Modal kearifan lokal BPR di tengah arus digitalisasi
Kearifan lokal BPR di tiap daerah menjadi pengikat loyalitas nasabah di tengah ketatnya persaingan digitalisasi industri jasa keuangan.
Di era kini, setiap bank berlomba membangun digitalisasi demi menggaet semakin banyak nasabah. Namun, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang menjadi ujung tombak di daerah hingga ke pelosok desa mulai menemui tantangan teknologi demi memenuhi standar digitalisasi.
Namun, BPR masih menjadi andalan bagi Surya (51) dalam mencari pendanaan untuk bisnis propertinya. Sudah puluhan tahun, lelaki asal Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur ini mengajukan kredit usaha ke BPR Delta Artha, di kota yang sama. Ia mengaku lebih nyaman mengajukan kredit usaha ke bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan BPR untuk memperlancar bisnisnya.
“Tapi kalau di BPR ini saya bisa berulang-ulang ambil kredit karena proses dan pelayanan cepat,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (24/9).
Dari sisi bunga, BPR memiliki tingkat lebih tinggi dibandingkan bank besar. Namun soal waktu pemrosesan kredit BPR memiliki waktu yang relatif singkat yakni satu hingga dua minggu sampai ke pencairan dana. Sementara di bank besar BUMN misalnya, tambah dia, pemrosesan kredit bisa memakan waktu tiga minggu hingga satu bulan.
“Kita sebagai pengusaha butuh perputaran uang cepat enggak bisa nunggu, nunggu, minggu depan, minggu depan,” ungkapnya yang juga berprofesi sebagai pengacara ini.
Sejauh ini, kredit yang ia ajukan memiliki tenor atau jangka waktu relatif singkat yakni satu hingga tiga tahun. Namun untuk user atau pembeli proyek propertinya, kata dia, juga bisa mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hingga jangka waktu 15 tahun.
Selain cepatnya pencairan, Surya juga mengaku tersentuh dengan pelayanan yang diterapkan BPR. Misalnya, ia tak hanya berurusan dengan tabungan dan angsuran semata tetapi juga bisa melakukan sesi konsultasi dengan pihak BPR. Salah satunya terkait produk yang bisa dia ambil demi memenuhi kebutuhannya sebagai pebisnis.
“Karena BPR ini tahu lah kemampuan kami dalam membayar, jadi saya sering konsultasi dan kami diarahkan sehingga kami merasa enggak punya beban utang,” tuturnya.
Selain itu, Surya juga merasa pembayaran cicilan cukup simpel dan tidak membutuhkan kehadirannya di kantor cabang. Jadi, meski menjadi nasabah BPR yang belum memiliki aplikasi mobile banking namun cara yang diterapkan selama ini sudah praktis.
Sementara itu, secara terpisah sepak terjang BPR di era kini dikisahkan Sri Apriliawati Maftukhah selaku Direktur Utama BPR Syariah Buana Mitra Perwira (BMP) di Purbalingga, Jawa Tengah. Menurutnya, proses bisnis dalam BPR tidak jauh berbeda dengan bank umum namun memiliki tantangan yang lebih besar. Pasalnya, dengan begitu ketatnya persaingan ceruk pasar BPR pun mulai diambil oleh lembaga jasa keuangan lain seperti koperasi simpan pinjam, Badan Kredit Kecamatan (BKK), hingga bank umum yang masuk dalam BUKU IV atau bank besar dengan modal lebih dari Rp30 triliun.
“Sekarang bank besar syariah nasional pun bukan jadi mitra tapi pesaing karena sasarannya sama, dia punya pembiayaan mikro Rp10 juta-an,” kata wanita yang karib disapa April ini kepada Alinea.id, Jumat (15/9).
BPR Syariah Buana Mitra Perwira, kata dia, pemegang sahamnya 52% adalah pemerintah kabupaten Purbalingga dan 48% adalah koperasi milik warga Nahdlatul Ulama (NU). Adapun struktur dana BPRS di kota ‘Perwira’ ini sebagian besar berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Di mana tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR) BPR dengan aset Rp300 miliar ini selalu dijaga di tingkat 92%. “Memang sih idealnya bisa 80% tapi kami tetap jaga di angka 92%,” tambahnya.
Hal ini tak lain untuk menjaga agar rasio jumlah dana yang disalurkan dibandingkan dengan jumlah dana simpanan masyarakat masih relatif aman. Sebagai bank milik pemda, BPRS BMP sudah menjalin kerja sama dengan Kementerian Agama di mana PNS Kemenag bisa mengajukan pembiayaan. Porsi pembiayaan untuk abdi negara pun mencapai separuh dari total pembiayaan. Sisanya, 30% masuk ke pembiayaan sektor riil dan 20% untuk pembiayaan lain seperti pendidikan, haji, dan lainnya.
Hal ini pula yang membuat kinerja BPRS BMP terus positif meski di tengah pandemi. Pasalnya pembiayaan yang sebagian besar PNS relatif aman karena menggunakan mekanisme potong gaji. Sampai Juni 2023, laba bersih BPRS BPM tercatat sebesar Rp3,35 miliar dan sepanjang 2022 lalu mencapai Rp5,42 miliar. Namun, dia mengakui kondisi pandemi telah mempengaruhi non performing financing (NPF) atau tingkat kredit macet yang kini di kisaran 7%.
“Ada beberapa nasabah perseorangan yang nyangkut, dia politisi, lalu kegagalan BUMN karya juga berdampak gagal bayar nasabah vendor BUMN karya ke kami,” sebutnya.
‘Merawat’ nasabah
Lebih lanjut, dia menilai hal yang membedakan BPR dengan bank besar nasional adalah perlakuannya kepada nasabah. Di mana faktor kedekatan dengan nasabah sangat menentukan loyalitas mereka. Misalnya, BPRS BMP akan mengambil tabungan rutin ke rumah nasabah walaupun jaraknya mencapai 50 kilometer dari kantor cabang. Ini demi mempermudah nasabah menyetorkan dananya.
“Jadi karyawan kami kalau mau cuti enggak izin ke saya tapi ke nasabahnya, karena kalau enggak nanti dicariin, lha wong setor itu setiap hari dijemput” selorohnya.
Menurutnya, meskipun jauh dalam hal jarak, nasabah seperti ini tidak bisa diabaikan karena mereka sangat loyal dengan setoran tabungan yang tidak sedikit. “Mereka sangat loyal dan mereka akan ngomong ke kerabat-kerabatnya entah keluarga atau lembaga, jadi community based masih berlaku disini,” bebernya.
Dia menegaskan nasabah dalam rentang usia apapun cenderung ‘manja’ atau ingin dilayani dengan maksimal. Karena itulah, kunci nilai lebih BPR ada ada pelayanan mengingat untuk produk hampir serupa di setiap jasa keuangan.
Hal inilah yang membuat BPR tetap bertahan di tengah gempuran persaingan lembaga jasa keuangan. Beda halnya dengan bank besar yang mempunyai model bisnis skala besar. Sementara BPR yang bermain di tingkat grassroot harus senantiasa merancang produk yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Karena itu pula, April yang telah menjabat direktur utama sejak usia 35 tahun ini harus berjibaku membangun jaringan. Selain untuk ekspansi bisnis, hal ini memungkinkan peluang terbukanya berbagai kolaborasi. “Ibaratnya di BPR kalau kita enggak gerak ya enggak makan. Masyarakat butuh apa kita harus pandai-pandai menangkapnya,” cetusnya.
Selain merawat hubungan dengan nasabah, BPRS BMP juga menjalin kolaborasi dengan lembaga jasa keuangan lainnya sebut saja koperasi simpan pinjam dan perusahaan teknologi finansial (fintech) peer to peer (P2P) lending, PT Duha Madani Syariah (Duha Syariah). Langkah ini membuat pembiayaan BPRS kian ekspansif dan tidak hanya di ranah Purbalingga namun ke seluruh Indonesia.
“Kita channeling sama fintech dan ada koperasi, jadi nasabah ada yang dari Pati, Boyolali, Indramayu, Jabodetabek, selain Purbalingga,” paparnya.
Sementara kerja sama dengan Duhasyariah, kata April, outstanding-nya sudah mencapai Rp25 miliar. Adapun bentuk pinjaman ditujukan pada perusahaan berupa invoice financing dengan jangka waktu hanya 2 bulan saja. “Jadi bukan kreditur konsumtif,” tambahnya.
Selain itu, pihaknya juga membuka linkage dengan perbankan lain untuk bantuan permodalan. Namun porsinya tidak besar yakni sebesar Rp25 miliar, belum mencapai 10% dari total aset BPRS BMP. Selain itu, pihaknya juga menjalin linkage dengan PT Sarana Multigriya Finance (SMF) selaku BUMN yang mendorong kepemilikan rumah bagi masyarakat.
“KPR itu kami klaim ke SMF, sekarang dapat modal SMF Rp9 miliar, di neraca itu bentuknya pinjaman. Ini murah dengan rate 6-7% setahun,” ungkapnya.
April menekankan pentingnya sinergi agar BPR tetap berkembang di tengah arus digitalisasi, baik dengan lembaga jasa keuangan lain maupun lembaga swasta maupun pemerintah. Salah satu contoh sinergi yang tengah digarap adalah dengan membuat akun WhatsApp centang hijau yang bisa dinikmati pelanggan.
Semangat digitalisasi
Soal digitalisasi, lanjutnya, masih dalam proses mengingat persentase nasabah baby boomers dan generasi muda masing-masing 50%. Bagi generasi baby boomers kemudahan teknologi memang bukan hal penting namun mereka tetap tidak bisa dinafikan karena sangat loyal. “Karakter mereka uang nganggur, dan itu baik buat kami,” cetusnya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Ketua Umum Perhimpunan Bank Milik Pemerintah Daerah Se-Indonesia (Perbamida) Sofia Nurkrisnajati Atmaja. Strategi jemput bola masih berperan penting dalam menjaga loyalitas nasabah. Sentuhan humanis dengan kedekatan emosional, menurutnya, menjadi strategi penting.
“Digitalisasi memang harus tapi tatap muka dengan nasabah harus dipertahankan,” ungkapnya kepada Alinea.id, Senin (25/9).
Sebagai bank yang menjadi garda terdepan di tengah masyarakat pedesaan, pasar tradisional, petani, dan lainnya, pendekatan nasabah tetap harus dilakukan dengan tatap muka meski teknologi tetap up to date. Selain itu, menurutnya, meski terkenal sebagai bank di tingkat desa namun kini BPR juga memiliki nasabah dari kalangan pengusaha.
“Pengusaha yang memanfaatkan kredit di BPR karena lebih fleksibel, mudah, cepat, tetap dengan prinsip kehati-hatian. Karena kalau bank umum kewenangan sampai pusat sehingga prosesnya panjang,” kata Direktur Utama BPR Delta Artha di Sidoarjo, Jawa Timur ini.
Termasuk juga dengan menggaet nasabah dari kalangan Gen Z. Ia mengakui di BPR Delta Artha sendiri nasabah Gen Z masih menjadi PR karena jumlahnya tak mencapai 20% dari total nasabah, baik dari sisi kredit maupun tabungan. Nasabah anak muda yang saat ini ada pun, kata dia, berasal dari tabungan pendidikan sejak sekolah dasar.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang mendorong transformasi digital BPR salah satunya dengan modal inti minimum demi mengejar ketertinggalan BPR dalam hal teknologi. Namun di sisi lain usaha BPR kian diperluas seperti penukaran mata uang asing, transfer antar bank, dan sebagainya.
“BPR juga harus digitalisasi. Tapi ke depan BPR harus jadi kekayaan Indonesia. Karena di luar negeri enggak ada bank skala daerah," sebutnya. Untuk BPR milik pemda sendiri, katanya, harus semakin kuat dengan potensi-potensi yang ada. Misalnya BPR memegang peran dalam menyalurkan bantuan pemerintah hingga ke level desa seperti hibah bantuan UMKM.
Keberadaan BPR di tengah industri jasa keuangan pun jumlahnya terus berkurang dari tahun ke tahun. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat setidaknya 6 hingga 7 bank perekonomian rakyat (BPR/BPR Syariah) gugur setiap tahunnya. Menurut Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa, tren menurunnya jumlah industri BPR/BPRS tersebut terjadi di luar kondisi perekonomian nasional. Pasalnya, hal ini rutin terjadi bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda.