sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dubes Iza: Krisis Rohingya kompleks, tidak semata isu agama

Krisis Rohingya menurut Dubes Iza Fadri tidak lepas dari aspek historis, yuridis, hingga sosial dan budaya.

Valerie Dante
Valerie Dante Rabu, 16 Jan 2019 10:26 WIB
Dubes Iza: Krisis Rohingya kompleks, tidak semata isu agama

Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Iza Fadri menilai bahwa krisis Rohingya memiliki kompleksitas dan tidak semata masalah agama saja. Secara domestik, permasalahan ini dipandang dari beberapa segi yakni historis, yuridis, hingga sosial dan budaya.

"Dari sudut domestik Myanmar, masalah ini tidak semata-mata masalah agama, tetapi lebih luas kompleksitasnya. Namun, di politik domestik Indonesia karena mungkin terpengaruh pemberitaan maka dipandang sebagai masalah agama saja," terang Dubes Iza dalam diskusi publik 'Transformasi Sosial dan Politik di Myanmar serta Kasus Rakhine State' di Miriam Budiarjo Resource Center Universitas Indonesia, Depok, Selasa (15/1).

Dubes Iza menjelaskan bahwa masyarakat Myanmar menyebut etnis Rohingya sebagai suku Bengali, menyiratkan bahwa mereka berasal dari Bangladesh yang berbatasan langsung dengan Rakhine State.

"Warga Myanmar mengatakan warga Rohingya bukan dari Rakhine, tetapi mereka orang Bengali," jelasnya.

Perbedaan perspektif ini, lanjutnya, berakar dari alasan yang kompleks. Diskriminasi terhadap suku Bengali lahir atas latar belakang historis. Dalam masa penjajahan, Inggris membawa suku Bengali untuk masuk ke Myanmar dan bekerja sebagai petani.

Saat adanya perlawanan dari Myanmar dan Jepang, suku Bengali membantu Inggris mempertahankan kuasa di Myanmar. Latar belakang sejarah ini menjadi salah satu faktor penting timbulnya segregasi antara masyarakat Burma dengan Rohingya.

Sedangkan dari faktor hukum, UU Kewarganegaraan Tahun 1982 milik Myanmar mengatur tiga kelompok warga negara yakni warga negara penuh, warga negara asosiasi, serta warga negara naturalisasi.

UU tersebut tidak mengakui kelompok Rohingya sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di Myanmar. Itu membuat mayoritas warga Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan Myanmar.

Sponsored

Di lain sisi, menurut Dubes Iza, masyarakat Rohingya umumnya memiliki ikatan sosial yang kuat dan kerap berkelompok secara eksklusif. Ini diperparah dengan fakta, mereka tidak fasih berbahasa Myanmar.

"Warga Rohingya juga tidak mengikuti pendidikan umum, mereka membuat pendidikan sendiri. Akhirnya terjadi segregasi sosial karena kendala bahasa dan budaya yang berbeda," ungkap dubes yang bertugas di Myanmar sejak 2017 ini.

Perspektif Bangladesh

Krisis Rohingya merupakan isu lama, yang kembali membara sejak 25 Agustus 2017 setelah kelompok militan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) menyerang sekitar 30 pos keamanan di Rakhine State.

Penyerangan ini dibalas dengan operasi militer brutal yang dimulai pada akhir Agustus 2017. Operasi militer tersebut menyebabkan gelombang kekerasan dan pengungsian tidak kurang dari 600.000 warga Rohingya ke negara tetangga, Bangladesh.

Dalam laporannya, PBB mendeskripsikan tragedi Rohingya sebagai upaya pembersihan etnis. Mereka menyerukan panglima tertinggi dan lima jenderal Myanmar dituntut atas kejahatan berat di bawah hukum internasional.

Situasi politik domestik Bangladesh, terutama saat pemilu Desember 2018, berpengaruh pada isu Rohingya. Dubes Iza menilai, perdana menteri Bangladesh yang baru terpilih lagi, Hasina Wajed, memanfaatkan persoalan pengungsi Rohingya untuk kepentingan kemenangannya.

"Hasina berusaha meraih suara dari kelompok muslim. Jadi, dia ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh, maka dia 'memainkan' isu Rohingya," jelas Dubes Iza.

Myanmar dan Bangladesh memiliki perjanjian bilateral terkait repatriasi pengungsi. Per 15 November, pemerintah kedua negara secara resmi memulai pemulangan kembali sebanyak 2.000 pengungsi Rohingya.

Akan tetapi dalam proses repatriasi, terjadi kendala teknis. Penyelesaian yang dikehendaki oleh Myanmar secara bilateral dengan Bangladesh mengalami hambatan politik domestik pada saat pemilu dan juga ada hambatan dari segi teknis.

Menurut Iza, dalam waktu repatriasi yang sudah disepakati, Bangladesh justru mengirimkan warga Rohingya yang tidak ingin kembali ke Myanmar.

Dubes Iza menguraikan, Myanmar mengelompokkan pengungsi Rohingya menjadi tiga kategori yakni warga yang bersedia untuk kembali, warga yang ingin pindah ke negara lain, serta warga yang dinilai berbahaya akibat afiliasi dengan ARSA.

"Bangladesh justru mengirimkan orang yang tidak ingin pulang, sedangkan yang ingin pulang didiamkan saja. Akhirnya yang berencana dipulangkan justru menolak. Upaya repatriasi gagal, ada kendala teknis di situ," lanjutnya.

Upaya penyelesaian konflik oleh Indonesia

Sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara dan tergabung dalam ASEAN, Indonesia pun turut berupaya untuk menyelesaikan krisis Rohingya ini.

ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance (AHA Centre) telah ditunjuk sebagai bagian penyelesaian konflik. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan upaya kontribusi Indonesia agar isu Rakhine State mengalami kemajuan.

Pada KTT ASEAN di Singapura bulan November 2018, Menlu Retno menyebut, Indonesia mengusulkan agar AHA Centre dan Sekretariat ASEAN mendapat akses untuk berkontribusi mempersiapkan repatriasi yang sukses. Usulan tersebut ditanggapi secara positif oleh negara anggota ASEAN.

"Dalam bulan Januari ini, Preliminary Need Assesment Team, Insyaallah akan mulai bekerja di Rakhine State. Setelah itu, Comprehensive Need Assesment team akan bekerja dengan masa satu tahun. Tentunya kita berharap selain mempersiapkan repatriasi keberadaan AHA Centre dan Sekretariat ASEAN di Rakhine State akan dapat membantu menciptakan rasa saling percaya dan lingkungan yang lebih kondusif. Ini satu langkah maju yang dilakukan ASEAN untuk membantu Myanmar mengatasi masalah Rakhine State," papar Menlu Retno dalam Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (PPTM) 2018 di Ruang Nusantara, Kementerian Luar Negeri, Rabu (9/1).

Terkait upaya repatriasi, pada awal masa jabatannya sebagai duta besar, Iza mengakui pernah membicarakan hal ini dengan Panglima Militer Myanmar Min Aung Haling.

Namun, ketika isu Rohingya disinggung, panglima mengelak dan mengatakan Myanmar akan menyelesaikan persoalan ini secara bilateral saja.

"Myanmar anggap karena masalah ini dengan Bangladesh, maka mereka akan selesaikan dengan Bangladesh saja. Kita (Indonesia) tidak bisa melobi karena dia sudah punya pendapat sendiri. Memang birokrasi Myanmar seperti itu, militer sangat kuat," papar Dubes Iza.

Myanmar telah mendapat tekanan dari sejumlah forum atau organisasi internasional seperti Uni Eropa dan PBB untuk mewujudkan kemajuan atas krisis Rohingya.

"PBB menjadikan isu ini pembicaraan atau topik di Majelis Umum, Dewan Keamanan (DK), hingga Dewan HAM," kata diplomat Indonesia tersebut.

Menurutnya, ketika negara anggota DK PBB bertindak keras, China justru menunjukkan dukungannya terhadap Myanmar.

"Terjadi dinamika menarik dalam politik internasional, ada agresivitas China untuk menjadikan Myanmar koridor ekonominya. Karena sudah terdesak di forum-forum internasional, Myanmar kini berpaling ke China."

China, lanjutnya, mengambil kesempatan dan memanfaatkan situasi ini sesuai dengan kepentingan ekonomi nasionalnya.

Berita Lainnya
×
tekid