close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi saat meninggalkan Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda, Rabu (11/12). ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman
icon caption
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi saat meninggalkan Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda, Rabu (11/12). ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman
Dunia
Kamis, 19 Desember 2019 12:05

Suu Kyi: Setiap negara melalui masa sulit, tak terkecuali Myanmar

Aung San Suu Kyi mengucapkan terima kasih atas dukungan publik saat dirinya menghadiri sidang tuduhan genosida di Den Haag.
swipe

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi pada Rabu (18/12), mengucapkan terima kasih kepada massa yang melakukan pawai untuk mendukungnya saat dia membela negaranya atas tuduhan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.

Tuduhan genosida terhadap warga muslim Rohingya dilontarkan oleh Gambia. Negara kecil di Afrika Barat itu mendesak ICJ untuk memerintahkan tindakan sementara demi mencegah lebih banyak kerugian.

"Dukungan rakyat kami ... adalah sumber kekuatan besar bagi kami ketika kami mempresentasikan kasus itu di ICJ," kata Suu Kyi dalam pidato yang disiarkan di televisi.

Suu Kyi memimpin langsung delegasi Myanmar yang menghadiri persidangan pada 10-12 Desember. Dalam forum itu, dia kembali membantah tuduhan genosida dan mengatakan, ICJ tidak memiliki yurisdiksi.

"Setiap negara pasti pernah melewati masa-masa sulit, tidak terkecuali Myanmar. Persidangan semacam itu memberi kita peluang untuk menilai kekuatan dan kelemahan kita," kata dia.

"Tantangan yang kami hadapi di pengadilan sebenarnya muncul bukan hanya karena krisis yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, tetapi juga peluang yang terlewat begitu saja untuk menangani persoalan sosial, politik, dan ekonomi secara adil dan konstruktif, selama beberapa dekade."

Sebelum krisis Rohingya menjadi sorotan tajam, nama Suu Kyi harum sebagai pejuang HAM dan demokrasi. Putri dari Jenderal Aung San, salah satu pejuang kemerdekaan Myanmar, itu sempat menjadi tahanan rumah selama 15 tahun atas penentangannya terhadap junta militer.

Suu Kyi naik ke tampuk kekuasaan setelah meraih kemenangan telak dalam Pemilu 2015, yang mengakhiri kekuasaan militer selama setengah abad.

Sikap diam Suu Kyi terhadap isu Rohingya membuatnya kehilangan sejumlah penghargaan, bahkan muncul seruan untuk mencabut Nobel Perdamaian yang diterimanya pada 1991. Kritik terhadap Suu Kyi pun mengalir deras dari berbagai kalangan.

Namun, bagaimana pun, di dalam negeri dia masih menikmati dukungan banyak orang.

Upaya repatriasi

Delegasi pejabat Myanmar dilaporkan mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Bangladesh pada Rabu. Mereka berbicara dengan sejumlah warga Rohingya dalam upaya untuk memulai proses repatriasi.

Myanmar menyatakan siap menerima kembali pengungsi sejak Januari tahun lalu. Mereka telah membangun kamp di dekat perbatasan untuk menerima kembali pengungsi.

Para pemimpin Rohingya menegaskan ingin Myanmar mengakui hak kewarganegaraan mereka sebelum proses repatriasi berlangsung.

Lebih dari 730.000 warga muslim Rohingya dilaporkan melarikan diri ke Bangladesh menyusul tindakan keras dalam operasi militer pada 2017. Ratusan ribu warga muslim Rohingya yang masih berada di Myanmar sebagian besar ditolak kewarganegaraannya dan hidup dalam kondisi yang diibaratkan Amnesty International bak apartheid, "dikurung" di kamp-kamp dan desa-desa serta tidak dapat bebas bepergian.

Myanmar tidak menganggap Rohingya sebagai kelompok etnis asli negara itu. Myanmar, negeri yang mayoritas Buddhis, meyakini bahwa Rohingya adalah orang Bengali.

Pemimpin komunitas Rohingya Abdur Rahim yang bergabung dalam pembicaraan pada Rabu menuturkan bahwa tidak ada kemajuan yang dicapai.

"Kami sangat kesal. Ini hanya negosiasi gagal lainnya. Mereka mengatakan hal yang sama. Tidak ada yang baru," kata dia kepada Reuters.

img
Khairisa Ferida
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan