close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
Peristiwa
Kamis, 31 Juli 2025 16:05

Di balik gaduh data kemiskinan BPS

Banyak analis mempersoalkan data tingkat kemiskinan yang justru turun saat gelombang PHK sedang tinggi.
swipe

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data tingkat kemiskinan di Indonesia periode Maret 2025. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 8,47% atau lebih rendah dari periode September 2024, yakni 8,57%. 

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono mengatakan rata-rata garis kemiskinan nasional tercatat sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Artinya, rumah tangga miskin dengan rata-rata 4,72 anggota rumah tangga yang pengeluarannya berada di bawah Rp2.875.235 per bulan.

“Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar rumah tangga, baik makanan maupun non-makanan”, ungkap Ateng dalam siaran pers di situs resmi BPS. 

Jumlah penduduk miskin juga berkurang menjadi 23,85 juta orang. Tingkat kemiskinan di perdesaan adalah 11,03% dan perkotaan sebesar 6,73%. Dibandingkan periode sebelumnya, tingkat kemiskinan di perdesaan turun, sedangkan di perkotaan mengalami kenaikan.

“Pada pendataan Susenas, yang kita data adalah rumah tangga. Ada sekitar 345.000 rumah tangga yang menjadi sampel pada Maret 2025”, jelas Ateng.

Data yang dirilis BPS kontradiktif dengan isi laporan Macro Poverty Outlook yang dirilis Bank Dunia pada April 2025. Dalam laporannya, Bank Dunia mencatat 60,3% masyarakat Indonesia yang tinggal di bawah garis kemiskinan atau setara 171,8 juta jiwa. 

Sejumlah analis mempersoalkan data tingkat kemiskinan yang dirilis BPS. Apalagi, Indonesia sedang dilanda gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Berbarengan dengan tingginya angka pengangguran, pertumbuhan ekonomi juga cenderung stagnan. 

Dosen ilmu kesejahteraan sosial Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Handy menganggap wajar jika publik mempertanyakan angka kemiskinan yang dirilis BPS. Menurut Rissalwan, data yang dirilis BPS kerap tak merepresentasikan kenyataan di lapangan. 

Rissalwan mencontohkan parameter tingkat kemiskinan yang mengacu pengeluaran rumah tangga untuk biaya hidup per bulan sekitar Rp600 ribu. Menurut dia, biaya hidup di desa dan kota hampir pasti melebihi Rp600 ribu per bulan. 

"Saya kira angka itu tidak masuk akal. Angka itu angka yang dikonversi dari diskusi dari World Bank. Seharusnya, angka yang real di itu, ya, upah minimum regional, baik itu UMK atau UMP. Jadi, berbeda- beda, tapi kita bisa mengambil pembobotan," kata Rissalwan kepada Alinea.id, Rabu (30/7).

BPS mendefinisikan warga miskin sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada periode Maret 2024,  garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. 

Acuan garis kemiskinan di Indonesia yang terlalu rendah, menurut Rissalwan, bukan tanpa alasan. Dengan garis kemiskinan yang didesain seperti itu, jumlah warga miskin yang terdata bisa dipangkas. Terlebih, banyak orang di Indonesia masih bisa bertahan hidup dengan pendapatan Rp1 juta per bulan.

"Jadi, BPS ini memang jadi alat legitimasi negara agar mereka terpuaskan dengan sejumlah angka yang menunjukkan seolah-olah pemerintah berhasil. BPS punya penjelasan metodologi juga. Tetapi, apakah itu mewakili realitas di lapangan? Menurut saya, tidak," kata Rissalwan.
 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan