close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi beras./Foto ulleo/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi beras./Foto ulleo/Pixabay.com
Bisnis - Pangan
Rabu, 03 September 2025 18:00

Solusi membuat stabil harga beras

Tito meminta Kementan dan Bulog untuk memberi perhatian pada 214 kabupaten/kota yang harga berasnya tercatat melampaui HET.
swipe

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyoroti kenaikan harga beras di ratusan wilayah. Terdapat 214 kabupaten/kota yang harga berasnya tercatat melampaui harga eceran tertinggi (HET). Tito meminta Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk memberi perhatian pada 214 kabupaten/kota yang harga berasnya tercatat melampaui HET.

Instrumen utama pemerintah untuk meredam harga beras adalah menggencarkan penyaluran beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) serta bantuan pangan beras 10 kilogram. Ia menyebut, kebijakan ini sudah menunjukkan hasil positif.

Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada pekan terakhir Agustus 2025 menunjukkan, rata-rata harga beras medium tertinggi di zona 1 (HET Rp13.500 per kilogram) mengalami lonjakan. Tercatat di Kabupaten Wakatobi Rp17.765 per kilogram, Bolaang Mongondow Timur Rp17.754 per kilogram, Kepulauan Siau Tagulandang Biaro Rp17.000 per kilogram, Buton Utara Rp16.875 per kilogram, dan Morowali Rp16.842 per kilogram.

Untuk kategori beras premium di zona 1 (HET Rp 14.900 per kilogram), harga tertinggi ada di Kabupaten Wakatobi Rp19.544 per kilogram, Kepulauan Talaud Rp18.895 per kilogram, Buton Utara Rp18.750 per kilogram, Dompu Rp18.000 per kilogram, serta Kepulauan Siau Tagulandang Biaro Rp18.000 per kilogram.

Analis politik dari Universitas Nusa Cendana, Kupang, Yohanes Jimmy Nami menilai, stabilitas harga beras merupakan kunci menjamin kebutuhan pokok masyarakat, agar tidak merembet menjadi masalah politik di masyarakat. Dia menilai, pemerintah yang melalukan stabilitas harga beras dengan mengeluarkan beras SPHP ke pasaran sangat tepat untuk mencegah kerawanan pangan.

"Pangan sebagai kebutuhan primer masyarakat sudah seharusnya selalu dijaga ketersediaannya dan pemerintah punya kewajiban utama untuk menjamin itu. Jika terjadi kelangkaan harus segera terdeteksi penyebab dan langkah-langkah penanganannya. Intervensi yang dilakukan pemerintah terhadap ketersediaan pangan, lebih khusus beras ini, menurut saya langkah taktis saja untuk mencegah kerawanan pangan," kata Jimmy, Rabu(3/9).

Namun, Jimmy menilai, upaya pemerintah menjaga stabilitas harga beras harus menyentuh level produksi dan distribusi yang merata. Kebutuhan dasar produksi di tataran petani harus di stimulus dengan kebijakan yang pro petani dari bibit dan pupuk.

"Hal ini perlu kolaborasi antarinstitusi, Kemendagri sebagai pengawas dan Kementan operasionalisasi dengan kementerian lainnya. Mitigasi bencana juga harus berjalan yang akan berefek pada rawan pangan," kata Jimmy.

Menurut Jimmy, dalam kondisi politik yang serba tidak pasti, pemerintah harus memegang kendali pasokan beras, agar rantai pasok tidak dikuasai segelintir pengusaha. Sehingga, harga bisa bisa dikontrol sesuai daya beli masyarakat.

"Menurut saya cukup ideal mekanisme kontrol ini, sejauh tidak ada oknum yang bermain di air keruh. Hadirnya SPHP lewat operasi pasar cukup memberikan determinasi harga pasar dalam jangka pendek," kata Jimmy.

Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian menilai, jika penyaluran SPHP diklaim berhasil oleh Mendagri, pada dasarnya intervensi SPHP tidak signifikan menjaga stabilitas beras, karena pasokan beras pemerintah tidak sebanyak swasta.

"Sebagai proksi, Bulog nyerap beras per juni aja cuma 2,4 juta ton, sementara produksi beras Januari-Juni 2025 itu 19 juta ton. Artinya pemerintah cuma bisa menyerap 12,5% aja. Stok Bulog yang sampai 4.7 juta itu sebagian limpahan stok kemarin dan sisa impor," kata Eliza.

Oleh karena itu, jika pemerintah mengguyur operasi pasar melalui beras SPHP, hasilnya tidak akan signifikan, meski penyalurannya bisa menjadi alternatif untuk masyarakat menengah ke bawah agar dapat membeli beras dengan harga yang terjangkau.

"Sebetulnya ada beberapa faktor kenapa  beras medium tiba-tiba turun di pasar, tapi faktor paling yang menentukan adalah kondisi Indonesia yang saat ini masih belum kondusif, publik yang kecewa kepada beberapa kebijakan dan marah karena pejabat publik yang nirempati. Jika harga beras terus naik tanpa penyebab signifikan, ini akan semakin mengundang amarah publik, karena urusan perut amat sangat sensitif," kata Eliza.

Eliza khawatir, jika pemerintah tidak bisa mengendalikan harga beras sesuai kemampuan masyarakat berpenghasilan rendah, maka akan berdampak pada kekecewaan publik yang gelap mata tidak bisa membeli beras karena terlalu mahal. Sementara dari sisi kenaikan pendapatan, tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup di pasar.

"Jadi agar tidak meluas kemana-mana, harga beras disesuaikan dan juga karena beberapa daerah sudah ada yang panen raya kedua. Sehingga harga beras beranjak ke keseimbangan baru supply demand. Jadi bukan semata-mata karena ada penyesuaian HET atau penyaluran SPHP," kata Eliza.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan