sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jumlah kemiskinan tinggal 9,82%, benarkah?

Terjadi penurunan sebesar 633.200 orang miskin di Indonesia menjadi 25,95 juta (9,82%) per Maret 2018.

Cantika Adinda Putri Noveria Eka Setiyaningsih
Cantika Adinda Putri Noveria | Eka Setiyaningsih Kamis, 19 Jul 2018 13:31 WIB
Jumlah kemiskinan tinggal 9,82%, benarkah?

Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini mengeluarkan informasi terbaru mengenai persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, terungkap terjadi penurunan sebesar 633.200 orang miskin di Indonesia menjadi 25,95 juta (9,82%) per Maret 2018.

Data tersebut tentunya menggembirakan. Mengingat baru kali ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia di bawah 10% dari total penduduk Indonesia. Tak salah jika pemerintah mengatakan jika capaian itu merupakan sejarah. Bahkan, pemerintah membandingkan capaian itu dengan kepemimpinan sebelumnya.

Sebut saja saat pemerintahan Soeharto yang persentase kemiskinannya baru mendekati angka 10% saat sudah memasuki repelita kelima. Saat era SBY, persentase kemiskinan berada dikisaran 14-17%.

Tentunya penurunan persentase kemiskinan di Indonesia patut disyukuri sekaligus menandakan pemerintah bekerja. Tetapi apakah kerja yang dilakukan sudah maksimal atau tidak, tentunya bisa dilihat dari banyak data yang telah dikeluarkan banyak pihak, salah satunya BPS.

Presiden Jokowi mulai dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014. Di sisi lain, BPS selalu menerbitkan data kemiskinan pada September dan Maret di setiap tahunnya. Oleh karenanya, tidak salah jika data kemiskinan September 2014 menjadi awal kerja Presiden untuk mengurangi angka kemiskinan. BPS menyebutkan pada September 2014, jumlah penduduk miskin sebesar 27,73 juta (10,96%). 

Berdasarkan data BPS per Maret 2018, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan menjadi 25,95 juta (9,82%). Itu berarti, terjadi penurunan angka kemiskinan sebanyak 1,14% sepanjang empat tahun kepemimpinan Jokowi, dari 10,96% menjadi 9,82%.

Bagaimana dengan era kepemimpinan sebelumnya? 

Pada era kepemimpinan SBY tahap pertama, BPS mencatat, kemiskinan di Indonesia sebanyak 36,15 juta (16,66%). Di akhir kepemimpinannya, yakni, pada Maret 2009, BPS mencatat angka kemiskinan sebanyak 32,53 juta (14,15%). Itu artinya, secara persentase terjadi penurunan kemiskinan sebesar 2,41% pada kepemimpinan SBY periode pertama.

Sponsored

Di kepemimpinan SBY periode kedua. BPS mencatat pada Maret 2009 angka kemiskinan sebesar 32,53 juta (14,15%). Sementara diakhir kepemimpinannya, yakni,  September 2014 angka kemiskinan menjadi 27,73 juta (10,96%). Itu artinya, pada kepemimpinan periode kedua, SBY berhasil menurunkan kemiskinan sebesar 4,82 juta orang.

Jika mau menelisik lebih jauh lagi. Kita bisa bandingkan dengan capaian kepemimpinan Megawati. Presiden Megawati juga berhasil mengurangi kemiskinan, dari 38,39 juta (18,20%) pada 2002 menjadi 36,15 juta (16,66%) pada 2004.

Mengkritisi data BPS 

Menariknya, data kemiskinan yang disampaikan BPS dikritisi sejumlah kalangan. Misalkan saja Ekonom Senior, Kwik Kian Gie. Kwik menyoroti, standar BPS dalam menilai garis kemiskinan. Kendati garis kemiskinan Maret 2018 naik sebesar 7,14% dari garis kemiskinan Maret 2017 menjadi Rp401.220 per kapita per bulan, tetapi angka itu masih jauh di bawah standar Bank Dunia, yakni sebesar US$1,9 per hari, atau setara Rp798.00 per bulan (kurs Rp14.000 per dollar AS).

"Saya sangat meragukan karena pernah mengepalai (berpengalaman di Bappenas). Memang tidak langsung menyalahkan BPS, karena mengumpulkan data memerlukan waktu dan susah," tegas Kwik, di Jakarta, Rabu (18/7).

Itulah sebabnya,  jika dilihat secara objektif, Indonesia sebenarnya berpotensi dikatakan negara miskin. "Tapi kalau kita mau melihat dengan mata kepala kita sendiri, pergilah ke daerah pedesaan terutama yang terkenal dengan istilah kantong-kantong kemiskinan," ungkapnya.

Mantan Menteri Koordinator Ekonomi ini menganggap masyarakat di pedesaan sangat terisolasi dari perkotaan dan memiliki pendapatan per bulan yang sangat minim. 

Hal nyaris serupa juga dirasakan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Fahri bahkan meminta kepada semua pihak tidak mudah terhibur oleh statistik. "Statistik itu ilmu yang kompleks. Membacanya juga harus lebih jeli. Selain itu, kembalilah ke realitas sekeliling kita dan bertanyalah, apakah benar orang miskin semakin berkurang?," tanyanya dalam pesan pendek kepada Alinea.

Apalagi beberapa hari belakangan ini, masyarakat menghadapi realitas kenaikan harga. Kenaikan BBM dan listrik membuat harga sembako terus naik. Mungkin hal itu tidak terlalu dirasakan kelompok dari kelas menengah atas. Tetapi, kelompok menengah ke bawah, dampaknya luar biasa.

Lantas mengapa hasil statistik kemiskinan berbicara beda? Fahri mencatat, orang dikatakan miskin jika pengeluaran bukan pendapatan adalah dibawah garis kemiskinan (GK). GK terdiri dari GK makanan dan non-makanan tetapi GK makanan lebih mendominasi perhitungannya.

BPS mencatat GK per Maret 2018 sebesar Rp 401.220 per bulan. Jika dibagi 30 hari, menjadi sebesar Rp 13.777. Ini adalah batas orang dikatakan miskin atau tidak miskin. Jadi kalau ada tetangga pengeluarannya dalam sehari per kepala Rp 14.000 saja, itu tidak masuk dalam kategori miskin alias tidak tertangkap oleh statistik sebagai orang miskin.

"Padahal Rp 14.000 sehari di kehidupan nyata dapat makan apa? Berapa kali kita makan? Buat ongkos ke sekolah bagaimana? Bagi yang kerja, buat ongkos transport berapa? Apa cukup? Oleh statistik yang diyakini pemerintah Anda tidak miskin. Tidak perlu bantuan. Tidak perlu kebijakan untuk anda. Bukankah ini tragis?," papar dia.

Itulah mengapa, Fahri meminta sebaiknya jangan mudah terhibur dengan statistik. Jangan mudah tepuk tangan yang membuat lalai dan kehilangan kesadaran bahwa ekonomi sedang bermasalah. Sebabnya kesejahteraan rakyat sedang dipertaruhkan.

Apalagi masih banyak indikator kesejahteraan yang berbicara lain dan dalam kondisi memprihatinkan. Misalnya saja tingkat upah riil buruh yang terus merosot, nilai tukar petani (NTP) semakin menurun. Padahal, mayoritas SDM ada di sektor pertanian dan buruh. 

Selama empat tahun pemerintahan Jokowi, upah nominal buruh tani naik dari Rp 43.808 per hari ke Rp 50.213 per hari. Tetapi, upah riilnya justru turun dari Rp39.383 menjadi Rp 37.711. Ini menandakan kenaikan upah nominal tidak mampu mengatasi inflasi yang dihadapi buruh tani. Upah riil ini juga menjadi cermin dari daya beli dan kesejahteraan. 

Di era pemerintah ini, Nilai Tukar Petani yang mencerminkan daya beli petani juga mengalami penurunan. Khususnya dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini. Tentu ini sebuah paradoks. Apalagi dalam waktu yang sama tingkat kemiskinan diklaim mengalami penurunan. Padahal sumber utama kemiskinan adalah kemiskinan pedesaan yang sumber pencaharian utamanya adalah pertanian

"Inilah yang perlu disampaikan secara jujur sebab rakyat tidak berubah nasibnya hanya karena  ada statistik yang memotret kemiskinan secara sumir. Pemerintah harus berani mengambil terobosan untuk mengukur kemiskinan dan kesejahteraan rakyat secara nyata," tutur dia.

Kemiskinan di Desa

BPS mencatat, Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2018 tercatat sebesar 0,401, turun dibanding Gini Ratio September 2017 yang sebesar 0,404 dan Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,407. Sementara itu, Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret 2018 tercatat sebesar 0,324, naik sebesar 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017 dan September 2017 yang sebesar 0,320.

Lebih lambatnya penurunan angka ketimpangan di desa mengindikasikan ada yang salah dalam pengelolaan skema pengelolaan dana desa.  

Ekonom INDEF Enny Sri Hartati, mengatakan penyerapan anggaran seharusnya tidak sekedar habis terserap. Paling utama adalah berkorelasi terhadap kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan. Dengan begitu, pemanfaatan dana desa bisa menjadi empowering atau pemberdayaan ekonomi di desa, alias harus ada value added perkonomian di desa.

"Kalau dana desa terserap untuk membangun gapura, aspal jalan, tapi itu tidak berkolerasi terhadap nilai tambah perekonomian di desa, kan percuma juga. Akhirnya tidak berdampak pada angka kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan," jelas Enny. 

Ada baiknya pemerintah membuat suatu formulasi yang bisa menjadi pedoman untuk pemerintah daerah. Khususnya yang mengatur penggunaan dana desa menjadi flexibel, tetapi harus sesuai dengan persoalan masing-masing di desa, serta jelas akuntabilitasnya. 

Misalnya saja, membuat program potensi-potensi unggulan desa mereka menjadi nilai tambah. Sehingga dana desa bisa dimanfaatkan dengan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan. 

"Sistem penganggaran dan alokasi dana desa itu harus dibikin alternatif terobosan dulu, sebelum mencapai kondisi ideal tadi. Idealnya di UU Desa, harus ada RPJMDes dan Bumdes," terang Enny. 

Tanggapan Pemerintah

Kepala Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara menyampaikan, tingginya kemiskinan di desa daripada perkotaan, itu sudah lama terjadi. Apalagi kesempatan usaha di Kota jauh lebih baik. 

Suahasil pun menilai keberhasilan program pemerintah tidak bisa hanya dilihat dari satu program saja. Tetapi dengan melihat keseluruhan program yang ada itu sendiri. 

Angka kemiskinan yang menjadi single digit atau sebesar 9,8% merupakan sebagai suatu prestasi pemerintah dalam mengurangi kemiskinan dan layak dicatat dalam sejarah. 

"Menunjukkan program pemerintah tepat sasaran. Banyak program. Misalkan saja program cash for work untuk masyarakat di desa lewat dana desa. Tapi, juga untuk program yang meningkatkan, memperbaiki infrastruktur yang dipergunakan masyarakat, memberi dampak ke tingkat kemiskinan kita," klaim Suahasil saat ditemui di Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu. 

Itulah sebabnya pemerintah akan terus berupaya agar program dana desa seperti bantuan sosial, program keluarga harapan, program subsidi beras, dan sebagainya bisa terus berlanjut. Selain itu juga akan terus meningkatkan produktivitas dan berkelanjutan, karena itu pemerintah akan meningkatkan program pendidikan di bidang vokasi. 

"Ini adalah kegiatan yang harus belanjut terus. Memang ini upaya yang tidak bisa instan. Tetapi, program pemerintah akan terus ditingkatkan. Perlindungan sosial akan ada, bukan pengertian disuapi atau dicharity terus. Tapi, memang perlindungan selalu ada di masyarakat," jelas Suahasil. 
 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid