sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bank Dunia turunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia

Penurunan proyeksi ini disebabkan meningkatnya risiko meski perekonomian diperkirakan tetap positif.

Cantika Adinda Putri Noveria Eka Setiyaningsih
Cantika Adinda Putri Noveria | Eka Setiyaningsih Rabu, 06 Jun 2018 15:22 WIB
Bank Dunia turunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia

Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 5,2% atau lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,3% di 2018. Penurunan proyeksi ini disebabkan meningkatnya risiko, meski perekonomian diperkirakan tetap positif.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo A Chaves mengatakan, revisi proyeksi dibuat karena meningkatnya risiko di dalam ekonomi domestik Indonesia. Peningkatan risiko yang disoroti Bank Dunia berasal dari perlambatan kinerja ekspor.

"Konsumsi swasta diperkirakan sedikit meningkat, sementara pertumbuhan investasi diproyeksikan tetap tinggi mengingat tingginya harga komoditas yang terus berlanjut," ujar Rodrigo di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (6/6).

Bank Dunia menilai perekonomian Indonesia terus tumbuh dengan cepat di kuartal I-2018 terdorong oleh investasi yang tinggi. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,1% di kuartal I-2018 atau lebih rendah dari kuartal IV-2017 sebesar 5,2%. Kendati demikian, angka itu lebih tinggi dari kuartal I-2017 yang hanya tumbuh 5,01%.

Harga komoditas global yang lebih tinggi sebenarnya telah memacu investasi. Terutama investasi permesinan, peralatan, dan kendaraan bermotor. "Akibatnya, pembentukan modal tetap bruto bertumbuh sebesar 7,9%, yang tercepat dalam lebih dari lima tahun ini," ujarnya.

Investasi permesinan yang lebih tinggi membuat impor juga ikut meningkat. Pertumbuhannya dua kali lebih besar dari pertumbuhan ekspor. Hal itulah yang membuat Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat.

Sementara defisit neraca transaksi berjalan di kuartal I-2018, mencapai 2,1% dari PDB. Capaian itu turun dari catatan Bank Dunia tentang defisit neraca transaksi berjalan di kuartal IV-2017 2,3% dari PDB. "Total impor bertumbuh hampir dua kali lebih cepat dibandingkan ekspor. Karena investasi yang padat, impor melonjak dan ekspor melambat," tambahnya.

Inflasi IHK turun menjadi 3,3% di kuartal I-2018. Angka itu menjadi yang terendah sejak kuartal IV-2016. Sedangkan inflasi inti juga turun dari kuartal IV-2017 sebesar 3,0% menjadi 2,7% di kuartal I-2018. 

Sponsored

Inflasi yang lebih rendah itu dikarenakan pertumbuhan harga yang lebih kecil dari harga rumah, gas, listrik dan bahan bakar karena adanya efek kenaikan tarif listrik di kuartal I-2017. Namun inflasi harga makanan juga mengalami peningkatan.

Sebelumnya, lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) kembali mengafirmasi, peringkat Indonesia tetap pada level layak investasi (Investment Grade). Bank Indonesia meyakini ini merupakan cerminan atas kondisi fundamental ekonomi yang baik.

Dalam siaran persnya, S&P memberikan afirmasi atas Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada level BBB-/outlook stabil. Beberapa faktor kunci yang mendukung keputusan tersebut, disebabkan oleh beban utang pemerintah yang relatif rendah dan fiskal yang terjaga. ‎

S&P menyebut, pihaknya bisa saja menaikkan peringkat jangka panjang jika saldo eksternal dan fiskal Indonesia‎ bisa melebihi apa yang mereka ekspetasikan.  Atau bahkan menurunkan peringkat apabila neraca perdagangan dan fiskal selama satu atau dua tahun ke depan menjadi lebih buruk dari yang mereka proyeksikan saat ini. 

"Indikasi tekanan pada penetapan peringkat rating berdasarkan utang pemerintah dan defisit anggaran yang masing-masing 30% dan 3% dari PDB," seperti dikutip dalam siaran Pers S&P, Sabtu (2/6).

Selain itu, S&P juga menyebut, rasio utang pemerintah terhadap PDB dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan akan tetap stabil. Serta meningkatnya tax collection sebagai dampak dari tax amnesty dan meningkatnya harga minyak dunia diproyeksikan memperbaiki penerimaan negara.

Dari sisi eksternal, neraca perdagangan Indonesia diproyeksikan akan mengecil dalam beberapa tahun ke depan, yang mencerminkan permintaan global yang stabil dan harga komoditas yang lebih tinggi. 

Fleksibilitas rupiah dan kebijakan kehati-hatian dalam mengelola risiko utang luar negeri jangka pendek korporasi telah mendorong penurunan rasio kebutuhan pembiayaan eksternal terhadap current account receipt (CAR).

Selain itu, dalam mendukung daya beli dan konsumsi, pemerintah mengambil langkah dengan menahan kenaikan harga minyak dan listrik. Upaya tersebut dinilai bersifat temporer dan momentum reformasi akan kembali menguat.

Bank Indonesia sebagai bank sentral dinilai S&P sebagai institusi penting di Indonesia untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi guncangan ekonomi atau keuangan.

"Bank sentral Indonesia telah memiliki kemandirian operasional yang signifikan untuk mengejar target kebijakan moneter sejak Juli 2005, ketika secara resmi mengadopsi Kerangka Penargetan Inflasi. BI semakin bergantung pada pasar instrumen dalam menerapkan kebijakan monternya dalam sistem keuangan yang telah tumbuh dengan mantap dalam beberapa tahun terakhir," seperti dikutip dalam siaran pers S&P.

S&P sebelumnya menaikkan peringkat Indonesia ke level BBB-/stable outlook (Investment Grade) pada 19 Mei 2017.

Berita Lainnya
×
tekid