sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Strategi tayangkan siaran ulang demi pangkas beban operasional

Pemerosotan pendapatan iklan memaksa emiten media mencari strategi baru untuk menekan biaya operasional.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Senin, 15 Jun 2020 20:03 WIB
Strategi tayangkan siaran ulang demi pangkas beban operasional

Sepulang salat jumat di masjid, Harisman (44 tahun) tidak langsung membuka laptop untuk kembali bekerja. Ia menyantap gado-gado yang baru saja dibeli dari warung dekat rumah sembari menonton sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” di televisi.

Hari itu (12/6), sinetron lawas yang dibintangi Rano Karno sebagai pemeran utamanya ini kembali disiarkan stasiun televisi RCTI dengan kemasan spesial bertajuk “Si Doel Spesial Mandra”. Episode ini mengemas kembali beberapa cuplikan adegan lucu dan jenaka seorang Mandra, salah satu karakter dalam sinetron yang kerap membuat penonton terpingkal-pingkal.

Kejenakaan Mandra yang khas akan candaan kampung-kampung di Jakarta mengingatkan Harisman akan masa mudanya bersama teman-teman sejawatnya dahulu. “Serasa nostalgia kalau nonton Si Doel,” kata Harisman saat berbincang dengan Alinea.id, di rumahnya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Harisman mengaku, selama masa penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ia sering menghabiskan waktu dengan menonton televisi. Sehari minimal 3-4 jam waktunya habis untuk menonton sinetron atau berita di televisi swasta nasional.

Padahal, sebelum coronavirus disease (Covid-19) menyebar ke Indonesia, pria yang berprofesi sebagai akuntan di salah satu perusahaan swasta ini nyaris tidak pernah bersentuhan dengan televisi. Setiap hari waktunya habis di kantor atau berurusan dengan klien di luar rumah.

“Ini karena kebetulan masih kerja di rumah, jadi ya nonton TV hiburannya. Kalau biasanya (sebelum masa Covid-19), mana bisa kaya gini,” celetuknya.

Perubahan pola konsumsi televisi ini tidak hanya terjadi pada Harisman. Penonton lain pun demikian. Lembaga pemerating Nielsen mencatat, sejak awal Maret 2020 jumlah penonton televisi di Indonesia melonjak tajam.

Hasil pantauan Television Audience Measurement (TAM) yang dilakukan Nielsen di 11 kota sejak 11-18 Maret 2020 menunjukkan, rata-rata kepemirsaan televisi meningkat 13,8% atau 1 juta orang dalam sepekan.

Sponsored

Peningkatan jumlah pemirsa ini dibarengi dengan lonjakan durasi rata-rata menonton televisi dari sebelumnya hanya 4 jam 48 menit dalam sehari, menjadi 5 jam 29 menit per hari.

Penonton dari kalangan menengah atas (upper class) cenderung menonton televisi dengan durasi yang lebih lama dari biasanya. Tercatat sejak 14 Maret 2020, jumlah durasi menonton kalangan ini meningkat dari 11,2% per hari menjadi 13,7% per hari.

Salah satu program yang memberi sumbangsih besar terhadap meningkatnya durasi menonton kalangan menengah atas ini adalah acara berita. Nielsen mencatat, kepemirsaan televisi di kalangan menengah atas untuk program berita meningkat 25% selama periode 1-18 Maret 2020.

Kenaikan juga terlihat pada program anak-anak dan film serial. Segmen pemirsa anak (usia 5-9 tahun) meningkat signifikan dari rata-rata 12% menjadi 15,8% pada periode yang sama. Bahkan di Jakarta, kepemirsaan di segmen ini mencapai rating tertinggi hingga 16,2%.

Seorang anak menonton acara Jalan Sesama di TVRI yang menjadi salah satu program belajar dari rumah yang dicanangkan pemerintah. Foto dokumentasi.

Tingginya rating televisi selama pandemi ini pun berdampak pada pendapatan iklan di industri media. Laporan Nielsen Advertising Intelligence (Ad Intel) memperlihatkan, sepanjang Maret 2020 frekuensi iklan televisi melambung tinggi untuk beberapa produk kesehatan, termasuk vitamin, suplemen, dan obat-obatan.

“Sejalan dengan meningkatnya kasus Covid-19, isu kesehatan menjadi perhatian bagi masyarakat. Ini mendorong para pelaku industri khususnya terkait vitamin dan obat-obatan menangkap peluang untuk meningkatkan penjualan produk mereka dengan cara menambah spot dan anggaran beriklan di media elektronik seperti televisi maupun media digital,” tutur Hellen Katherina, Executive Director Media Nielsen dalam rilisnya Maret lalu.

Nielsen mencatat pada awal Maret 2020, kategori vitamin menayangkan 300 spot iklan per hari. Sementara pada 18 Maret 2020, iklan kategori produk ini tayang 601 spot per hari dengan total belanja iklan mencapai Rp15,3 miliar per hari.

Hal serupa juga terjadi pada kategori obat batuk yang menayangkan 50 spot iklan di awal Maret, menjadi 180 spot iklan pada 18 Maret 2020 dengan total belanja Rp5,6 miliar per hari.

Selain di televisi, kategori produk vitamin dan suplemen juga menunjukkan peningkatan iklan di media digital. Berdasarkan pantauan Nielsen di Top 200 situs lokal, kedua kategori ini menggelontorkan total belanja iklan lebih dari Rp20 miliar pada minggu kedua Maret, naik jauh dari minggu kedua Februari yang hanya Rp6 miliar.

Tidak bertahan lama

Sayangnya, pandemi Covid-19 yang memukul hampir semua sendi bisnis di Indonesia membuat tren positif itu tidak bertahan lama. Nielsen mencatat, ketika memasuki April 2020, tren belanja iklan di seluruh media, baik televisi, cetak ataupun digital mulai merosot. 

Per pekan pertama April 2020, pendapatan iklan media hanya Rp4,1 triliun. Lalu pada pekan kedua, belanja iklan kembali susut menjadi Rp4 triliun dan pada 19 April semakin turun hingga Rp3,5 triliun.

Penurunan iklan ini didominasi oleh dua sektor, yakni pemerintahan dan produk rokok. Belanja iklan rokok turun 28% menjadi Rp520 miliar, sementara iklan pemerintah dan partai politik menurun sebesar Rp543 miliar.

Turunnya jumlah iklan pada dua kategori itu pun berdampak cukup dalam bagi industri media, khususnya televisi. PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA), yang menaungi stasiun televisi SCTV dan Indosiar bahkan melaporkan adanya penurunan iklan sampai 30% selama masa pandemi.

Laporan ini diperkuat oleh pernyataan Ketua Asosiasi Televisi Swasta Nasional (ATVSI) Syafril Nasution. Ia menyebut per Maret-Mei 2020 pendapatan iklan televisi telah turun 40% secara rata-rata nasional. Penurunan tersebut terjadi dalam kurun Maret hingga akhir Mei 2020.

“Penurunan itu disebabkan utamanya oleh Covid-19. Juga karena hal-hal lain, yang juga disebabkan oleh beberapa pengiklan itu menempatkan iklannya di media asing,” ungkap Syafril saat berbincang dengan Alinea.id via telepon pekan lalu.

Syafril tidak memerinci siapa ‘media asing’ yang dimaksud. Ia hanya menyebut bahwa semua media yang tidak mematuhi aturan perundang-undangan di Indonesia, maka layak disebut sebagai media asing.

Sebagai catatan, RCTI dan INews TV, anak grup PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN/MNC Group) tempat Syafril bekerja sebagai direktur perusahaan, sempat melaporkan platform Youtube dan Netflix terkait masalah perlakuan yang tidak setara di Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

RCTI dan INews TV meminta Mahkamah Konstitusi menguji ulang Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran agar dapat memberikan perlakuan yang setara bagi penyedia layanan melalui internet, seperti Youtube dan Netflix. Perlakuan setara ini mencakup beberapa hal, termasuk hak siar, konten penyiaran, dan pajak. Dia pun mendorong tegaknya peraturan terkait penyiaran tersebut.

“Betul. RUU (Rancangan Undang-Undang) Penyiaran, kemudian tentang regulasi, kemudian tentang konten-konten yang tidak terkontrol,” terangnya.

Perkara ‘raibnya’ iklan televisi swasta nasional ke media asing ini, juga sudah disampaikan langsung ATVSI ke Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johny G. Plate, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto, dan Menteri Koordinator Bidang, Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Syafril meminta agar di tengah masa pandemi seperti sekarang, pemerintah lebih banyak memasang iklan di televisi swasta nasional. Pasalnya, lanjut dia, televisi swasta nasional jauh lebih banyak memberi kontribusi pajak bagi negara dibandingkan media-media berbasis internet.

“Kenapa harus memasang di media asing? Kenapa enggak pasang di media nasional? Banyak di media nasional ini yang siap, dan juga memiliki viewers, memiliki audiens, memiliki pemirsa yang cukup banyak,” imbuhnya.

Sinetron jadul

Syafril mengatakan, saat ini setiap televisi swasta juga mulai melakukan strategi perseroan untuk menyiasati penurunan iklan. Cara yang paling mungkin dipakai adalah menayangkan ulang sinetron atau acara lawas yang masih diminati penonton.

RCTI misalnya, kembali menayangkan sinetron jadul Dunia Terbalik, Anak Jalanan, 7 Manusia Harimau, dan Tukang Bubur Naik Haji. Total, kata Syafril, MNC Group masih memiliki 300 ribu jam konten sinetron maupun acara yang dapat ditayangkan ulang atau juga dijual ke media lain.

“Karena tidak mungkin membuat program baru. Itu ya selain tetap memberikan program yang berkualitas, tentu juga menekan biaya,” terang ia.

