Dirjen ASEAN: Ada tiga hambatan repatriasi Rohingya
Faktor pertama dan terpenting, jelas Jose, merupakan kurangnya komunikasi dengan pengungsi.

Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Jose Tavares menilai bahwa ada tiga faktor yang menghambat jalannya repatriasi pengungsi Rohingya dari Cox's Bazar, Bangladesh, ke Rakhine State, Myanmar.
Faktor pertama dan terpenting, jelas Jose, merupakan kurangnya komunikasi dengan pengungsi.
"Informasi yang diberikan kurang lengkap. Perlu ada dialog untuk menjelaskan kesiapan pemerintah Myanmar. Ini untuk menghilangkan keraguan dan memperoleh kepercayaan," tutur Jose di Kemlu RI, Jakarta, pada Selasa (22/10).
Keamanan menjadi faktor kedua yang menghambat repatriasi pengungsi Rohingya ke Rakhine State.
"Jika masih ada kekerasan, pengungsi tidak mau pulang dan jadi takut," lanjut dia.
Faktor ketiga, ungkapnya, merupakan kesiapan fasilitas untuk menerima pengungsi Rohingnya yang pulang. Dia menegaskan bahwa intinya, ke depannya pemerintah Myanmar dan Bangladesh perlu terlibat dalam konsultasi dan dialog yang lebih intensif dengan para pengungsi Rohingya.
"Jadi bukan hanya kita menyusun program, tapi yang ambil bagian pun harus menyatakan apa yang mereka mau," jelas Jose.
Menurutnya, yang berperan utama dalam pelancaran repatriasi adalah pemerintah Myanmar dan Bangladesh sendiri. Negara anggota ASEAN, tambah dia, akan terus membantu sebisa mungkin.
Sebelumnya, tim penilaian kebutuhan awal (PNA) dari ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance (AHA Centre) telah merilis laporan terkait kondisi dan upaya repatriasi pengungsi Rohingya yang berada di Cox's Bazar.
Jose menyebut, salah satu yang menjadi saran dalam laporan PNA merupakan pentingnya diseminasi informasi.
"Diseminasi informasi itu justru harus diangkat sekarang ini, dan hal tersebut memang ada di dalam saran dari PNA," tutur Jose.
Diseminasi informasi, jelasnya, menjadi salah satu kunci yang perlu dilakukan ke pihak pengungsi untuk memastikan bahwa pemerintah Myanmar sungguh-sungguh menerima mereka pulang.
Amnesty International mencatat, lebih dari 750.000 warga Rohingya, sebagian besar wanita dan anak-anak, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah pasukan Myanmar melancarkan upaya penumpasan terhadap komunitas muslim minoritas itu pada Agustus 2017.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Mewujudkan e-commerce inklusif bagi penyandang disabilitas
Kamis, 30 Nov 2023 16:09 WIB
Potret kebijakan stunting dan pertaruhan Indonesia Emas 2045
Senin, 27 Nov 2023 16:01 WIB