sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Galau pelaku usaha di tengah upaya memberantas PMK

Pelanggaran protokol lalu lintas hewan dan produk ternak masih terjadi demi meminimalisir kerugian akibat PMK.

Kartika Runiasari
Kartika Runiasari Kamis, 13 Okt 2022 18:45 WIB
Galau pelaku usaha di tengah upaya memberantas PMK

Butuh waktu hampir 100 tahun bagi Indonesia untuk bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak berkuku belah. Sejak terdeteksi awal masuk pada 1887, virus ini akhirnya dinyatakan hilang dari nusantara pada 1984. Kini, upaya serupa tengah dilakukan secara gotong royong demi memusnahkan virus dengan daya tular luar biasa ini.

Seperti halnya penyakit Covid-19 yang menyerang manusia, penularan yang tinggi membuat PMK mewabah dengan cepat. Karena itu pula, penanggulangan PMK di tanah air tidak jauh berbeda dengan protokol Covid-19 yakni pembatasan mobilitas hewan dan produk ternak, serta vaksinasi.

Sejak PMK kembali mewabah di tanah air pada 28 April 2022 di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah merilis 18 kebijakan demi memusnahkan foot and mouth disease virus (FMDV) ini. Baik itu berupa surat edaran (SE), Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan), maupun surat keputusan dirjen. Terbaru, pada 16 September 2022 lalu, Satuan Tugas (Satgas) PMK merilis Surat Edaran No. 6 Tahun 2022 tentang Pengendalian Lalu Lintas Hewan dan Produk Hewan Rentan Penyakit Mulut dan Kuku Berbasis Kewilayahan.

Hal ini menjawab kegelisahan para pelaku industri peternakan atas mobilitas hewan dan produk ternak yang memungkinkan terjadinya penyebaran PMK. Meskipun di beberapa wilayah sudah teridentifikasi sebagai zero reported case.

Untuk diketahui, berdasarkan informasi penanggulangan dan pencegahan wabah PMK per 13 Oktober 2022, jumlah kasus aktif masih tersebar di 16 provinsi, di mana 9 diantaranya zero reported case. Tercatat, ada 554.414 hewan ternak yang terinfeksi, 447.720 ekor sudah sembuh dan 12.442 potong bersyarat serta 9.557 ekor mati. Adapun capaian vaksinasi PMK mencapai 4.018.299 ekor. 

Zero reported case terjadi pada provinsi DKI Jakarta, Bali, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, dan Bangka Belitung.

“Wilayah dikatakan zero reported case bila tidak ditemukan kasus PMK baru selama minimal 14 hari sejak kasus terakhir dilaporkan,” kata Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Kementerian Pertanian Wisnu Wasisa Putra dalam Webinar Alinea Forum ‘Lalu Lintas Hewan dan Produk Hewan Saat Wabah PMK, Kamis (6/10).

Sebagai garda depan lalu lintas hewan dan produk ternak, Wisnu mengatakan pihaknya memiliki 50 Unit Pelaksana Teknis (UPT) operasional, 326 wilayah kerja, 537 tempat meliputi 957 fungsi pemasukan dan pengeluaran yakni 196 impor, 270 ekspor, dan 491 antar area.

Sponsored

Selain itu, pihaknya juga melakukan penguatan laboratorium untuk pengujian PMK. Tercatat dari 15 Juni sampai 5 Oktober sebanyak 2.316 sampel sudah teruji. Terkait hal ini, biaya tes seperti RT-PCR memerlukan dana Rp425.000 dan Elisa test sekitar Rp200.000. 

“Pelaksanaan sampel Elisa bisa 1 hari, RT-PCR 2 hr,” sebutnya.

Kedua, pihaknya juga melakukan penguatan sistem biosekuriti yang telah dilakukan di 50 UPTKP baik di bandara, pelabuhan, dan instalasi karantina hewan dengan penyemprotan desinfektan secara rutin, pemasangan karpet desinfeksi, penerapan gerbang suci, dan lain-lain.

Terakhir, Barantan Kementan juga melakukan penguatan pengawasan dan penindakan untuk hewan dan produk hewan berkuku genap. Sebut saja sapi, kerbau, babi, kambing, domba, termasuk juga satwa liar. Selain itu lalu lintas ini juga menyangkut produk segar hewan rentan PMK seperti karkas, daging segar, daging beku, jeroan segar dan beku, kepala, buntut, kaki, susu segar, semen produksi setelah wabah PMK, embrio produksi setelah wabah PMK, ovum produksi setelah wabah PMK, wol, kulit mentah, bristle, rambut hewan, tulang, tanduk, kuku, dan gigi/taring.

Bahan paparan Kementerian Pertanian.

Namun, upaya penerapan surat edaran lalu lintas hewan dan produk ternak ini nyatanya tidak selalu indah di lapangan. Beberapa pelanggaran masih saja terjadi karena pelaku usaha menginginkan kerugian seminimal mungkin. Pasalnya, meski PMK mudah disembuhkan dan mortality rate (tingkat kematian) PMK terbilang rendah, tetap saja wabah penyakit ternak ini memiliki dampak ekonomi dan sosial yang tinggi.

Komtap Peternakan Kadin Indonesia & HPDKI Yudi Guntara mengatakan sejak awal wabah PMK telah berakibat pada kerugian ekonomi yang sangat besar. “Dengan adanya PMK ini baik mengikuti kebijakan pemerintah, keluarnya surat edaran-surat edaran yang ada ini mengubah total sistem rantai pasok,” ungkapnya dalam acara yang sama. 

Dia mengeluhkan sebelum PMK lalu lintas hewan dan produk ternak bisa dilakukan dengan leluasa. Tapi kini hal itu tidak bisa lagi dilakukan demi pengendalian penyakit. Karenanya, pelaku usaha pun mencoba beradaptasi dengan segala ketentuan baru ini.

Segala ketentuan baru ini menjadi cost tambahan bagi pelaku usaha misal dari sisi tes kesehatan, pemeriksaan, desinfeksi, vaksinasi, dan lain-lain. “Apa yang terjadi di lapangan enggak semua aturan pemerintah diikuti karena masih ‘dimungkinkan’ lalu lintas berjalan tanpa melakukan syarat-syarat yang diminta surat edaran tersebut,” ungkap dia. 

Lagi-lagi hal ini karena pengusaha menginginkan benefit sekecil mungkin bagi usaha mereka. Pasalnya, ketentuan SE terbaru seringkali tidak bisa dijalankan dengan ideal. Dus, pada akhirnya sistem rantai pasok yang berubah juga akan menimbulkan disparitas harga. Baik itu sapi potong maupun daging sapinya.

“Ada kelangkaan daging kambing di Bali, tingginya harga sapi potong di Kalimantan, rendahnya harga sapi hidup di Jawa. Ini akibat PMK. Kenapa di Jawa harga ternak hidup relatif rendah karena untuk bisa melalulintaskan dan meng-cover biaya-biaya yang muncul itu ditanggung para peternak,” bebernya.

Yudi juga mencontohkan saat ini pelaku usaha bisa melalulintaskan pengiriman hewan dan produk ternak dari sesama zona merah tetapi dia mempertanyakan impor hewan dan produk ternak. “Karena ini di lapangan berjalan normal,” sebutnya. 

Selain itu, Yudi menilai efektivitas surat edaran tersebut baru dirasakan untuk lalu lintas antar pulau. Sementara, untuk pengiriman dalam pula seperti misalnya dari Jawa Timur ke Jawa Barat jika tanpa Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) akan sulit dilakukan.

Bahkan, Yudi menyebutkan banyak Tempat Pemotongan Hewan (TPH) swasta yang pada akhirnya menerima hewan yang suspek atau sudah tertular PMK untuk dipotong. Daging dari hewan ternak ini pun akhirnya bisa dijual dengan harga normal atau tinggi. Hal ini dilakukan para peternak dan pelaku usaha demi menghindari kerugian lebih besar.

Menurutnya, tukang jagal di TPH kecil bukan milik pemerintah daerah memilih segera memotong hewan yang suspek PMK agar tetap bisa menjual daging dengan harga normal. “Disitu dagingnya akan didistribusikan sebagai daging biasa dengan harga normal dan butcher akan dapat keuntungan dari pemotongan sapi-sapi yang suspek PMK namun tidak dicek,” ujarnya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Hal ini berdampak langsung pada harga sapi hidup yang turun hingga 15%. Padahal, untuk melakukan pemotongan bersyarat ada banyak prosedur yang harus ditempuh demi meminimalisir penularan PMK. Dia mengatakan pemotongan di TPH kecil ini tidak lebih dari 5 ekor namun cukup banyak melibatkan pelaku usaha. 

“Pemerintah harus tegas menutup apalagi dalam kasus PMK. Ketidaktegasan pemerintah untuk membantu kawan-kawan taat regulasi bisa jadi mubazir dampaknya. Sudah taat tapi harga jatuh turun, rugi,” cetusnya.

Selain itu, ia juga mempertanyakan aturan yang tidak memperbolehkan lalu lintas bibit ternak. “Ini sangat merepotkan karena banyak permintaan dari Kalimantan,” keluhnya. 

Lebih lanjut, Yudi juga meminta agar vaksinasi hewan ternak berkuku belah tidak menganaktirikan hewan selain sapi dan kerbau. Pasalnya, hewan ternak lain seperti domba dan kambing juga memiliki kerentanan yang sama.

Perkuat vaksinasi

Kepala UPT Inseminasi Buatan Dinas Peternakan Provinsi Jatim Iswahyudi mengakui kasus PMK di Jawa Timur memang sudah sangat melandai. Pihaknya mendeteksi puncak kasus PMK di wilayah dengan sebaran hewan ternak terbanyak ini terjadi pada bulan Mei-Juni dengan jumlah kasus mencapai 6.000 sampai 7.000. 

“Kita lakukan vaksinasi dan pengendalian. Dan Agustus sudah di bawah 1.000 kasus per hari pada Agustus dan September sudah di bawah 100 kasus. Walaupun masih ada tapi laporan harian sudah sangat jauh berkurang,” katanya dalam kesempatan yang sama. 

Dia memaparkan untuk mengalahkan kasus PMK tidak bisa lepas dari program PMK yang benar dan serius. Jatim sendiri sudah menerima dosis vaksin sebanyak 2,5 juta. Sejak vaksinasi dilancarkan pada 25 Juli hingga sekarang ada 1,5 juta hewan ternak yang sudah divaksin. 

“Efek hasil pengujian lab veteriner terhadap antibodi hewan, vaksin pertama 85-95% antibodi, paska vaksinasi kedua sudah di atas 95%,” sebutnya. 

Dia mengakui pada prosesnya banyak peternak yang ragu-ragu untuk memvaksin hewan ternaknya. Namun, seiring waktu, hewan yang tidak divaksin pada akhirnya tertular PMK sehingga banyak peternak memutuskan untuk vaksinasi. “Ini bukti vaksin sangat berguna,” ujarnya.

Dia menekankan pentingnya vaksinasi PMK demi memuluskan lagi lalu lintas hewan ternak dan produk hewan di masa wabah ini. Apalagi, Jatim adalah wilayah yang mensuplai kebutuhan sapi ternak, susu perah, bibit ternak ke seluruh Indonesia. 

“Sebagai provinsi dengan pelaksanaan vaksinasi terbanyak, peternak-peternak pelaku usaha sudah banyak yang menunggu kapan pasar hewan mulai bisa dibuka dan ternak dikirim ke daerah lain,” ungkapnya. 

Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ali Agus menilai untuk membebaskan PMK pada 1887 silam membutuhkan waktu penanganan cukup lama yakni dari 1974 sampai 1984 atau sepuluh tahun. Karenanya, dia pun memperkirakan penanganan PMK ini akan memakan waktu lama. 

“Harus ada usaha ekstra untuk menjaga dan enggak terlalu menyebar dampak ekonomi yang harus kita bantu antisipasi dengan pendekatan komprehensif dan dengan pendekatan komprehensif, gotong royong dan penerapan biosekuriti,” sebutnya.

Penanganan komprehensif ini, lanjutnya, terkait dengan penanganan di semua lini mulai dari pengiriman pakan ternak, kendaraan khusus ternak, pemotongan di TPH, penutupan pasar hewan, dan stamping out hewan terinfeksi PMK. 

“Ini bukan pesimis tapi kita butuh kesabaran, kerja keras, kesungguhan untuk persoalan PMK,” tegasnya. 

Selain itu, Ali menegaskan vaksinasi menjadi harapan baru pada titik kritis masalah lalu lintas hewan dan produk ternak. Namun, selain vaksinasi ada hal lain yang perlu dilakukan yakni penguatan antibodi hewan ternak sebelum dilalulintaskan dengan nutrisi yang tinggi.

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Berita Lainnya
×
tekid