sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Riwayat benci-cinta Rusia-Ukraina

Para penguasa Rusia di masa lalu menganggap Ukraina sebagai bagian tak terpisahkan dari Rusia.

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Selasa, 01 Mar 2022 18:02 WIB
Riwayat benci-cinta Rusia-Ukraina

Gerhard Friedrich Muller, ahli sejarah resmi Kekaisaran Rusia, punya sebuah teori. Berbasis riset kolega-koleganya, ia meyakini orang Rusia keturunan kaum Nordik (Norsemen). Ia bahkan percaya kekaisaran Kievan Rus' didirikan kaum imigran dari Skandinavia itu. 

Pada malam 6 September 1749, Muller pede membawa teori itu ke podium Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia di Saint Petersburg. Di hadapan kolega dan petinggi negeri, ia berpidato tentang teori asal-muasal bangsa Rusia itu. 

Pidato Muller tak tuntas. Di tengah pidato, kericuhan pecah. Para akademikus yang hadir di institusi pendidikan tertua di Rusia itu murka mendengar omongan Muller. Salah satu yang amarahnya terpantik ialah ahli astronomi N. I. Popov.  
 
"Anda (Muller), wahai penulis mashyur, telah mencemarkan nama bangsa kita," cetus Popov.  

Skandal yang "meresahkan publik" itu dibawa ke pihak ke kekaisaran. Tim juri dibentuk, investigasi digelar. Hasilnya, Muller dinyatakan bersalah. Semua riset dia terkait sejarah bangsa Rusia disita dan dimusnahkan. 

Dalam "The Origin of Rus" yang terbit di Russian Review pada 1977, Omeljan Pritsak menyebut pidato Muller menandai meruncingnya perdebatan mengenai asal-usul orang Rusia. Sebagian akademikus--dinamai kelompok Normanis--memihak Muller. Namun, mayoritas publik percaya bangsa Rusia keturunan bangsa Slavia yang mulanya mendiami Ukraina.

Kedua kubu, lanjut Pritsak, punya argumen masing-masing. Kelompok Normanis mendasarkan teorinya pada sejumlah catatan sejarah. Pertama, nama orang Rus' diyakini diambil dari Ruotsi, sebutan orang Finlandia kepada orang-orang Swedia pada pertengahan abad ke-9. 

"Mereka meyakini kaum Nordik, khususnya orang Swedia, yang mengatur kehidupan politik, pertama di sekitar Danau Il'men dan kemudian di tepian Sungai Dnieper (salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Rusia yang juga melintasi Ukraina)," tulis Pritsak.

Lain dari itu, perwakilan Rus' yang tercatat di dokumen perjanjian dengan Kekaisaran Byzantium juga ternyata punya nama yang Skandinavian "banget", semisal Karly, Inegeld, Farlof, dan Veremud. Dalam Annales Bertiniani, kumpulan dokumen sejarah yang ditemukan di Biara Santo Bertinus, Saint-Omer, Prancis, disebutkan bahwa salah satu perwakilan Rus' yang menyambangi Byzantium adalah orang Swedia. 

Sponsored

Argumen itu dibantah kaum anti-Normanis. Pertama, mereka mengklaim tak pernah ada suku bernama Rus' dalam catatan sejarah orang-orang Skandinavia. Ihwal perwakilan-perwakilan Rus' yang punya nama khas Skandinavia, kelompok anti-Normanis percaya mereka hanya kelompok spesialis yang memang ditugasi kekaisaran untuk urusan diplomasi.  

Pihak kekaisaran, sebagaimana diwakili para sejarawan "resmi" setelah era Muller, menurut Pritsak, cenderung berpihak pada kelompok anti-Normanis. Alasannya bersifat praktis. 

"Secara politis, teori Normanis berbahaya karena itu seolah menyangkal kemampuan bangsa Slavia untuk mendirikan sebuah negara merdeka dengan upaya sendiri," tulis Pritsak. 

Ilustrasi kota Kiev modern. /Foto Unsplash

Kiev dan para penguasanya

Perdebatan antara kaum Normanis dan anti-Normanis berlangsung hingga dua abad. Kedua kubu tak pernah menemui titik temu karena masing-masing teori punya kelemahan. Di luar perdebatan kontroversial itu, mayoritas orang Rusia percaya bahwa mereka merupakan keturunan suku Slavia yang menghuni Ukraina, khususnya area sekitar kota Kiev. 

Dalam Ukraine: A History (2009) yang diterbitkan University of Toronto Press, Orest Subtelny menjelaskan orang-orang Slavia mulai mendiami Ukraina sejak abad ke-6. Sebelumnya, Ukraina pernah jadi rumah bagi orang Syhctia, Samartia, Poliania, Yahudi, dan Yunani. 

Pada mulanya, orang-orang Slavia mendirikan desa-desa kecil di sekitar Kiev. Sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pedagang. Ketika itu, Kiev yang berdiri bersisian dengan Sungai Dnieper tengah berkembang sebagai sebuah kota perdagangan dan berada di bawah kuasa Poliania. 

Orang-orang Slavia mulai mendominasi Kiev dan Ukraina pada akhir abad ke-8. Pada 882, dipimpin Oleh, orang-orang Slavia memberontak dan melengserkan kekuasaan Poliania di Kiev. Di kota yang kelak jadi ibu kota Ukraina itu, Oleh mendirikan kerajaan Kievan Rus' dan menaklukkan suku-suku kuat yang tinggal di sekitar Kiev.

"Puncak kariernya (Oleh) sebagai penguasa terekam pada 911. Ketika itu, ia memimpin pasukan besar menyerbu dan menjarah Konstantinopel," tulis Subtelny. 

Selama berabad-abad, Kiev dikuasai pangeran-pangeran dari Slavia. Menurut Subtelny, kejayaan Kievan Rus' mulai memudar jelang abad ke-12. Selain karena perebutan kekuasaan yang tak kunjung usai, daya tarik Kiev sebagai kota perdagangan juga turut luntur.

Pada awal abad itu, pasukan Mongol mulai melancarkan invasi ke Ukraina. Satu per satu kota di bawah kuasa Kievan Rus' jatuh. Pada 1240, dipimpin Batu, cucu Jengiz Khan, bangsa Mongol tiba di Kiev. Selama berbulan-bulan, kota itu dikepung. 

Merasa tak punya peluang menang, Mykhailo, pangeran Kiev ketika itu, kabur meninggalkan penduduk kota berjuang sendirian. "Setelah pasukan Mongol menjebol tembok kota, pertempuran terus berlangsung di jalanan dan rumah-rumah. Akhirnya, pada Desember 1240, kota itu tunduk," tulis Subtelny. 

Kekuasaan orang Mongol tak bertahan lama. Pada abad ke-13, giliran Lithuania yang menginvasi Ukraina. Pada 1362, pasukan Lithuania mengusir orang Mongol dari Kiev. Setahun berselang, sebagian wilayah Ukraina berada di bawah kekuasaan Lithuania. 

Selain oleh Lithuania, Ukraina juga diserbu Polandia pada masa itu. Invasi dimulai pada 1349 dan berakhir pada 1366. Polandia sukses mengusai sejumlah kota, semisal Galicia dan sebagian wilayah Volhynia. Jelang abad ke-14, Polandia menggeser dominasi Lithuania di Ukraina. 

Direcoki perang sipil dan konflik internal yang tak kunjung usai, Kiev kian terpuruk. Sejak abad ke-13, menurut Subtelny, sebagian besar orang Slavia mengungsi ke Moskow. Seiring waktu, para pedagang besar juga turut pindah ke ibu kota Rusia modern tersebut. 

Pada abad ke-16, Ukraina mulai berada di bawah pengaruh Rusia. Pemicunya ialah pemberontakan orang-orang Cossack pada periode 1648-1657. Cossack ialah sebutan bagi orang-orang keturunan Slavia timur penganut Kristen ortodok. 

Dipimpin Hetman Bohdan Khmelnytsky, pemberontakan itu dipicu kekejaman "kuasa" Polandia terhadap orang-orang Cossack di seantero Ukraina. Dalam beragam pertempuran, Khmelnytsky dibantu orang-orang Tatar dari Krimea dan petani lokal Ukraina. 

Khmelnytsky sukses menguasai sejumah daerah di jantung Ukraina. Di area itu, Khmelnytsky kemudian membentuk sebuah negara mini untuk kaum Cossack (hemanate). Untuk memastikan wilayahnya tak kembali dicaplok Polandia, orang-orang Cossack meminta bantuan militer ke Tsar Rusia. 

Pada 1654, Perjanjian Pereyaslav disepakati orang Rusia dan Cossack. Dalam perjanjian itu, orang-orang Cossack bersumpah setia terhadap Tsar dengan imbalan perlindungan militer. Hemanate Cossack ditetapkan sebagai bagian dari Rusia. Orang-orang Rusia menyebutnya sebagai Rusia kecil (Malorosy). 

"Pada saat kematian Khmelnytsky (1657), orang-orang Cossack menguasai sebagian besar wilayah di sisi kiri dan kanan Sungai Dnieper, termasuk di antaranya Kiev, Bratslav, dan Chernihiv, sedangkan sebagian wilayah di barat Ukraina tetap berada di tangan Polandia," jelas Subtelny. 

Ilustrasi protes menentang perang Rusia-Ukraina. /Foto Pixabay

Dua sisi relasi Rusia-Ukraina

Disokong Perjanjian Pereyaslav, Rusia mulai memperkuat pengaruhnya Ukraina. Pertama, Rusia mengirimkan pasukan untuk mengamankan kota-kota yang dikuasai orang-orang Cossack. Setelah itu, Rusia mulai menginvasi kawasan-kawasan yang dikuasai Polandia dan Kekaisaran Turki di Ukraina.

Puncak invasi Rusia terjadi pada 1774. Setelah berulang kali gagal, pasukan Rusia akhirnya berhasil menaklukkan wilayah Semenanjung Krimea yang dikuasai orang-orang Tatar. Pada 1783, Ratu Catherine II mengumumkan Krimea sebagai bagian dari wilayah Kekaisaran Rusia. 

Catherine ialah penerus Peter I, tsar terakhir Rusia. Pada 1721, Peter I mendeklarasikan berdirinya Kekaisaran Rusia dan merilis proyek invasi dan sentralisasi koloni-koloni Rusia, termasuk di antaranya mengonversi penganut Katolik menjadi pengikut Kristen ortodok. Ukraina jadi salah satu korban kejamnya proyek invasi tersebut. 

Pada akhir abad ke-18, sekitar 80% wilayah Ukraina berada di bawah kendali Rusia. Sisanya dikuasai Austria. Pada masa itu, menurut Subtelny, para petinggi Kekaisaran Rusia seolah sudah memandang wajar jika Ukraina berada di bawah kaki Rusia.

Itu, jelas Subtelny, tergambar jelas dari inskripsi yang tertulis pada medali yang dianugerahkan untuk merayakan "prestasi" Catherine II pada 1793. Tertulis pada medali itu, "Aku telah mengembalikan apa yang sebelumnya terkoyak." 

Sentimen para penguasa Rusia tentunya tak merepresentasikan realita. Pada era itu, sebagian kaum intelek di Ukraina menolak negaranya jadi sekadar koloni Rusia. Di ruang publik, mereka menggelorakan nasionalisme Ukraina. 

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Di ranah opini publik, "pemberontakan" terhadap Rusia dilancarkan sejumlah pujangga. Salah satunya oleh Taras Shevchenko. Pada 1840, Shevchenko merilis buku puisi bertajuk Kobzar yang memicu perbincangan intelektual di kalangan seniman Rusia. 

Ketika itu, Kobzar satu-satunya kumpulan puisi berbahasa Ukraina yang kualitasnya dianggap mampu menyamai atau bahkan melampaui karya-karya penulis berbahasa Rusia. Oleh orang Rusia masa itu, bahasa Ukraina dianggap "bahasa petani" yang tak mampu menyampaikan makna mendalam. 

Sejarah Ukraina menjadi salah satu topik yang paling menarik bagi Shevchenko. Ia menyalahkan Khmelnytsky yang bikin Ukraina tak bisa menentukan nasib sendiri. Ia menyebut Peter I sebagai tiran dan tukang siksa. Ia juga terekam menghujat Catherine II. 

"Sekarang saya mengerti. Yang Pertama yang menyalibkan Ukraina kita. Dan, yang Kedua yang menghabisi janda dan yatim piatu kita. Pembunuh! Pembunuh! Kanibal!," tulis Shevchenko. 

Aktivitas Shevchenko bikin gerah penguasa Rusia. Pada April 1847, Shevchenko ditangkap. Ia kemudian dinyatakan bersalah dan diasingkan di instalasi militer Rusia di Orenburg, Orsk. Pada 10 Maret 1861, Shevchenko meninggal di Saint Petersburg. 

Meski begitu, nasionalisme Shevchenko tetap hidup di kalangan kaum muda Ukraina. Organisasi-organisasi pengusung nasionalisme Ukraina terbentuk. Upaya memberontak secara fisik pun dilancarkan. Namun, upaya tersebut tak pernah berhasil. 

Hingga Kekaisaran Rusia berganti jubah menjadi Uni Soviet, Ukraina tetap berada di bawah Rusia. Sempat dikuasai Jerman pada Perang Dunia II, negeri itu kembali ke pangkuan Uni Soviet setelah Jerman takluk pada sekutu. 

Ukraina baru bisa merdeka setelah Uni Soviet bubar pada 1991. Namun, kemerdekaan itu sepertinya bakal berumur pendek. Sejak beberapa hari lalu, pasukan Rusia tengah menggempur Ukraina. Puluhan orang telah tewas dan ribuan lainnya terpaksa mengungsi.

Sebelum invasi, Vladimir Putin, "kaisar" Rusia teranyar, sempat seolah berbagi sentimen dengan Catherine II. Di depan publik, ia mendadak mengumumkan Ukraina bagian tak terpisahkan dari Rusia. Ia menyebut Ukraina sebuah negara fiktif.

 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid