebih dovish dapat menjadi katalis bagi pasar obligasi.