sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Membangun ibu kota baru yang ideal

Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta memberikan harapan baru akan pemerataan ekonomi dan pusat pemerintahan yang ideal.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Sabtu, 18 Mei 2019 10:17 WIB
Membangun ibu kota baru yang ideal

Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa terus bergulir. Pemindahan ibu kota baru ini diharapkan bisa memecah konsentrasi pembangunan hingga ke seluruh pelosok Indonesia. Saat ini, pemerintah tengah menimbang lokasi untuk membangun ibu kota yang ideal.

Tiga provinsi besar yang ada di Kalimantan kemudian mencuat sebagai kandidat  kuat lokasi ibu kota baru negara. Ketiga provinsi tersebut yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. 

Ketiga provinsi ini dinilai memenuhi kriteria ibu kota baru, mulai dari lokasi yang strategis dan berada di tengah wilayah Indonesia, keamanan, keselamatan dari bencana alam, ketersediaan air bersih, ketersediaan lahan, dan keterbukaan budaya untuk menangkal potensi konflik sosial yang mungkin terjadi. 

Menteri/Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan rencana pemindahan ini akan dilakukan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Dimulai dari segi perencanaan dan perancangan master plan tahun 2020-2021, selanjutnya pembangunan infrastruktur kantor pemerintahan dan fasilitas penunjang lainnya pada 2021 hingga 2024. 

“Kita ingin membangun ibu kota yang berwawasan Indonesia sentris, dengan mengedepankan pemerataan pertumbuhan bagi kota-kota lainnya yang ada di sekitarnya,” katanya dalam Dialog Nasional Pemindahan Ibu Kota Negara, Kamis (16/4).

Ia pun mengatakan untuk tahap awal akan ada pemindahan 1,5 juta Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerintah di ibu kota baru tersebut nantinya. 

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Kenapa Ibu Kota Harus Pindah? Alasan Kedua, Pemerataan Ekonomi Sebagian besar ekonomi Indonesia (atau sekitar 58.5%) terjadi di Jawa dan 21,6% di Sumatera. Jika digabung, Maka hampir 80% ekonomi indonesia terjadi di Barat Indonesia. Sudah ekonomi bagian barat Indonesia lebih besar dari bagian timur, pertumbuhan barat pun lebih tinggi. Jika diteruskan maka kesenjangan ekonomi antara barat dan timur akan makin besar. Ini bukanlah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Saudara-saudara kita di tengah dan timur Indonesia juga berhak menikmati pertumbuhan ekonomi Pemindahan Ibu Kota Negara akan menjadi awal pemerataan ekonomi di luar Jawa yang nantinya akan diikuti pembangunan 10 Kota Metropolitan baru. Inilah visi pembangunan Indonesia-sentris, dimana ekonomi tidak hanya dinikmati mereka yang ada di Pulau Jawa saja.

Sponsored

A post shared by Bambang Brodjonegoro (@bambangbrodjonegoro) on

 

Lebih dari sepuluh tahun

Perencana kota dari Ruang Waktu, Wicaksono Sarosa, mengatakan pemilihan ibu kota selalu berdasarkan pada pertimbangan politis dibanding pertimbangan teknokratis. Dengan demikian, ia sepakat dengan Menteri Bappenas mengenai ibu kota yang berwawasan Indonesia sentris. 

Namun, ia meragukan ibu kota baru tersebut dapat terwujud dalam jangka waktu sepuluh tahun, seperti yang disampaikan oleh Bambang Brodjonegoro. Menurutnya, di negara lain, proses pemindahan ibu kota memakan waktu lebih dari sepuluh tahun.

Dengan demikian, perlu disiapkan perangkat hukum atau undang-undang yang dapat menjamin keberlangsungan pemindahan ibu kota ini dengan baik. Sebab, jika proses pemindahan ibu kota berlangsung lebih dari sepuluh tahun, maka akan melebihi masa jabatan pemerintahan yang sekarang dan yang akan datang. 

“Kesiapan secara politis, dukungan finansial, dan sebagainya harus menjadi pertimbangan. Agar ke depannya tidak berhenti di tengah jalan,” kata dia, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (17/5).

Harapan baru

Sementara itu, Dosen Institut Teknologi Bandung, Ibnu Syabri, mengatakan selama ini, Indonesia masih bergantung pada Pulau Jawa untuk menggenjot perekonomian. Pemindahan ibu kota baru menjadi harapan bagi kota-kota lainnya. Sebab, akan tercipta kemandirian dan pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa.

“Ke depan kita membayangkan 70% spending yang di Jakarta dipindahkan ke ibu kota baru,” ucapnya. 

Senada, dosen Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengatakan dengan pemilihan ibu kota baru di wilayah Kalimantan, akan tercipta kawasan ekonomi baru di Indonesia selain Sumatera-Jawa-Bali.

Bukan hanya itu, kata Yayat, dampak ekonomi dari pemindahan ibu kota ini akan bergeser ke Pulau lain seperti Sulawesi yang secara geografis berdekatan dengan Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

“Kalimantan membutuhkan material-material pendukung untuk pembangunan infrastruktur karena mereka tidak punya pasir dan batu. Jadi kalau mau bangun kota besar itu harus input dari Palu dan Donggala, Sulawesi. Jadi akan ada pertumbuhan pusat ekonomi baru di wilayah Indonesia,” katanya.

Selain itu, kata dia, jika ada 1,5 juta ASN yang akan dipindahkan ke kota yang baru, maka kebutuhan logistik mereka juga harus dipenuhi, seperti pangan.

“Nah, ini dapat diperoleh dari kawasan penghasil sayuran dari wilayah pegunungan Enrekang di Sulawesi Selatan. Itu mendorong peluang usaha agrobisnis baru. Jarak lebih dekat” ucapnya. 

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Meninjau kesiapan salah satu calon ibu kota negara di tengah Pulau Kalimantan.

A post shared by Joko Widodo (@jokowi) on

 

Menghindari konflik

Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Turro Wongkaren mengatakan, dari sisi demografi, Kalimantan Timur memiliki indeks pertumbuhan manusia yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, bahkan dengan daerah lain di Indonesia. 

Selain itu, suku yang ada di Kalimantan Timur lebih kaya dibandingkan dua provinsi lainnya itu.

“Kalau kita lihat secara proporsi tigabesar suku yang ada di Kalimantan Timur itu suku Banjar, Jawa dan Bugis. Sementara di Kalimantan Tengah mayoritas adalah suku Dayak dengan berbagai kelompoknya,” katanya. 

Dengan proporsi demikian, Kalimantan Timur dinilai lebih minim potensi konflik horizontal dibandingkan dengan Kalimantan Tengah. Apalagi, katanya, konflik identitas pernah terjadi di Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu.  

Namun demikian, ia mengatakan, konflik vertikal dan horizontal masih mungkin terjadi di dua wilayah tersebut. Hal ini, katanya, bisa dipicu oleh kedatangan 1,5 penduduk yang akan masuk ke ibu kota baru.

“Sebagian besar ASN kita yang pindah itu kan juga bersuku Jawa,” ucapnya. 

Selain itu katanya, 1,5 juta ASN yang akan pindah ke ibu kota baru berasal dari kelas menengah atas dengan latar belakang penidikan yang lebih tinggi dan pendapatan yang lebih besar. 

“Sementara penduduk kedua kota ini paling mereka itu SD-SMP. Itu akan memungkinkan potensi konflik yaitu konflik vertikal,” katanya. 

Yayat menambahkan, akan ada perpindahan secara besar kelas menengah baru Jakarta ke daerah dengan segala perilaku dan aktivitasnya. Menurut dia, hal itu akan mempengaruhi pola perilaku di suatu kawasan. Selain itu, ada faktor-faktor ekonomi baru yang akan mendorong perubahan perilaku dan pola aktivitas masyarakat. 

Sementara, Turro Wongkaren mengatakan heterogenitas identitas yang ada di Kalimantan tersebut harus diantisipasi oleh pemerintah. Salah satu caranya yakni melibatkan masyarakat lokal sejak awal perencanaan pemindahan ibu kota.  

“Kita tidak mau mengulangi seperti orang Betawi yang tidak lagi menjadi tuan rumah di kampungnya (Jakarta),” ujarnya.

Kemudahan investasi swasta

Sementara itu, Ketua Real Estate Indonesia (REI), Soelaeman Soemawinata berharap pihak swasta dilibatkan dalam pembangunan ibu kota baru. Untuk itu, pria yang akrab disapa Eman ini juga mengatakan pemerintah harus memberikan kepastian berinvestasi bagi pihak swasta seperti kemudahan periznan.

Selain itu, pemerintah harus membuat regulasi yang jelas dalam pembagian peran antara pemerintah, swasta, masyarakat, dan stakeholders lainnya. 

“Kalau semuanya jelas, kami yakin pembangunannya juga akan lancar,” ujarnya. 

Selain itu, Eman menyebut pemerintah perlu mengamankan tanah-tanah yang akan dijadikan lahan untuk pembangunan agar tak menyulitkan pihak swasta dalam proses negosiasi.

“Pemerintah perlu membuat sebuah ketetapan yang tidak bisa diganggu gugat lagi, sehingga pihak swasta tidak perlu membuang waktu untuk bernegosiasi masalah tanah,” katanya. 

Lebih lanjut, Eman mengatakan pemerintah berencana membangun 400.000 rumah subsisdi untuk para ASN yang akan pindah ke ibu kota baru. Ia mengatakan, jika sesuai rencana, untuk membangun 400.000 rumah itu dibutuhkan dana sekitar Rp350 triliun.

“Sumber dananya akan sepenuhnya ditanggung oleh swasta. Kita akan alokasikan equity dari perbankan,” ucapnya. 

Berita Lainnya
×
tekid