close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi peternakan ayam: Foto Antara
icon caption
Ilustrasi peternakan ayam: Foto Antara
Bisnis
Rabu, 23 Juli 2025 10:00

Indonesia butuh regenerasi dan modernisasi peternak

Mayoritas peternak di Indonesia kini sudah berusia di atas 50 tahun.
swipe

Regenerasi peternak menjadi pembahasan serius dalam Kagama Leaders Forum Series bertajuk "Daulat Pangan di Tengah Disrupsi Geopolitik dan Perang Dagang" yang digelar di Jakarta, Kamis (17/7) lalu. Ketergantungan Indonesia terhadap daging impor masih menjadi masalah krusial yang belum menemukan solusi cerdas. 

Di sisi lain, jumlah peternak lokal terus-menerus turun. Regenerasi mangkrak karena peternakan belum dianggap bisnis menarik bagi generasi muda. Data terakhir menunjukkan 56% peternak saat ini berusia di atas 50 tahun. 

Direktur Utama PT Indo Prima Beef  Nanang Purus Subendro mengatakan profesi peternak kian tak diminati anak muda. Pasalnya, profesi itu dianggap tak bisa menghasilkan cuan. Walhasil, jumlah peternak profesional masih sangat sedikit, yakni kisaran 7% dari total peternak. 

"Sebagus apa pun program pemerintah yang berjangka panjang, tapi jika tidak diminati oleh anak muda, saya jamin gagal,” ujar Ketua Umum Perkumpulan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) itu di forum Kagama. 

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah peternak di Indonesia mencapai 11,83 juta orang pada 2023. Sebagian besar peternak terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Adapun jenis ternaknya meliputi sapi, kerbau, kambing, ayam, dan itik. 

Selain minat yang kurang, menurut Nanang, industri peternakan lokal saat ini juga tengah digempur daging sapi potong impor. Dalam lima tahun terakhir, ketergantungan terhadap impor terus naik. Saat ini, kontribusi peternak lokal untuk memenuhi kebutuhan nasional hanya di kisaran 48%. 

Dosen administrasi bisnis di Universitas Nusa Cendana (Undana) Ricky Ekaputra Foeh menilai ketergantungan pasar domestik terhadap daging impor mengindikasikan perlunya reformasi pada tata kelola pertenakan di Indonesia. Impor menandakan Indonesia tak lagi berdaulat di sektor peternakan. 

"Negara agraris yang dianugerahi 16 juta hektare padang penggembalaan dan puluhan juta tenaga kerja justru menyerah pada kenyamanan impor sapi potong. Ketergantungan ini bukan solusi jangka panjang, melainkan racun laten yang mengikis kemampuan produksi dalam negeri," kata Ricky kepada Alinea.id, Selasa (22/7). 

Ricky juga menyoroti jumlah peternak yang cenderung terus turun. Menurut dia, profesi peternak dianggap ‘ketinggalan zaman’, kotor, dan suram. Bukan semata kesalahan pada regenerasi, kegagalan juga ada pada negara yang tak mampu menciptakan ekosistem bisnis peternakan yang menjanjikan.

"Pemerintah secara sadar membunuh pasar peternakan lokal dengan terus membuka keran impor daging beku dari Australia dan negara lain. Harga daging impor lebih murah karena disubsidi di negara asal. Bagaimana peternak lokal bisa bersaing kalau negara sendiri tidak berpihak?" ujar dia. 

Bantuan dari pemerintah, lanjut Ricky, kerap menambah persoalan. Kredit usaha rakyat (KUR) di bidang peternakan dan berbagai skema bantuan lebih sering menjebak peternak kecil ke dalam birokrasi yang lambat dan penuh syarat. 

"Sementara itu, konglomerasi industri peternakan justru mendapat fasilitas pinjaman jumbo, pajak ringan, dan jaminan pasar. Kesenjangan ini sistemik dan mematikan," kata Ricky. 

Ricky mengusulkan sejumlah solusi. Pertama, perlu ada perubahan pada pendidikan ilmu peternakan yang berorientasi pada bisnis berteknologi modern sebagaimana di Brasil, Australia, dan Thailand. Kedua, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanianmenyusun peta jalan (roadmap) penghentian impor bertahap. 

"Kuota daging impor hanya dibuka jika dan hanya jika pasokan lokal terbukti defisit. Buat sistem digitalisasi stok nasional yang transparan dan bisa diaudit publik," kata Ricky. 

Pemerintah, lanjut Ricky, juga perlu menghapus logika kredit berbunga. Sebagai penggantinya, peternak harus disokong dengan subsidi pakan, bibit unggul dan kandang standar. Model idealnya: setiap 10 peternak di satu desa difasilitasi 1 unit pengolahan limbah dan 1 konsultan teknis lapangan. 

Tidak kalah penting ialah pembentukan 'Peternakan Startup Center' di setiap provinsi agar menarik anak muda bisnis ternak. Fasilitas itu, jelas Ricky, harus menggabungkan fungsi pelatihan, inkubasi bisnis, dan akses pasar. 

"Anak muda direkrut, digaji dasar, diajari teknologi ternak modern (IoT, AI, blockchain supply chain) lalu dimodali untuk menjalankan peternakan mikro. Targetnya, lahir 1.000 peternak muda digital per tahun. Teknologisasi peternaka, yaitu revolusi industri 4.0 di kandang," kata Ricky.

Selain itu, menurut Ricky, perlu dikembangkan platform digital nasional berbasis big data untuk monitoring populasi, distribusi, dan produktivitas ternak. Gunakan sensor suhu, aplikasi pengelolaan pakan, dan pelaporan produksi otomatis. Pemerintah juga harus menyiapkan starter kit teknologi untuk peternak muda secara gratis.

"Rebranding profesi peternak melalui media sosial, YouTube, dan TikTok. Libatkan influencer, kreator konten, dan tokoh muda. Buat serial web realitas peternakan sukses. Gandeng Netflix atau layanan streaming untuk dokumenter kisah sukses peternak milenial," kata Ricky. 

Untuk mendorong bisnis peternakan menarik bagi generasi muda, Ricky juga mengusulkan perlunya memodifikasi fakultas peternakan menjadi pusat inovasi agritech. Dalam skema ini, perusahaan swasta harus bisa berperan sebagai investor dan pembeli hasil. Di sisi lain, pemprov wajib menyediakan lahan dan insentif fiskal.

Ricky meyakini model triple-helix itu akan melahirkan bisnis skala kecil–menengah dengan daya saing global. "Bertahan dengan skema impor adalah kemalasan kebijakan yang menunda bencana. Bila Indonesia ingin berdaulat pangan, peternakan harus direvolusi—bukan dipertahankan dalam bentuk usang," imbuhnya. 

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman saat menyambangi sebuah peternakan sapi perah di Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (14/11/2024)./Foto Instagram @a.amran_sulaiman

Lahan, pakan, dan modal

Ketua Umum Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) Agus Warsito menilai regenerasi peternak sebenarnya bisa dilakukan jika ada jaminan pasar dan kemudahan lahan. Pemerintah juga harus menyediakan pakan untuk generasi muda yang ingin berprofesi sebagai peternak. 

"Harus ada edukasi intensif di masyarakat pedesaan kepada generasi muda, hal ihwal menariknya beternak sapi potong atau sapi perah. Tentunya harus di imbangi dengan kebijakan-kebijakan khusus, agar sektor ini menjadi salah satu pilihan profesi atau pekerjaan yang menarik dan menguntungkan," kata Agus kepada Alinea.id. 

Generasi muda peternak, kata Agus, harus diberi kemudahan supaya minat untuk berbisnis ternak bisa meningkat. Kuncinya ada pada ketersediaan lahan, pakan dan permodalan. 

Kedit murah, misalnya, bisa disiapkan dengan rate bunga maksimal 3 tahun dan tenor bisa sampai dengan 7 tahun. Maksimal pinjaman bisa mencapai Rp1 miliar per peternak. "Kemudian ada jaminan pasar yang jelas (terintegrasi) sampai dengan hilir (pemasaran)," kata Agus.
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan