sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sri Mulyani menaikkan pajak impor 1.147 barang konsumsi

Untuk menahan laju defisit neraca perdagangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan pajak impor 1.147 barang konsumsi.

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Rabu, 05 Sep 2018 22:29 WIB
Sri Mulyani menaikkan pajak impor 1.147 barang konsumsi

Untuk menahan laju defisit neraca perdagangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan pajak impor 1.147 barang konsumsi.

Sri Mulyani resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk menaikkan 1.147 pos tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22, tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor. 

Menkeu mengaku harus mengambil tindakan tersebut untuk meredam potensi defisit neraca pembayaran yang kian melebar. Pasalnya, situasi perekonomian yang sedang terjadi saat ini mengalami tekanan cukup besar. 

Menurut dia, produktivitas impor sulit untuk dibendung. Sehingga, neraca perdagangan defisit kronis, dan menyebabkan defisit transaksi berjalan juga membengkak.

"Selama semester I-2018, defisit berjalan telah mencapai US$13,7 miliar. Hingga akhir tahun diperkirakan dapat mencapai US$25 miliar," kata Sri Mulyani di kantornya, Rabu (5/9). 

Untuk itu, Sri Mulyani menilai pengendalian impor mesti dilakukan, dan telah ditetapkan 1.147 pos tarif PPh Impor yang akan dinaikkan. Dia menyebut, kenaikan pos tarif akan bervariasi. 

Di antaranya ada 719 pos tarif PPh naik dari 2,5% menjadi 7,5%. Termasuk dalam kategori ini, seluruh barang yang digunakan dalam proses konsumsi dan keperluan lainnya, seperti bahan bangunan (keramik), ban, peralatan elektronik audio visual (kabel, box speaker), juga produk tekstil (overcoat, polo shirt, swim wear). 

Kemudian, sebanyak 218 pos tarif dinaikkan dari 2,5% menjadi 10%. Termasuk dalam kategori ini adalah seluruh barang konsumsi yang sebagian besar telah dapat diproduksi di dalam negeri seperti barang elektronik (disepenser air, pendingin ruangan, lampu), keperluan sehari-hari seperti sabun, sampo, kosmetik, serta peralatan masak atau dapur. 

Sponsored

Selanjutnya, terdapat 210 tarif yang tadinya 7,5% naik menjadi 10%. Termasuk dalam kategori ini adalah barang mewah seperti mobil dalam bentuk jadi atau complete build up (CBU) dan motor besar. 

Di luar itu, juga terdapat 57 pos tarif yang tetap 2,5% meliputi barang bahan baku, yang dinilai mempunyai pernanan penting dalam pertumbuhan ekonomi dan menjaga produksi yang selama ini cukup penting bagi masyarakat. 

"Pertimbangan kenaikan menjadi 7,5% untuk mendorong penggunaan barang produksi dalam negeri dan kenaikannya menjadi 10% sebagai urgensi dari perbaikan neraca perdagangan," jelas Sri Mulyani. 

Lebih lanjut, pembayaran PPh Pasal 22 merupakan pembayaran pajak penghasilan di muka yang dapat dikreditkan sebagai bagian dari pembayaran PPh terutang di akhir tahun pajak. Oleh karena itu, kenaikan tarif PPh 22 pada prinsipnya tidak akan memberatkan industri manufaktur. 

Peraturan ini akan berlaku 7 hari dari PMK ini ditandatangani atu sekitar pertengahan September 2018. 

"Tapi yang penting, ini kan signaling. Karena di dalam keseluruhan antar negara emerging sekarang, dilihat siapa negara yang merespons. Apakah responsnya benar atau tidak. Direction dari respons itu akan meng-address issue sturktural atau tidak," tukas Sri Mulyani. 

Dengan peraturan ini, Sri Mulyani berharap pengurangan aktivitas impor bisa mencapai 2% dan berpeluang meningkatkan ekspor lebih besar. Sementara dampak ke inflasi dinilai masih minim. 

Keinginan pengusaha

Pada kesempatan yang sama, juga turut hadir Wakil Ketua Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Jhonny Darmawan yang menyatakan pendapatannya mengenai peraturan agar ada kelonggaran. 

Dia mencontohkan, apabila dalam perjalanannya ada pembuatan barang produk eskpor dan terdapat komponen impor yang terpisah, dia meminta agar ada kelonggaran peraturan. 

"Misalnya ban, pentilnya dibawa dari impor. Kalau tidak ada pentilnya tidak jalan. Karena memang ini juga waktunya mendesak," jelas Jhonny. 

Kendati demikian, dia menyambut baik kebijakan ini guna memperkuat industri dalam negeri. 

"Ini sebagai titik awal untuk benar-benar membangun industri. Ini hal baik untuk memulai agar industri bisa benar-benar mengurangi impor," imbuhnya. 

Berita Lainnya
×
tekid