sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pelanggaran hak pekerja di balik pola WFH

Pekerja yang menjalani pola bekerja dari rumah seringkali tidak memiliki batasan jam kerja.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Sabtu, 06 Feb 2021 12:57 WIB
Pelanggaran hak pekerja di balik pola WFH

Bekerja dari rumah (work from home/WFH) kala pandemi, menjadi tantangan tersendiri bagi Darisman (25). Bukan saja tuntutan jam kerja yang relatif lebih panjang, beban pekerjaan pun ia rasakan semakin berat.

Sebagai pekerja media digital, dia bertugas menjalankan peliputan hingga penulisan laporan secara online. Tidak hanya meliput agenda reguler, setelah liputan dia masih berkoordinasi dengan tim secara daring. Ia juga harus menyiapkan tugas untuk esok hari.

"Sejak WFH, bangun tidur langsung buka laptop ada berita pagi sekitar jam 6 pagi atau subuh ngerjainnya kalau malam enggak sempat. Lalu menghadap laptop terus sampai 10-12 jam ada lah," ujar Darisman saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (4/2). 

Tak hanya itu, kondisi semakin berat tatkala perusahaan tempatnya bekerja memangkas hari libur di masa WFH. Semula, dia bisa libur 8 hari dalam sebulan namun sekarang hanya bisa menikmati libur 6 hari per bulan. 

"Itu pun, pas libur kadang kita siangnya sudah usulan isu atau ada instruksi penugasan untuk urusan kantor," imbuhnya. 

Belum lagi, kata dia, batasan jam kerja yang kabur seringkali 'menjebaknya' dalam urusan profesional yang tercampur dengan urusan personal. Memang, bekerja sebagai jurnalis menuntutnya untuk selalu 'standby' terkait koordinasi soal pekerjaan. 

Jam kerja yang semakin panjang dan beban kerja yang kian bertumpuk itu nyatanya tak berdampak pada penghasilannya. Darisman mengaku, tidak ada jaminan uang lembur yang dia peroleh. Bahkan, insentif tambahan seperti uang transportasi malah dipangkas. 

Sebagai gantinya, perusahaan memberikan uang kuota data namun tidak bisa menutupi kebocoran biaya untuk streaming online pekerjaan. "Diganti uang pulsa tapi cuma Rp100.000, padahal setiap bulan aku isi kuota sampai habis Rp500.000," kata dia. 

Sponsored

Beban kerja yang makin berat saat WFH, juga dialami oleh pekerja di salah satu perusahaan e-commerce, Icha (25). Ritme kerja yang makin kencang sudah terasa sejak awal pandemi. Pasalnya, di masa tersebut tren pembelian via e-commerce meningkat tajam. 

Kala itu, Icha juga mengatakan bahwa sempat ada pengurangan karyawan di perusahaannya. Akibatnya, beban kerja dilimpahkan kepada pekerja yang masih aktif. 

"Beban kerja pas awal-awal itu berat. Masyarakat kan berubah ke online belanjanya, mereka pada menuntut cepat," ujar Icha yang bekerja sebagai customer service (CS) di sebuah e-commerce di Jakarta, pada Alinea.id, Kamis (4/2). 

Namun, Icha terbilang lebih beruntung. Sebab perusahaannya sudah menerapkan batasan jam kerja yang jelas. Sistemnya menggunakan shift kerja, pergeseran atau penetapan jam kerja. Dengan sistem ini pekerja yang melebihi waktu kerjanya akan memperoleh upah lembur. 

"Upah lemburnya dihitungnya per jam. Kalau pas tanggal merah tapi masuk juga dapat insentif tambahan," ujar perempuan asal Sumatera itu. 

Meski demikian, Icha menganggap selama masa WFH ini, perusahaan juga semestinya memperhatikan aspek jaminan kesehatan psikologis pekerja. Hal itu juga diamini oleh Darisman yang mengaku secara mental terganggu dengan beban kerja yang lebih berat sementara kondisi pandemi membatasi interaksinya. 

"Kalau enggak ada layanan psikolog, setidaknya ada anggaran untuk ke sana sih. Biar mental juga sehat," imbuh Darisman. 

Ilustrasi work from home. Pexels.com.

Kondisi berbeda dialami  Woro (41). Konsultan pajak ini juga baru kali pertama merasakan pola kerja dari rumah sejak pandemi Covid-19. Sebagai ibu bekerja, beban kerja Woro di rumah masih harus bertambah dengan urusan domestik.

“Sebelumnya kerja selalu datang jam 8, pulang jam 5 (sore). Ini kerja di rumah, masih ngurus anak-anak, ngurus kerjaan rumah. Makanya kerepotan pas awal,” kisahnya kepada Alinea.id, Kamis (14/1).

Namun, setelah beberapa waktu, ibu dua anak itu tak lagi mengalami kesulitan dengan sistem WFH karena telah menemukan pola kerjanya sendiri. 

Dampak pandemi terhadap pekerja

Berdasarkan survei BPS menjelang akhir tahun 2020 menunjukkan,  dampak pandemi Covid-19 berpengaruh pada pelaku usaha termasuk para pekerja. Salah satu yang disorot adalah meningkatnya jam kerja sebesar 24,85%. Itu terjadi termasuk bersamaan dengan banyaknya pekerja yang menjalani WFH. 

Pengamat Ketenagakerjaan Timbul Siregar menilai tak dimungkiri masa pandemi ini berdampak pada kondisi para pekerja. Terlebih, soal aturan jam dan beban kerja yang makin meningkat selama WFH.

Menurutnya, banyak pihak selama ini cenderung menyepelekan persoalan WFH sebagai hal yang menguntungkan karena masih bisa mengerjakan pekerjaan domestik atau berkumpul dengan keluarga. Namun di saat yang bersamaan, WFH justru tidak jarang dijadikan pemakluman atas biasnya jam kerja. 

"Enggak bisa juga mengatasnamakan WFH, jam kerja pekerja dilanggar," ujar Timbul dihubungi Alinea.id, Kamis (4/2). 

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) itu mengatakan, saat ini regulasi yang digunakan Indonesia terkait aturan jam kerja itu telah termaktub dalam UU Ketenagakerjaan 2013. Soal jam kerja juga akan diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU Cipta Lapangan Kerja (Cipatker). 

Dalam aturan itu, kata Timbul, sudah cukup jelas bahwa jam bekerja itu adalah 8 jam kerja dalam 5 hari seminggu atau 7 jam kerja dalam 6 hari seminggu. Adapun kelebihan jam kerja, idealnya memang dihitung lembur dan ada uang lemburnya. 

"Nah, jadi memang RPP yang diatur ini perlu memastikan bagaimana mekanisme lembur ketika WFH," ujarnya. 

Upaya mendorong kebijakan WFH

Mengaburnya batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi di masa pandemi ini sebetulnya tak hanya terjadi di Indonesia. Belum lagi budaya selalu aktif atau 'always on' yang menjangkiti seluruh dunia .Negara-negara di Eropa menjadi pihak yang lebih dulu mengulitinya. 

Penelitian Eurofound menunjukkan bahwa WFH selama pandemi ini berdampak pada konflik keseimbangan dalam bekerja. Termasuk, jam kerja yang lebih lama dan istirahat yang lebih minim terjadi di kalangan pekerja. Akibatnya, stres yang berhubungan dengan pekerjaan dan gangguan tidur pun muncul.

Ilustrasi ibu bekerja di rumah. Pexels.com. Berkenaan dengan itu, Undang-undang (UU) ‘right to disconnect’ atau ‘hak untuk memutuskan hubungan’ yang sebetulnya digulirkan beberapa tahun ke belakang, seolah makin gencar digaungkan di sejumlah negara Eropa.

Secara garis besar, aturan tersebut mengatur hak para pekerja membatasi urusan pekerjaan. Misalnya, mematikan perangkat seluler setelah bekerja, hingga tidak adanya konsekuensi karena tidak membalas email, panggilan atau pesan.

Sejumlah negara di Eropa diketahui telah memberlakukan UU tersebut, seperti Prancis, Belgia, Italia, dan Spanyol. Meski begitu, mereka tidak menentukan bagaimana seharusnya UU itu berlaku. Artinya, penerapannya tetap bergantung pada keputusan di tingkat sektoral dan perusahaan.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Pengamat Ketenagakerjaan Timbul mengatakan sebetulnya di Indonesia cukup memungkinkan untuk menerapkan aturan khusus seperti Right to Disconnect. Jika pun tidak, menurutnya aturan ketenagakerjaan di Indonesia sudah cukup baik. Asal, penerapannya di tingkat perusahaannya pun baik. 

Dia mencontohkan, aturan dari pemerintah yang belum spesifik bisa dilengkapi dengan perjanjian bersama antara perusahaan dan karyawan untuk mengakomodir hak-hak mereka. Seperti, konsekuensi jam kerja lebih atau prosedur WFH yang jelas.

"Memang belum diatur eksplisit (aturan WFH). Harusnya bisa spesifik dalam kondisi tertentu itu dihitung," ujar Timbul. 

Direktur Pengawasan Norma Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Bernawan Sinaga pun mengakui bahwa aturan yang berlaku kini memang tidak mengatur spesifik terkait WFH. 

Karenanya, dia menyebut, hal-hal khusus seperti pergeseran budaya kerja selama masa WFH ini perlu disikapi perusahaan melalui komunikasi dengan pekerja. 

"Mereka (perusahaan dan pekerja) bicarakan dululah, karena di regulasi kita, di pandemi ini kita tidak mengatur, kalau mereka harus kerja di rumah, harus di bayar berapa, belum ada," jelas Bernawan kepada Alinea.id, Kamis (4/2).

Dia melanjutkan, aturan yang kini ada masih sebatas mengatur cara kerja normal seperti hadir di kantor yang dipatok 7-8 jam. Namun, kini pola kerja menjadi seolah lebih fleksibel dari sisi lokasi dan serba digital.

"WFH disuruh bekerja melalui email atau digital, itu belum diatur sama kita. Maka itu lebih bagus diarahkan ke perjanjian kerja," kata dia. 

Pemerintah sendiri tengah menggodok aturan ketenagakerjaan yang mengacu pada RPP Ciptaker. Hingga kini, prosesnya tengah melakukan harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. 

"Belum disempurnakan, jadi masih banyak tahapan. Kita masukkan dalam portal dulu. Masukan-masukan kita sempurnakan lagi, baru nanti disahkan oleh pemerintah," pungkasnya. 


 


 

Berita Lainnya
×
tekid