sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Polemik kompor listrik: Upaya 'paksa' menekan subsidi elpiji

Masyarakat miskin akan mendapatkan kompor listrik dan peralatan masak gratis namun akan mengalami lonjakan biaya listrik.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Kamis, 22 Sep 2022 06:22 WIB
Polemik kompor listrik: Upaya 'paksa' menekan subsidi elpiji

Solo, Bali, dan salah satu kota di Sumatera Utara menjadi daerah pertama yang merasakan program konversi subsidi gas 3 kilogram ke kompor listrik yang digulirkan pemerintah. Dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan, uji coba telah dilakukan sejak Juli lalu kepada 1.000 keluarga di Solo, Jawa Tengah dan 1.000 keluarga di Bali. Kompor listrik ini dibagikan kepada golongan pelanggan subsidi 450 dan 900 volt ampere (VA).

“Secara teknis kami bisa menyampaikan berjalan dengan baik. Tentu saja kami terus memonitor di lapangan,” katanya, Rabu (14/9) lalu.

PLN pun kini telah memulai proses pengadaan kompor listrik sebanyak 300.000 buah, yang nantinya akan disalurkan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) subsidi listrik 450 dan 900 VA. Total anggaran yang telah masuk ke Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mencapai Rp540 miliar untuk program pengadaan ini.

Terkait hal ini, Darmawan juga telah mengantongi 11 nama pabrik lokal yang siap memenuhi pengadaan kompor setrum hingga akhir tahun. Dengan produksi pertama dijadwalkan sebanyak 105.000 unit yang akan disalurkan pada November 2022.

Bos PLN ini mengaku bahwa pengadaan 300.000 kompor listrik hingga akhir tahun cukup mepet. Apalagi dengan spesifikasi produk yakni memiliki kecepatan dan kenyamanan tak kalah atau bahkan lebih baik dari kompor elpiji.

Tidak hanya itu, kompor listrik ini juga dirancang dengan dua tungku, satu tungku berukuran besar dan yang lain lebih kecil. Kemudian akan ada chipset yang terpasang di kompor, untuk memudahkan petugas pencatatan PLN membaca dan menghitung berapa besar penggunaan listrik pada kompor tiap bulan.

Kompor listrik berbahan keramik. Foto Pixabay.com.

Darmawan bilang, pengadaan kompor listrik tidak hanya berhenti di tahun ini, melainkan akan dilanjutkan hingga beberapa tahun ke depan. Mengutip data PLN, di tahun depan perusahaan setrum negara ini menargetkan pembagian kompor listrik kepada 5,3 juta KPM. Kemudian di tahun 2024 kepada 10,3 juta KPM dan di tahun 2025 hingga 2031 sebanyak 15,3 juta keluarga per tahun.

Sponsored

Sementara itu, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konversi kompor gas elpiji ke kompor listrik dilakukan untuk menekan anggaran subsidi gas melon yang terus membengkak beberapa tahun belakangan. Sebagai perbandingan, Kementerian Keuangan mencatat pada tahun 2017 subsidi elpiji 3 kg ialah sebesar Rp38,75 triliun, kemudian melonjak hingga Rp58,14 triliun. 

Pada 2019, anggaran subsidi gas melon sempat turun tipis menjadi Rp54,15 triliun dan anjlok hingga Rp32,81 triliun di tahun selanjutnya. Namun, pada tahun 2021, subsidi kembali membengkak hingga Rp49,93 triliun. Adapun di tahun ini pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp66,3 triliun untuk memenuhi kebutuhan gas melon bagi masyarakat miskin.

Sayangnya, subsidi ini tidak hanya dinikmati oleh masyarakat lapisan terbawah. Subsidi sebesar Rp42.750 per tabung yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin, 68% konsumsinya justru dinikmati oleh kelompok rumah tangga mampu. 

“Sedangkan 40% terbawah hanya menikmati 32% dari subsidi elpiji 3 kilogram,” beber Menteri Keuangan dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (26/8) lalu.

Ihwal subsidi yang tak tepat sasaran ini, bahkan dinilai telah membebani keuangan negara hingga Rp300 triliun sejak 2017 silam.

Gas elpiji 3 kilogram. Foto Antara.

Serap oversupply listrik

Selain itu, program konversi ke kompor induksi listrik ini juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan kelebihan pasokan (oversupply) listrik yang tengah terjadi di tanah air. Dari data PLN, oversupply saat ini tengah menghantui wilayah Jawa dan Bali. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, awal tahun ini saja akan ada tambahan pasokan 6 gigawatt (GW) di Jawa. Padahal, tambahan permintaan hanya 800 megawatt (MW). Artinya, ada kelebihan sebanyak 5 GW.

Sementara hingga Juli kemarin, sistem Jawa Madura dan Bali tercatat memiliki daya mampu sebesar 38.652 MW, dengan beban puncak sebesar 28.552 MW. Dus, terdapat kelebihan daya mencapai 10.100 MW.

Pada 2023, oversupply diperkirakan akan meningkat menjadi 7,4 GW dan menembus 41 GW di 2030, seiring dengan penerapan energi baru terbarukan (EBT). “Kami mengakui, PLN menghadapi kondisi oversupply. Di sini, sambil memberi kesempatan pelanggan PLN untuk meningkatkan demand-nya,” kata Darmawan, beberapa waktu lalu.

Peningkatan permintaan, memang diperkirakan dapat mengurangi kondisi oversupply listrik Indonesia. Hal ini seiring dengan konsumsi listrik yang tak sebanding dengan produksi listrik oleh perusahaan setrum negara itu.

Dari catatan Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, pola surplus setrum selama 10 tahun relatif sama, yakni di kisaran 26,3%, di mana konsumsi hanya sekitar 257.000 GW. Kondisi ini jelas tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena oversupply listrik bakal membebani keuangan perusahaan listrik pelat merah itu.

Sebab, selama ini PLN mencukupi kebutuhan listrik masyarakat dengan membeli setrum dari pihak ketiga, yakni pengembang listrik swasta (independent power producers/IPP). Untuk setiap 1 GW, PLN harus menanggung beban sekitar Rp3 triliun per tahun. Karena dalam kontrak jual-beli listrik dengan produsen listrik swasta terdapat skema take or pay. 

“Dengan kata lain, listrik yang dipakai atau tidak yang diproduksi IPP, PLN harus tetap bayar sesuai kontrak,” jelas Abra, kepada Alinea.id, Minggu (18/9).

Terkait hal ini, PLN pernah mengungkapkan bahwa ketersediaan listrik negara lebih dari 50% diantaranya dipasok oleh swasta. Berdasarkan catatan Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), ada 25 perusahaan yang setrumnya dibeli oleh PLN, diantaranya PT Adaro Power, PT Makmur Sejahtera Wisesa, PT Bukit Pembangkit Innovative, PT Cirebon Energi Parasarana, PT Medco Power Indonesia, PT Paiton Energy, PT Tanjung Power Indonesia, dan masih banyak lagi.

“Adaro misalnya, mereka punya 4 unit pembangkit yang kapasitasnya 1.000 MW per unit. Satu di Banten, Cilacap, dan dua di Batang. Itu semua dibeli sama PLN,” kata Pengamat Ekonomi dari Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno Salamuddin Daeng, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (20/9).

Dengan besarnya porsi swasta ini, meski pertumbuhan konsumsi listrik nasional hampir stagnan tiap tahunnya, PLN tetap harus membayar setrum yang telah dibelinya kepada swasta tersebut sesuai kontrak. Agar duit pembelian listrik tak terbuang percuma karena kebutuhan nasional yang tidak terlampau banyak, PLN lah yang akhirnya mengalah.

Jumlah pelanggan per kelompok pelanggan

Tahun

Rumah Tangga

Industri

Bisnis

Sosial

Gd. Kantor Pemerintah

Penerangan Jalan Umum

Jumlah

Perubahan (%)

2013

50.116.127

55.546

2.418.431

1.110.450

137.762

157.762

53.996.208

8,44

2014

53.309.325

58.350

2.626.160

1.181.779

146.321

146.321

57.468.256

6,47

2015

56.605.260

63.314

2.849.990

1.261.516

156.782

156.782

61.138.644

6,39

2016

59.243.672

69.629

3.239.764

1.354.010

169.478

205.940

64.282.493

5,14

2017

62.543.434

76.816

3.579.364

1.460.546

182.874

225.249

68.068.283

5,89

2018

66.071.133

88.185

3.750.666

1.559.997

198.113

249.303

71.917.397

5,66

2019

69.619.877

104.922

3.829.553

1.662.926

211.947

276.389

75.705.614

5,27

2020

72.606.681

130.722

4.001.917

1.746.074

218.408

296.231

79.000.033

4,35

2021

75.701.985

159.057

4.300.034

1.838.087

230.577

314.240

82.543.980

4,49

Pembangkit yang dimiliki oleh PLN pada akhirnya dimatikan, sedangkan pembangkit milik swasta lah yang digunakan untuk mengaliri listrik rumah-rumah warga. Bagaimana tidak, meski tidak terserap, listrik swasta ini tetap harus dibayar.

“Masalahnya, makin lama kantong PLN makin kerontang. Mereka harus mengeluarkan uang untuk beli listrik swasta, beli energi primer seperti gas, batubara dan solar untuk keperluan pembangkitnya sendiri. Kemudian juga harus mengeluarkan biaya pemeliharaan infrastruktur,” imbuh Salamuddin.

Daya 450 VA dihapus?

Karenanya, agar keuangan PLN tetap aman, sekaligus sebagai jalan keluar oversupply listrik dan menekan anggaran subsidi elpiji, pemerintah pun mengambil langkah meningkatkan demand listrik nasional. Berbagai program digagas, mulai dari konversi ke kompor listrik, elektrifikasi kendaraan dinas pejabat pemerintah, hingga usulan kontroversial penghapusan daya listrik 450 VA atau mengalihkan golongan listrik terendah itu menjadi ke golongan 900 VA.

Usulan terakhir yang dilontarkan oleh Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah itu pada akhirnya disanggah oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. Selain beberapa langkah tersebut, Salamuddin bilang, sebenarnya ada langkah lain yang dapat membantu masalah keuangan perseroan, yakni menaikkan tarif listrik. Namun, jika langkah ini yang diterapkan, oversupply akan semakin tinggi karena secara otomatis masyarakat akan mengurangi konsumsi setrum mereka.

Ilustrasi Unsplash.com.

Jadi, jalan tengah paling aman yang dipilih pemerintah adalah dengan meningkatkan permintaan, melalui program elektrifikasi kendaraan dinas pejabat pemerintah dan konversi kompor listrik. Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad bilang, elektrifikasi, khususnya konversi kompor listrik memang bisa jadi jawaban atas masalah oversupply, namun jika dilakukan pada golongan yang tepat.

Golongan yang pantas dijadikan sebagai objek konversi listrik, menurutnya ialah pelanggan dengan golongan daya listrik 1.300 VA atau di atasnya. “Kalau program ini diterapkan pada masyarakat miskin, itu justru akan memberatkan mereka,” ujar dia, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (20/9).

Perlu diketahui, menurut Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), sampai saat ini ada 9,5 juta pelanggan 450 VA yang menikmati subsidi listrik, dari total pelanggan pada tegangan ini mencapai 24,3 juta pelanggan. Selain itu, dari 14,8 juta pelanggan 450 VA non-DTKS, saat ini telah dilakukan survei untuk 12,2 juta, dan menghasilkan sekitar 50,1% yang berhak menerima subsidi, dan sekitar 49,9% atau 6,1 juta yang ditengarai tidak tepat sasaran. Angka ini berpotensi bertambah sampai survei dilakukan seluruhnya.

Dengan kondisi ini, pelanggan golongan 450 VA sama dengan dipaksa menaikkan daya listriknya paling tidak menjadi 900 VA atau lebih. Karena kompor listrik dengan dua tungku membutuhkan daya sebesar 1.000 watt dalam sekali penggunaan.

“Kalau enggak dinaikkan dayanya, apakah nanti setiap mereka akan masak, harus ada peralatan elektronik yang dimatikan dulu. Contohnya, kalau mereka punya kulkas atau mesin cuci, berarti ketika masak, mereka harus matikan dulu biar tidak mati lampu,” kata Tauhid.

Ihwal hal ini, Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana kepada Alinea.id menjelaskan, dalam pemasangan kompor listrik ini pemerintah akan mengganti miniature circuit breaker (MCB) pelanggan 450 VA menjadi 3.500 VA agar dapat menggunakan kompor listrik berdaya 1.000 watt. Pun dengan daya pelanggan 900 VA. Di mana biaya untuk menaikkan daya dan satu set kompor listrik beserta alat masak seluruhnya akan ditanggung pemerintah.

“Semua gratis saat uji coba ini sampai ketika pengadaan nanti juga semua ditanggung pemerintah,” tutur Dadan, dalam pesan teksnya, kepada Alinea.id, Rabu (21/9).

Biaya listrik langsung naik

Dengan menaikkan daya listrik pelanggan 450 VA menjadi 3.500 VA lantas menjadi sebuah pertanyaan baru. Satu set kompor, alat masak, serta satu unit MCB memang bakal ditanggung pemerintah. 

“Tapi bagaimana dengan pembayaran listriknya nanti? Tagihan listrik untuk daya 450 VA dan 3.500 VA kan jelas beda, apakah ini juga nanti akan ditanggung pemerintah?” cetus Tauhid.

Kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Foto Unsplash.com.

Di sisi lain, menaikkan daya ini dikhawatirkan Tauhid justru akan menjadi seperti buang-buang listrik saja. Sebab, jika sasarannya masyarakat miskin, praktis alat elektronik yang dimilikinya pun tidak akan banyak.

Dia mencontohkan, alih-alih mencuci dengan mesin, masyarakat kelas bawah justru lebih banyak mencuci menggunakan tangan. Bahkan, dari pengalamannya blusukan ke desa-desa, pelanggan yang menggunakan daya 450 VA mayoritas hanya menggunakan listrik sebagai penerangan sehari-hari saja.

“Paling banter untuk nyetel TV,” imbuh dia.

Belum lagi, dengan kondisi ini tagihan yang harus dibayar masyarakat juga berpotensi semakin naik, seiring dengan naiknya daya tegangan rumah. Apalagi sampai saat ini pemerintah belum punya kepastian terkait tarif MCB untuk kompor setrum ini.

Karenanya, untuk mengatasi permasalahan anggaran subsidi yang kian menggelembung tiap tahunnya, Tauhid menyarankan agar pemerintah menerapkan subsidi tertutup saja bagi penerima subsidi elpiji 3 kg. Hal ini pun diamini oleh Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan.

Dia bilang, jika konversi kompor listrik memang ditujukan untuk menekan subsidi gas melon, pemerintah sebenarnya hanya perlu mengintegrasikan data penerima subsidi listrik 450 VA dan 900 VA yang dimiliki PLN sebagai penerima subsidi gas elpiji. Dengan langkah ini, jelas subsidi akan semakin tepat sasaran dan tidak akan memperberat beban masyarakat miskin, karena harus menaikkan daya listrik agar dapat menggunakan kompor induksi.

“Dan untuk mengatasi oversupply, pemerintah hanya perlu mematikan pembangkitnya. Jangan malah menyusahkan rakyat,” tegas dia.

Menurutnya, langkah ini sekaligus bisa membuktikan komitmen Indonesia untuk beralih ke EBT dan merealisasikan nol emisi paling lambat 2050. Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, konversi kompor listrik sebenarnya bisa menjadi solusi untuk mengatasi oversupply listrik, menekan anggaran subsidi elpiji dan juga mempercepat target zero emisi Indonesia. Bahkan, kompor listrik bisa mengurangi biaya memasak masyarakat hingga 10% sampai 30% dibanding kompor gas.

Hasil studi Badan Litbang ESDM dari survei yang dilakukan Pranadji, Djamaludin, & Kiftiah (2010) terhadap 78 rumah tangga di Kota Bogor,  juga mencatat pemakaian kompor induksi 2.000 W untuk rumah tangga dengan tarif dasar listrik (TDL) 900 VA juga tetap bisa berhemat dengan meninggalkan tabung gas LPG 3 kg. Beban biaya bulanannya bisa terpangkas hingga Rp 30.169 per bulan dengan kompor listrik.

Namun, dia menggarisbawahi, penerapan program konversi ini harus dibarengi dengan pengkonversian daya listrik masyarakat miskin dengan benar. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat tidak terbebani dengan biaya tarif listrik yang melonjak akibat penggunaan kompor setrum.

“Yang membuat masyarakat ragu adalah apakah nanti mereka harus membayar tagihan listrik lebih besar ketika menggunakan kompor listrik atau tidak? Kalau lebih tinggi, jelas masyarakat tidak mau. Kalau bisa sama atau bahkan lebih murah, mereka pasti mau,” jelas Fabby saat dihubungi Alinea.id, Senin (19/9).

Untuk itu, perlu bagi pemerintah melanjutkan subsidi yang telah diberikan kepada pelanggan golongan 450 VA dan 900 VA yang daya listrik rumahnya dinaikkan. Dengan demikian, jika pemerintah menaikkan daya masyarakat miskin dari 450 VA atau 900 VA menjadi 3.500 VA, tarif listrik yang mereka bayarkan akan tetap menggunakan hitungan lama. 

“Ini penting, agar biaya yang ditanggung masyarakat tidak bertambah,” tegas Fabby.

 

Berita Lainnya
×
tekid