Namun demikian, Syafril menilai tayangan ulang tersebut masih mempunyai nilai jual di mata audiens. Artinya, meski sinetron yang ditayangkan adalah produksi lawas namun tetap mendatangkan iklan. 

"Kalau masih dinikmati masyarakat itu akan kita tayangkan, dan masih ada nilai jualnya kan. Masih ada nilai jual itu apa? Masih ada pengiklan yang mau masang kan," cetusnya.

Strategi menayangkan sinetron lawas ini juga dilakukan televisi lain, termasuk SCTV, ANTV, dan Trans Corp. Alinea.id mencatat, sejak Maret-Juni 2020, ANTV telah menayangkan sedikitnya tiga sinetron lama, yakni Titipan Illahi, Muslimah dan Inayah.

Adapun Trans Corp kembali menayangkan Bajaj Bajuri, Kisah 9 Wali, dan Revolutionary Love. Sementara SCTV kembali menyajikan Ganteng-Ganteng Serigala, Samudera Cinta, dan Anak Langit.

Corporate Secretary SCMA Gilang Iskandar menyebut, strategi rerun atau menayangkan ulang sinetron lama yang masih diminati adalah cara paling masuk akal untuk menyiasati kendala dalam produksi program baru.

Rerun adalah konsekuensi logis dari tidak bisa diproduksinya program yang baru. Kebanyakan yang non straight news di-rerun baik sinetron, FTV, dan lain-lain,” terang Gilang melalui pesan singkat.

Pergerakan saham

Terlepas strategi rerun itu, merosotnya pendapatan iklan pada sejumlah media rupanya telah berdampak cukup signifikan pada pegerakan nilai saham emiten media di lantai bursa. Tercatat pada perdagangan (12/3) pergerekan saham SCMA mengalami tren negatif, turun 1,6% ke level Rp925 per lembar.

Sedang secara tahunan, pergerakan saham anak grup PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek) ini merosot drastis sebesar 46% dari level Rp1.730 per lembar pada 17 Maret 2019.

Penurunan ini memaksa SCMA untuk mengambil strategi lain untuk menyiasati anjloknya nilai saham di kuartal II. Gilang mengatakan, SCMA sudah bersepakat untuk membeli kembali saham (buyback) perseroan dengan nilai maksimal 20% atau paling minim 7,5% dari modal disetor.

“Kami bermaksud untuk meningkatkan nilai pemegang saham dengan cara melakukan buyback saham sebanyak-banyak 2.954.934.460 saham atau paling banyak 20% dari modal disetor,” tutur Gilang dalam keterbukaan informasi, di Bursa Efek Indonesia pekan lalu.

Peride buyback ini bakal dilakukan pada 9 juni hingga selambat-lambatnya 8 September 2020. Biaya untuk pembelian saham ini akan berasal dari saldo laba perseroan yang didapat selama kuartal I.

Sebagai catatan, pada kuartal I 2020, SCMA mencatatkan pendapatan laba bersih Rp311,52 miliar atau turun 22,11% dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp399,95 miliar. 

“Penggunaan saldo laba tersebut tidak akan menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal ditempatkan dan disetor penuh, ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan,” paparnya.

Sementara kinerja saham MNCN terpantau lebih stabil. Pada perdagangan (12/6) saham perusahaan Hary Tanoesodibjo itu terlihat stabil di level Rp955 per lembar dan hanya turun tipis 25 basis poin secara tahunan.

Untuk laba bersih, MNCN mencatatkan pemerosotan yang lebih dalam dibandingkan SCMA. Pada kuartal I 2020, laba bersih MNCN tercatat turun 43,2% dari Rp584,9 miliar di kuartal I 2019 menjadi Rp332,7 miliar.

Direktur Anugerah Investama Hans Kwee memprediksi, kinerja negatif pada emiten media ini akan terus terjadi hingga kuartal III 2020. Pergerakan positif baru akan terjadi pada kuartal IV 2020 jika tidak terjadi gelombang kedua Covid-19.

“Kalau ada wave (gelombang) 2 dari Covid pasti recovery-nya akan lebih lama,” terang Hans melalui sambungan telepon.

Namun, Hans menyakini prospek industri media masih cukup menarik untuk jangka panjang. Pasalnya, saat ini industri media sedang diuntungkan dengan banyaknya jumlah penonton selama pandemi.

Hanya saja investor perlu berhati-hati jika hendak berinvestasi untuk jangka pendek atau menengah. Sebab kini, pendapatan iklan media sedang dirundung penurunan yang tidak bisa dibilang menggembirakan.

“Kalau jangka panjang masih menarik ya. Kalau kita lihat sebenarnya penonton televisi itu meningkat ya selama pandemi Covid ini. Tapi pendapatan iklannya saja yang agak masalah,” pungkas Hans.
Sejumlah stasiun televisi nasional menayangkan sinetron lawas demi menekan biaya operasional di tengah pandemi Covid-19. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid