sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jurus BI ganjal rupiah agar tak kian tertekan

Bank Indonesia memiliki cara khusus untuk mengganjal agar rupiah tidak semakin tertekan menghadapi dollar Amerika Serikat.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Rabu, 05 Sep 2018 02:17 WIB
Jurus BI ganjal rupiah agar tak kian tertekan

Bank Indonesia memiliki cara khusus untuk mengganjal agar rupiah tidak semakin tertekan menghadapi dollar Amerika Serikat.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengaku telah menggelontorkan dana hingga Rp7,1 triliun dalam sepekan untuk mengintervensi pasar valuta asing. Bank sentral menggelontorkan dana sebesar Rp4,1 triliun untuk membeli surat berharga negara (SBN) asing dan Rp3 triliun SBN di pasar sekunder.

Menurutnya, BI akan terus melakukan stabilisasi ekonomi pada jangka pendek, terutama untuk mengamankan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

"BI bersama Kementerian Keuangan melakukan intervensi pasar obligasi dengan pembelian SBN. Sejak Kamis dan Jumat, SBN dari asing sebesar Rp4,1 triliun dan membeli SBN di pasar sekunder sekitar Rp3 triliun," kata Perry saat pemaparan kebijakan moneter dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR, Selasa (4/9). 

Kemudian, stabilisasi nilai tukar rupiah juga sudah dilakukan dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin menjadi 5,5% sepanjang tahun 2018. Sehingga, dapat menarik investor untuk berivenstasi karena membuat imbal hasil pasar keuangan dan obligasi pemerintah menjadi menarik. 

Dia memproyeksikan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan membaik pada tahun 2019. Hal itu disebabkan karena adanya pengurangan tekanan-tekanan dari faktor eksternal. 

Dari dalam negeri, Perry mengklaim defisit neraca transaksi berjalan akan jauh lebih berkurang dengan langkah-langkah yang saat ini dilakukan. 

Dia mencontohkan, kebijakan biodiesel 20% (B20) dinilai bisa menurunkan impor hingga US$2,2 miliar tahun ini. Pada tahun depan, diperkirakan bisa mengurangi impor minyak US$6 miliar. 

Sponsored

Belum lagi, kata dia, tambahan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Dari perhitungannya, total defisit transaksi berjalan bisa berkurang dari US$9 miliar-US$10 miliar.

Selanjutnya, ditambah dari sektor pariwisata yang bisa menerima cadangan devisa hingga US$3 miliar. 

"Dari dua itu saja sekitar US$12 sampai US$13 miliar (penambahan devisa). Itu kan besar," jelas Perry. 

Belum lagi, sambungnya, soal langkah-langkah yang akan diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang PPh Impor maupun juga penundaan sejumlah proyek. 

Untuk itu, kata dia, kondisi defisit transaksi berjalan akan jauh lebih rendah dibandingkan tahun ini. Karenanya, tekanan terhadap rupiah juga akan rendah. 

"Kami perkirakan tahun ini current account deficit berkisar di level 2,5% terhadap produk domestik bruto (PDB). Kami dulu pernah memperkirakan nominalnya kurang lebih US$25 miliar atau lebih tinggi sedikit. Kami masih ingin kalkulasi lagi, langkah yang dilakukan pemerintah ini apakah bisa menurunkan dengan cepat. Di situlah defisitnya akan lebih rendah dari perkiraan kami semula," tukas Perry.

Awasi spekulan

Sementara itu, BI, pemerintah, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengawasi aksi spekulan yang mencoba meraup keuntungan pada kondisi pelemahan rupiah.

Menurut dia, depresiasi rupiah tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal, tetapi juga adanya oknum yang mencari keuntungan besar melalui spekulasi terhadap kurs dollar AS. Pada dasarnya, pergerakan kurs akan dipengaruhi oleh sentimen teknikal dan fundamental.

Nilai tukar rupiah yang telah menyentuh level Rp14.920 di pasar spot, terendah sejak 1998, dinilai tidak mencerminkan fundamental mata uang Garuda. 

"Kalau hitung-hitungan, fundamentalnya seharusnya tidak seperti ini. Tidak selemah seperti ini. Ini banyak dipengaruhi oleh sentimen negatif, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri," kata dia.

Secara teknikal, Perry menyebut penyebab tekanan rupiah berasal dari krisis keuangan di Argentina dan Turki. Tekanan itu ditambah oleh adanya aksi spekulan yang terlalu banyak menyimpan valas.

Bank sentral telah bekerja sama dengan Kementerian Keuangan dan OJK untuk melakukan pengawasan dan mengecek ulang ke perbankan, terkait pembelian dollar AS yang dilakukan sudah sesuai PBI 18/18/PBI/2016 Pasal 17, yang perlu melakukan underlying. 

Dalam pasal tersebut tertuang, bank harus memastikan nasabah menyampaikan dokumen underlying transaksi dan atau dokumen pendukung transaksi valas terhadap rupiah untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. 

"Sebelum Turki dan Argentina, kami bersama OJK memeriksa ke bank mengenai underlying yang pada waktu itu, kami tidak menemukan ada pembelian valas tanpa underlying. Tapi, pada waktunya kami bersama OJK akan memeriksa lagi ke bank-bank," papar Perry. 

Di sisi lain, pemerintah akan memberikan sanksi bagi para spekulan dollar AS yang melakukan profit taking di tengah keadaan nilai tukar rupiah yang sedang terperosok. Sanksi ini dibuat agar spekulasi tidak menjadi sentimen negatif bagi perekonomian dalam negeri.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, sikap pemerintah ini dilatarbelakangi oleh fundamental ekonomi Indonesia yang sebenarnya masih kuat. Namun, beberapa pihak sengaja memanfaatkan kekuatan dollar AS guna mengambil untung. 

“Nanti kami lihat sanksinya,” ucapnya di Gedung DPR RI, Selasa (4/9).

Ia melanjutkan, adanya monitor yang ketat dari Kemkeu bersama BI dan OJK lewat forum Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KKSK) adalah hal yang wajar. 

“Ini suatu tindakan bagi kami untuk membedakan pelaku ekonomi yang genuine, yakni yang menjaga ekonomi dan perusahannya, dan menjaga ekonomi bertahan dalam guncangan ini, dengan mereka yang melakukan profit taking. Ini suatu yang biasa kami lakukan saat situasinya waspada begini,” jelasnya.

Berita Lainnya
×
tekid