sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mampukah bisnis pertanian ambil peluang di era pandemi?

Permintaan masih tinggi, namun distribusi dan logistik masih kacau selama pandemi.

Syah Deva Ammurabi
Syah Deva Ammurabi Selasa, 12 Mei 2020 18:07 WIB
Mampukah bisnis pertanian ambil peluang di era pandemi?

Sektor pertanian menjadi harapan baru bagi perekonomian yang kini terhempas di segala lini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masih tumbuh 9,46% pada kuartal I 2020 dibandingkan kuartal sebelumnya (q to q).

Namun, laju pertumbuhannya hanya 0,02% bila dibandingkan dengan kuartal I tahun 2019 (year on year).  Sektor ini juga berkontribusi 12,84% terhadap PDB nasional sepanjang kuartal I 2020, terbesar ketiga setelah industri pengolahan dan perdagangan.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, pertumbuhan tersebut disebabkan adanya kenaikan permintaan domestik dan produksi hasil hortikultura (buah-buahan dan sayuran), perikanan tangkap dan budidaya, perkebunan, serta kayu tanaman. Sayangnya, pergeseran musim panen raya padi menyebabkan kontraksi pada subsektor tanaman pangan yaitu sebesar 10,31% (yoy).

“Pada 2019, puncak panen raya jatuh pada bulan Maret dan tahun ini jatuhnya bulan April di kuartal kedua. Harapannya, sektor pertanian di kuartal dua berkontribusi positif untuk memperbaiki perekonomian Indonesia,” ungkapnya dalam konferensi pers, Selasa (5/5).

 

Pelaku agribisnis pun mengakui adanya peningkatan penjualan seiring dengan pandemi Covid-19 yang terdeteksi ada di Indonesia sejak Maret lalu. Pendiri dan Chief Executive Officer Sayurbox Amanda Susanti Cole mengklaim penjualannya meningkat sejak Maret. Perusahaan e-commerce tersebut mencatat kenaikan pemesanan lima kali lipat dibandingkan sebelum adanya pandemi Covid-19. 

“Kita yang pasti setelah ada Covid dan imbauan dari rumah memang ada peningkatan. Peningkatan paling besar terjadi pada sayuran,” ungkapnya kepada Alinea.id, Sabtu (9/5).

Selain sayuran, Sayurbox juga menjual berbagai bahan makanan lainnya seperti sembako, buah-buahan, daging, telur, ikan, dan bumbu dapur. Selain itu, pihaknya juga menyediakan menu makanan dan minuman sehat siap saji melalui label “Ijoijo”.

Sponsored

Di tengah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB), pihaknya mengandalkan armadanya sendiri dalam mengirim produk-produknya kepada para konsumen. Langkah ini membuat distribusi barang tidak mengalami gangguan yang berarti.

“Menurutku yang paling penting agar fokus masalah corona bisa lewat, ekonomi tetap membaik. Fokus kita adalah melihat perubahan perilaku konsumen nanti bagaimana. Bisnis harus bisa beradaptasi,” tuturnya.

Di sisi lain, Sayurbox juga fokus pada kesehatan karyawan di tengah padatnya aktivitas pemesanan. “Kami lakukan pembersihan gudang setiap tiga kali sehari. Kemudian, temperatur check, pemberian vitamin, dan pemakaian sarung tangan kepada para karyawan. Kita monitoring juga kesehatan mereka tiap pagi dan malam,” ungkapnya.

Berbeda dengan Sayurbox yang mengandalkan distribusi secara mandiri, Sabila Farm justru terkendala dalam mengirim paket pesanan. Perkebunan buah yang berlokasi di Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini tersohor akan produk buah naganya.

Sang pemilik, Muhammad Gunung Sutopo mengeluhkan sulitnya distribusi dan logistik selama pandemi Covid-19 karena adanya pembatasan transportasi. Padahal, permintaan dalam negeri saja masih cukup besar. Apalagi, pangsa pasar Sabila Farm adalah pasar premium di luar Yogyakarta.

“Kami menggunakan bus malam dan kereta api. Untuk dua-duanya benar-benar enggak ada pengiriman sama sekali. Kami terkendala moda pengiriman. Kita tidak menggunakan JNE (jasa ekspedisi) atau segala macam karena mahal,” ungkap pria yang akrab disapa Pakde Gun tersebut, Sabtu (9/5).

Mau tak mau, dia harus memutar otak untuk bertahan hidup yaitu dengan fokus menggarap pasar Yogyakarta.  Dia pun terpaksa menurunkan harga jualnya agar kebunnya tetap dapat beroperasi dan mampu memberi upah kepada para karyawannya. 

“Dulu kita jual (buah naga merah dan buah naga putih) premium Rp40 ribu (per kilogram), sekarang saya jual Rp10 ribu, yang penting bisa terjual. Meskipun saya jual Rp10 ribu, saya masih untung,” katanya yang juga Ketua Asosiasi Buah Naga Indonesia (ABNI) tersebut.

 

Selain buah naga, kebunnya juga memproduksi buah-buahan lainnya seperti lemon, sirsak, srikaya, alpukat, dan jambu kristal. Dari semua buah tersebut, permintaan terhadap buah lemon dan srikaya masih relatif stabil di masa pandemi. Sementara khusus buah naga telah melewati masa panen yang berlangsung pada November-April.

Dia menyatakan 60% pendapatan Sabila Farm berasal dari kebun produksi. Kebun ini jugalah yang menjadi kawasan agrowisata yang memiliki unit edukasi dan rekreasi. “Dengan adanya corona, tidak ada orang edukasi dan rekreasi. Jadi produk kami 40% (dari agrowisata) hilang,” bebernya.

Pakde Gun menyarankan dua hal agar pegiat agribisnis dan petani dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19. Pertama, ubah teknologi untuk menekan biaya produksi. Kedua, ubah sistem untuk menekan pengeluaran sekaligus mengatasi hambatan yang dialami, misalnya soal distribusi. 

Menurutnya, pelaku agribisnis jangan hanya mengharapkan bantuan pemerintah semata. “Jangan kira berhenti corona kita langsung main, enggak bisa. Kan pasar sudah ambyar. Pola-pola itu (kondisi pasar) harus diperbaiki,” ungkapnya.

Agribisnis pangan bersinar, perkebunan meredup

Wakil Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suharyo Husen berpendapat, faktor perubahan iklim lebih mempengaruhi produksi pertanian dibandingkan pandemi virus corona.

“Kalau kita lihat masa corona ini konsumen perlu pangan, tetapi harganya harus terjangkau. Di sisi lain, naik-turunnya harga bergantung kepada supply dan demand ,” tuturnya kepada Alinea.id, Jumat (8/5).

Husen melihat, agribisnis yang memproduksi bahan pangan seperti tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan berpotensi naik daun di tengah pandemi Covid-19. Belum lagi defisit bahan pangan masih terjadi di sejumlah daerah karena terganggunya distribusi barang. 

Seorang peniliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan proses ekstraksi saat uji Lab penemuan obat herbal untuk penyembuhan Covid-19 dan penghambatan pertumbuhan virus corona di Lab Cara Pembuatan Obat Tradisional Baik (CPOTB) Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (6/5/2020). Para peneliti dari LIPI berhasil mengembangkan ramuan tanaman herbal daun Ketepeng dan benalu bermarga dendroptoe sebagai obat penyembuhan Covid-19 dan penghambatan pertumbuhan virus corona. Foto Antara/Muhammad Iqbal/foc.

Di sisi lain, perkebunan yang menghasilkan komoditas berorientasi ekspor mengalami kelesuan. Hal ini terungkap ketika dia berbincang kepada atase perdagangan Indonesia di berbagai negara. “Ternyata produk perkebunan yang merupakan bahan baku dimana pabrik-pabrik tersebut ada mengalami penurunan demand,” ungkap Direktur Eksekutif Dewan Teh Indonesia tersebut.

Menurut laporan Bank Dunia, harga komoditas ekspor unggulan Indonesia seperti karet alam RSS (karet lembaran asap), karet alam TSR (karet spesifikasi teknis), kakao, minyak kelapa sawit, teh, dan kopi robusta mengalami penurunan harga masing-masing sebesar 17,39%, 17,16%, 16,54%, 16,46%, 6,81%, 6,00% selama Februari-April 2020. Sementara itu, kopi arabika masih mengalami kenaikan harga sebesar 14,05% selama periode yang sama.

Penurunan permintaan industri juga terjadi di dalam negeri, sehingga hasil panen petani, peternak, dan nelayan yang menjadi bahan baku industri tidak terserap. “Sangat diperlukan paket bantuan pangan dan tunai untuk petani dan nelayan golongan termiskin, sehingga tetap bekerja di lapangan,” ungkapnya.

Di sisi lain, hambatan importasi karena adanya karantina wilayah sejumlah negara juga bisa menjadi peluang tersendiri. Menurutnya, Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri karena memiliki bahan pangan lokal yang melimpah seperti singkong, ubi jalar, sorgum, dan kacang-kacangan.

Dia menilai produksi sumber protein hewani seperti daging ayam, daging kerbau, telur, dan ikan juga mampu mensubstitusi kebutuhan daging sapi impor.

“Sebetulnya kuncinya ada di pemerintah. Pemerintah menetapkan pajale (padi, jagung, dan kedelai) sebagai komoditas strategis nasional. Kalau sudah strategis nasional, bantuan ke petani pajale pasti memadai untuk produksi. Tetapi, sagu, singkong, dan sorgum belum ditetapkan sebagai komoditas pangan strategis,” terangnya.

Insentif untuk petani

Melihat dampak pandemi Covid-19 yang menimpa sektor pertanian, pemerintah berencana mengguyur insentif kepada petani miskin. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, insentif tersebut terdiri dari bantuan tunai sebesar Rp300 ribu dan sarana prasarana produksi pertanian (saprotan) sebesar Rp300 ribu. 

“Pemerintah juga melihat pada saat ini untuk memberikan insentif kepada petani. Jumlah kategori petani miskin sebesar 2,44 juta orang diberikan insentif agar bisa menanam di periode berikutnya,” tuturnya usai rapat terbatas, Selasa (28/4).

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, petani yang masuk kategori miskin terdiri dari petani serabutan, petani penggarap, dan buruh tani. Pihaknya berbagi tugas dengan Kementerian Desa, Transmigrasi, dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes) dalam penyaluran insentif tersebut. Kemendes berwenang dalam penyaluran bantuan tunai dan Kementan berwenang dalam penyaluran saprotan.

“Di dalamnya ada pupuk, bibit, dan obat-obatan. Tentu saja program ini adalah program yang mudah dilakukan, realistis bisa diambil, dan cepat menghasilkan karena untuk membantu masyarakat,” katanya.

Dia menambahkan validasi data dilakukan berjenjang mulai dari kelompok tani, Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostra Tani) di tingkat kecamatan, Dinas Pertanian Kabupaten/Kota dan Provinsi, hingga pemerintah pusat.

“Kami rencananya melibatkan Babinsa (Bintara Pembina Desa TNI AD), Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), dan Kepolisian untuk memvalidasi data,” lanjutnya.

Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (PPSDMP), Kementan Dedi Nursyamsi menjelaskan, pihaknya sudah menyiapkan calon penerima dan calon lokasi (CPCL) sasaran. Dana insentif akan langsung disalurkan ke rekening kelompok tani. Lalu, pencairannya melibatkan Kepala Dinas Pertanian setempat agar pemanfaatannya tepat guna.

Namun, Kementan masih menyusun petunjuk teknis pelaksanaannya. “Akhir Mei target penyalurannya seperti itu, tapi kan semuanya sedang proses, sedang dikerjakan ini. Administrasi kan perlu tertib juga,” ujarnya melalui sambungan telepon, Sabtu (9/5).

Siapkah hadapi normal baru?

Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Bayu Krisnamurthi mengatakan, respon pemerintah dan masyarakat terhadap pandemi virus corona lebih besar dampaknya terhadap kegiatan usaha pertanian dibandingkan penyakit yang ditimbulkannya.

“Yang turun (selama pandemi) adalah permintaan konsumen. Makanan di hotel hilang. Restoran tidak ada. Katering pesta, rapat, dan buruh pabrik tidak beroperasi. Warung dan toko-toko makanan  tutup semua,” bebernya dalam telekonferensi, Jumat (8/5).

Di sisi lain, beberapa produk agribisnis mengalami peningkatan pemintaan selama Covid-19 seperti buah-buahan, sayuran, dan apotik hidup (jamu dan obat-obatan herbal) seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk menjalankan gaya hidup bersih dan sehat. Permintaan tersebut berasal dari konsumsi rumahan dan pemesanan secara daring (online).

“Kalau ada yang menyebutnya krisis pangan saya bertanya-tanya. Yang jelas ini krisis perdagangan, logistik ,dan transportasi. Produksi masih ada, tapi perdagangan dan logistik ini belum efektif. Kalau krisis terjadi, mungkin krisis pangan impor,” terang Mantan Wakil Menteri Perdagangan Periode 2011-2014 tersebut.

 

Bayu memprediksi, belanja daring dan digitalisasi akan menjadi kegiatan normal baru yang mempengaruhi sektor pertanian. Oleh sebab itu, penguasaan internet menjadi kunci bagi petani, peternak, nelayan, dan pelaku agribisnis untuk bertahan hidup. 

“Kalau memang benar internet menjadi penting, akankah terjadi diskriminasi internet? Bukan tidak punya produk atau daya saing, seketika produk mereka tidak dapat masuk pasar karena tidak ada internet. Terutama banyak desa kita belum punya akses internet,” ujarnya.

Menteri Pertanian Kabinet Persatuan dan Gotong Royong (2000-2004) Bungaran Saragih berpendapat, pandemi Covid-19 merupakan kesempatan yang besar bagi pelaku agribisnis Indonesia. Meskipun indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat mengalami pelemahan.

“Konsumsi nasional bisa berkurang, namun konsumsi pangan tidak banyak berkurang, bahkan bisa meningkat karena ada usaha pemerintah membeli langsung pangan itu dan mendistribusikan orang yang barangkali menjadi korban (pandemi),” ungkapnya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin berpendapat, krisis pangan masih belum terjadi selama produksi pangan masih mampu mencukupi kebutuhan masyarakat.

“Dimulai dari daya beli yang terganggu, dari situ yang harus kita jaga dalam agribisnis pangan. Jangan sampai supply side (sisi penawaran atau produksi) terganggu,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Bustanul menyarankan adanya integrasi sistem produksi dan konsumen pangan, penguatan kelembagaan kelompok tani, serta adaptasi bisnis modern seperti strategi pemasaran, merek produk, dan segmentasi konsumen. “Jangan-jangan memang harus dipicu oleh (pandemi) Covid ini,” ujarnya.
Produk perkebunan berorientasi ekspor mengalami penurunan harga selama masa pandemi. Alinea.id/Oky Diaz.

Berita Lainnya
×
tekid