sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kisruh AISA antara penggelapan dana dan gurihnya bisnis Taro

Harga saham PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk. (AISA) anjlok 92,8% dari Rp2.360 pada April 2017 menjadi Rp168 per lembar dalam kurun waktu setahun

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Senin, 30 Jul 2018 16:49 WIB
Kisruh AISA antara penggelapan dana dan gurihnya bisnis Taro

Harga saham PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk. (AISA) anjlok 92,8% dari Rp2.360 pada April 2017 menjadi Rp168 per lembar dalam kurun waktu setahun.

Merosotnya harga saham AISA atau akrab disebut TPS Food terjadi sejak setahun belakangan. Tahun lalu, terjadi penggerebekan gudang beras di Jalan Raya Rengas Bandung, Bekasi, yang dimiliki oleh PT Indo Beras Unggul (IBU) dan PT Sukses Abadi Karya Inti (SAKTI).

Perusahaan ini merupakan anak usaha TPS Food. Gudang itu digunakan untuk pemalsuan beras subsidi dioplos menjadi beras premium. Saat itu, nama Anton Apriyantono disebut-sebut dalam kasus lantaran dia duduk sebagai komisaris utama AISA.

Anton adalah mantan menteri pertanian pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Anton merupakan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sampai saat ini, Anton masih menjabat sebagai komisaris utama sekaligus komisaris independen TPS Food.

Sejak kasus itu, manajemen memutuskan untuk menghentikan bisnis beras. Keputusan itu membuat kinerja perseroan memburuk. 

Dalam laporan keuangan AISA per 31 Desember 2017 yang baru dirilis pada 29 Juni 2018, disebutkan pendapatan perseroan merosot 24,8% menjadi Rp4,92 triliun year-on-year (yoy) dari tahun sebelumnya Rp6,54 triliun.

Alhasil, perseroan harus menanggung rugi bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk senilai Rp551,9 miliar. Padahal, tahun sebelumnya perseroan meraup laba bersih Rp593,4 miliar.

Buruknya kinerja perseroan sejalan dengan harga saham yang terus melorot. Bahkan, PT Tiga Pilar Corpora selaku pemilik saham utama perseroan, terus melepas portofolio kepemilikan di dalam AISA.

Sponsored

Tiga Pilar Corpora melego kepemilikan saham secara perlahan dari 29,1% pada Juli 2017 menjadi tersisa kurang dari 5% pada Juli tahun ini.

Kini, pemilik saham AISA terdiri dari Fidelity Funds-Pacific Fund (7,98%), Kohlberg Kravis Roberts (KKR) menguasai 9,09% kepemilikan saham di AISA melalui KKR Asset Management LLC, Morgan Stanley (6,52%), Primanex Limited (5,38%), dan JP Morgan and Chase Bank (JPMCB) Na Re-Trophy Investor I Ltd. (9,33%) dan publik (56,7%).

Struktur kepemilikan saham AISA per 31 Desember 2016. 

Pailit

Sementara itu, Tiga Pilar Sejahtera juga terancam pailit. Dua kreditur Tiga Pilar, PT Sinarmas Asset Management dan PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG, telah mendaftarkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Permohonan PKPU ini terdaftar dengan nomor perkara 92/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst. 

Saat bersamaan, AISA gagal membayar bunga utang obligasi. Bunga tersebut berasal dari bunga atas Obligasi TPS Food I/2013 senilai Rp 30,75 miliar dan fee ijarah atas Sukuk Ijarah TPS Food I/2013 senilai Rp 15,37 miliar. 

Akibatnya, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memangkas peringkat AISA. AISA memperoleh peringkat “idCCC” dari “idBB+” pada Obligasi I/2013.

Selang beberapa waktu kemudian, manajemen AISA menggelar rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jumat (27/7). RUPST berjalan alot hingga lebih dari tujuh jam.

Kekisruhan terjadi pada RUPST tersebut. Sejumlah pemegang saham menuding adanya keanehan dalam laporan tahunan AISA. 

Terdapat transaksi dan piutang AISA senilai lebih dari Rp2 triliun yang digelontorkan kepada sejumlah perusahaan yang tak berkaitan dengan AISA tetapi justru memiliki afiliasi dengan Direktur Utama AISA Joko Mogoginta.

Transaksi itu tidak dicatat sebagai afiliasi, tetapi justru tertulis sebagai pihak ketiga. Padahal, AISA tengah bergelut dengan kesulitan kas untuk membayar utang.

Alih-alih untuk menyelesaikan utang, dana di perusahaan tersebut digunakan untuk aktivitas lain. Apalagi, nilainya mencukupi untuk melunasi utang bunga obligasi sehingga tak harus sampai gagal bayar. Aktivitas inilah yang dinilai berpotensi melanggar prinsip good corporate governance (GCG).

Komisaris AISA, Jaka Prasetya.Ditolak

Akhirnya, pemegang saham yang hadir dalam RUPST menolak laporan keuangan yang dipaparkan oleh manajemen AISA. Harianto Bhakti, investor AISA, menyebut sebanyak 61% suara yang hadir dalam RUPST menolak laporan manajemen AISA. 

Sejumlah pemegang saham tak percaya dengan manajemen AISA. Terlebih, soal adanya hubungan afiliasi antara direksi AISA, Joko Mogoginta dan Hendra Adisubrata, dengan distributor TPS Food.

"Dirutnya masih kasih angin surga kalau kita (TPS Food) masih bisa survive. Utang Rp22 juta saja ke Sinarmas enggak bayar, kok bilang masih bisa survive," kata Harianto.

Permasalahan aliran dana ke perusahaan juga dipertanyakan oleh KKR selaku pemegang saham institusi. Akibatnya, Direktur Utama AISA Joko Mogoginta walk out pukul 19.40 WIB saat RUPST masih berlangsung.

Sesaat keluar dari ruangan RUPS Joko Mogoginta berteriak-teriak mencari wartawan. "Wartawan mana nih?" ujarnya dengan suara meninggi. Tak berselang lama, RUPST pun rampung untuk sementara.

Hostile take over

Joko mengatakan, ada indikasi pengambilalihan paksa alias hostile take over AISA. Bahkan, kata dia, Komisaris Utama AISA Anton Apriyantono ditekan komisaris lain yakni Jaka Prasetya, untuk tidak mengesahkan laporan keuangan tahunan 2017. Namun yang bersangkutan menolak. 

Ditemui usai RUPS, Koordinator Keuangan AISA Sjambiri Lioe mengatakan, sebaiknya ada rekonsiliasi ulang dan pembicaraan baik-baik terkait masalah yang sedang mendera perseroan. “Kami merasa tidak ada penyelesaian yang baik dengan pemegang saham. Kami setuju dengan pergantian direksi asal sesuai dengan aturan,” ujar Sjambiri di Pacific Place, Jakarta.

Menurutnya, persoalan ini akan menyangkut para pegawai AISA yang berjumlah 5.000 orang. Jadi, apabila semua direksi digantikan sekaligus dan AISA diambil alih oleh komisaris, maka bisnis kemungkinan tidak akan berjalan lancar. Karena dari sisi menjalankan bisnis, direksi sudah jauh lebih paham.

Dalam kesempatan yang sama, Anton Apriyantono mengatakan, dirinya menyetujui laporan keuangan AISA karena dari sisi audit sudah sesuai oleh Kantor Akuntan Publik. Hasil audit menunjukkan tidak ada masalah. 

“Pertemuan Board of Commisioner pada tanggal 25 Juli 2018, saya bertemu dengan Jaka untuk membahas agenda RUPS. Pembicaraan panjang itu membuat saya ragu untuk membatalkan persetujuan karena saya rasa pertemuan ini baru dari satu pihak,” ujar Anton.

Lalu, pada 26 Juli, Anton sebagai Komisaris Utama AISA mengajak pertemuan kembali dengan komisaris lain yakni Jaka Presetya dan Hongkie Widjaja untuk membicarakan kembali terkait pergantian direksi, namun mereka tidak hadir.

Anton mengatakan, tidak akan serta merta mencabut persetujuan laporan keuangan AISA tersebut. Soal rencana pergantian direksi, dirinya setuju asal ada persetujuan dari semua pemegang saham. 

Soal hasil RUPS, menurut Anton, laporan keuangan tahunan AISA tidak disetujui pemegang saham sehingga harus ada pergantian direksi. Terkait hasil pergantian direksi, hasil voting sudah disimpan oleh pihak notaris dan akan diberikan ke OJK. 

“Hasil pergantian direksi tadi sudah dicatat notaris, saya tidak tahu jumlah perhitungan suaranya seperti apa. Yang jelas nanti biar OJK yang memutuskan,” ujar dia.

Komisaris utama AISA, Anton Apriyantono.

Keputusan

Rapat yang berlangsung hingga sekitar tujuh jam itu mengerucut pada dua kesimpulan utama. Pertama, pemegang saham tidak menyetujui pengesahan laporan tahunan AISA tahun buku 2017. Rinciannya, 61% suara menolak, hanya sebesar 39% suara yang setuju dengan pengesahan laporan tahunan perusahaan. 

Mata acara pergantian direksi merupakan rangkaian agenda setelah persetujuan laporan tahunan. Untuk sementara ini, dewan komisaris bakal mengambilalih tugas dewan direksi setidaknya selama 90 hari ke depan. Setelah itu, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) bakal digelar untuk menentukan dewan direksi yang baru. 

Salah satu investor yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, saat ini sahamnya yang masih 'nyangkut' di AISA sekitar 200 lot. "Padahal dulu emiten ini fundamentalnya bagus," katanya.

Ia berharap, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) juga harus turut bertanggung jawab terhadap perusahaan melantai di bursa, supaya investor tak mengalami kerugian. "Kalau bisa diberesin dan direkturnya bisa diganti ini, perusahaan ini masih bisa bagus. Ini manajemennya yang enggak beres" ujarnya. 

Pada sisi lain, karyawan TPS Food, HR Officer AISA Norma mencurahkan isi hatinya kepada media. Ia mengaku sudah bekerja di perusahaan dengan brand Taro itu lebih dari tujuh tahun. "Saya tadi di dalam, sempat dengar tapi enggak seluruhnya. Lihatlah kejadian tahun lalu, pukulan berat dan cobaan berat bagi kita. Tapi satu tahun itu sampai dengan sekarang kita ngerasa semuanya baik-baik saja kok, apalagi waktu tahun 2017, kami pernah kasus beras itu memang berasa kok kita seperti terkena tamparan," ungkapnya

Ia menyebut pihak manajemen tetap bekerja sebagaimana mestinya dan tetap mendukung untuk keberlangsungan perusahaan ke depannya. "Kita bisa fight, manajemen support kita, kami bisa bangkit dari yang tahun 2017 itu. Kita merasa toh sehari-hari operasional kita tetep jalan kok, walaupun memang yang bagian beras kurang bagus, tapi yang bagian food kita fine saja," jelasnya.

Norma berharap, agar karyawan masih bisa bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga dan bisa bekerja dengan tenang. "Kalau dari atasan sendiri terjadi kisruh, kita enggak tahu kedepannya kaya bagaimana," pungkasnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid