Rencana pemerintah menghapus pajak rumah mewah dinilai tidak tepat sasaran lantaran tak adil.
Demi menggairahkan sektor properti, terutama di segmen rumah mewah, pemerintah tengah mengkaji penghapusan atau relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dan PPh 22.
Penghapusan pajak ini direncanakan akan dilakukan karena tingginya tarif pajak properti mewah dinilai menjadi salah satu penyebab lesunya penjualan di segmen tersebut.
Pengamat dari Center of Indonesia Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, pungutan pajak yang tinggi akan berimbas pada tingginya harga beli dan membuat calon konsumen kehilangan ketertarikan.
Secara umum, ia berpendapat pungutan atas kebijakan pajak properti itu terlalu besar dan menjadi beban yang membuat orang berpikir dua kali jika ingin membeli rumah.
“Misalnya rumah yang tadinya Rp20 miliar karena ada komponen pajak di dalamnya bisa menjadi Rp30 miliar,” jelas Yustinus saat dihubungi Alinea.id pada Kamis (25/10).
Meski begitu, menurutnya penghapusan pajak ini bukan langkah yang bijaksana. Sebab, tujuan PPnBM yang seharusnya menjadi alat untuk memenuhi rasa keadilan wajib pajak.
Alih-alih menghapus pajaknya, menurut Yustinus pemerintah seharusnya menaikan threshold properti mewah wajib pajak agar segmen yang memang diminati di kelompok tersebut mendapat insentif.
“Itu bisa jadi win-win solution lah, tetap memenuhi rasa keadilannya tetapi dinaikkan threshold-nya jadi bukan seperti sekarang yang Rp20 miliar dan Rp10 miliar,” lanjutnya.
Sebagai informasi PPnBM sendiri tercantum berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017 mengenai rumah dan town house dari jenis non-strata title dengan harga jual Rp20 miliar atau lebih, menjadi objek pajak PPnBM dengan tarif 20%.
Sedangkan untuk apartemen, kondominium, dan town house dari jenis strata title dengan harga jual minimal Rp10 miliar akan dikenakan tarif pajak sebesar 20%.
Threshold dari harga jual ini, bagi Yustinus, perlu dinaikan lagi agar yang terkena pajak memang betul-betul rumah atau properti yang sangat mewah.
Selain dinaikan threshold-nya, Yustinus berpendapat, pemerintah juga dapat menurunkan tarif dari PPnBM yang tadinya 20% menjadi mulai dari 10% tapi dengan threshold properti yang sudah lebih tinggi. Dua opsi inilah yang menurutnya akan lebih baik dikaji ketimbang menghapus pajak rumah mewah.
Untuk dampaknya terhadap penerimaan pajak, menurut Yustinus penghapusan ini tidak akan memiliki efek yang besar bagi penerimaan lantaran sedikitnya porsi konsumsi segmen tersebut.
Ditambah lagi, kata dia, pungutan pajak rumah mewah hanya dikenakan sekali ketika dijual oleh perusahaan real estate atau pengembang. Baginya hal ini merupakan distorsi yang mana PPnBM tidak terhitung ketika yang menjual properti bukan pengembang.
“Jadi misalnya kalau rumah di Menteng harganya Rp50 miliar dan yang jual itu pemiliknya, dia enggak memungut PPnBM karena memang tidak bisa. Ini distortif, yang rumah baru dijual pengembang bisa kena, tapi yang seperti ini malah enggak kena. Artinya sasaran malah tidak tercapai dengan maksimal,” tuturnya.
Meski tidak akan berpengaruh secara signifikan pada penerimaan pajak, menurutnya, yang lebih penting adalah agar pemerintah terus berupaya menjaga pertumbuhan industri namun dengan tetap memenuhi rasa keadilan wajib pajak masyarakat.