sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mampukah Indonesia masuk negara berpendapatan tinggi 2030?

Dari sejumlah faktor, Indonesia dinilai sulit masuk ke dalam kategori negara higher income pada 2030.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Kamis, 07 Jun 2018 05:24 WIB
Mampukah Indonesia masuk negara berpendapatan tinggi 2030?

Gubenur Bank Indonesia Perry Warijyo menyatakan, pada tahun 2030 Indonesia masih sulit menggapai sebagai negara higher income. Ada beberapa faktor yang mendasari Indonesia sulit mendapatkan gelar negara higher income.

Perry menjelaskan, dari faktor produktivitas Indonesia yang tidak bisa melebihi 1% atau bahkan medekati 2%. Pada 2016-2017 saja, faktor produktivitas terhadap ekonomi di Indonesia hanya menyumbang 0,92%.

"Kalau bisa di 4% bagus, tapi sekarang masih jauh dibawah 3%. Bisa enggak untuk meningkatkan seperti itu?," jelasnya dalam diskusi publik Indonesia 2030: Peluang dan Tantangan Ekonomi, di Gedung Pekarti Center, Jakarta, Rabu (6/6). 

Selain itu, kata dia, sumber daya manusia (human capital) yang saat ini masih harus terus ditingkatkan. Kalau tidak bisa ditingkatkan, tidak bisa mengkaliberasi menjadi higher income.

Rasio investasi rill pun juga perlu didorong agar bisa mencapai 40%. Saat ini, kata dia, rasio investasi rill baru 30%. 

"Kalau kita hanya bekerja bekerja seperti business as usual, baru bisa tumbuh 0,9%.  Di tahun 2030 atau 2045 income per kapita US$10.400. Kalau bisa kerja lebih keras dan pertumbuhan average-nya bisa mencapai 5,6%, itu baru akan mencapai high end income pada 2045," terang Perry. 

Untuk diketahui, pada tahun 2017, pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$3.876.

Perry menyanggah jika ini sebagai bentuk pesimistis dirinya. Hal itu semata-mata dari hasil kajiannya yang selain sebagai Gubenur Bank Indonesia, tapi juga sekaligus sebagai akademisi. 

Sponsored

Menurutnya, yang jelas Indonesia butuh ekstra kerja keras untuk memasuki negara sebagai higher income di tahun 2030 dan pada tahun-tahun mendatang. 

Namun demikian, dia melihat Indonesia masih punya peluang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya, misalnya saja bonus demografi yang meningkat, daya beli masyarakat yang tinggi, dan nilai ekspor yang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. 

"Selain itu juga, pekerja yang terdidik juga harus ditingkatkan," tegasnya.

Selain itu, kata dia, peluang yang bisa digali dari perkeonomian di Indonesia juga bisa berasal dari ekonomi digital. Penggunaan internet dan konsumsi di era digitalisasi ini begitu cepat, sehingga dapat mengeluarkan potensi dari struktur ekonomi, indistri langsung dalam pelayanan ekonomi digital dan finansial, yang bisa terus dikembangkan. 

Perry menyebut, financial technology (Fintech) untuk pembayaran, peer to peer landing, serta inklusi keuangan. Jika dikembangkan, lanjutnya, bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Untuk jangka panjang, kata dia, Indonesia juga perlu memperbaiki reformasi struktural, yang terus dibicarakan di forum G-20. Di mana dalam forum itu disebut, dalam 10 tahun setidaknya pertumbuhan ekonomi bisa naik 2%. 

"Ke depan harus lebih spesifik dan targeted untuk structure reform. Indonesia diharapkan dapat mengurangi current account defisit. Setidaknya fenomena defisit bisa berubah menjadi surplus," jelas Perry. 

Dia menambahkan, Indonesia perlu mendorong sektor ekspor dan pariwisata. Sehingga, bisa menghasilkan multiplier yang sangat luas. 

"Pemerintah ada 5 produk unggulan, it's good. Kita garap itu mulai dari perdagangan, pasar. Harus terus dijalankan, mana yang bisa meningkatkan ekspor dari sektor non-migas," ujar Perry. 

Perry juga menyebut di sektor perdagangan, Indonesia mengeluarkan hingga US$12 milliar. Jadi setidaknya Indonesia harus bisa mengurangi defisit transportasi, sehingga bisa menghasilkan devisa ekspor. 

Pada kesempatan yang sama, Deputi Bank Indonesia Doddy Budi Waluyo menyatakan, BI selalu konservartif dalam melihat bagaimana pemerintah menetapkan asumsinya. Yang jelas, kata dia, BI akan melalukan dengan policy skenario jika pertumbuhan ekonomi 6% pada 2040 dan beberapa poin yang harus dolakukan. 

"Kita tidak akan terjebak di dalam middle income trap, posisi kita jangka menengah panjang. Poin berikutnya, kita harus melihat beberapa hal terkait posisi bagaimana kondisi sektor kita ada beberapa indikator khususnya infrasturktur, institusi, human capital, dan inovasi," tegas Dody.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid