close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anak berkelahi. Foto:The Acorn Within
icon caption
Anak berkelahi. Foto:The Acorn Within
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 08 Juli 2025 11:00

Kapan orang tua harus turun tangan saat anak bertengkar dengan teman?

Terlalu cepat turun tangan bisa membuat anak bergantung pada orang tua setiap kali menghadapi tantangan, dan menghambat perkembangan emosionalnya.
swipe

Konflik antar anak-anak, terutama yang tidak memiliki hubungan darah, sering kali rumit. Terlebih jika sebagai orang tua tidak mengetahui secara persis apa yang terjadi. Meminta penjelasan dari anak usia enam tahun, misalnya, bisa terasa seperti mencoba memecahkan misteri besar hanya dari petunjuk samar. Namun, ketika anak merasa terganggu oleh konflik, dorongan alami orang tua tentu ingin segera memperbaikinya.

Pertanyaannya, kapan sebaiknya orang tua terlibat langsung, dan kapan saat yang tepat untuk memberi ruang agar anak belajar menyelesaikan masalah sendiri? Berikut panduan dari dua pakar dalam bidang pengasuhan anak dan kesehatan mental, Gigi Schweikert (CEO Lightbridge Academy) dan Sandra L. Whitehouse (psikolog senior di Child Mind Institute).

1. Pertama-Tama, nilai tingkat keparahan konflik
Langkah awal sebelum memutuskan untuk ikut campur adalah menilai tingkat keparahan insiden yang terjadi. Schweikert menekankan pentingnya mempertimbangkan risiko yang mungkin ditimbulkan oleh konflik tersebut. Misalnya, apakah ada kekerasan fisik? Apakah ini kejadian satu kali atau merupakan bagian dari pola yang berulang? Bagaimana perasaan anak setelahnya—apakah dia tampak gelisah, cemas, atau bahkan melupakan kejadian tersebut dengan cepat?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dapat menjadi panduan apakah konflik bisa dibiarkan menjadi pengalaman pembelajaran bagi anak, atau justru membutuhkan intervensi orang dewasa.

2. Memberi anak kesempatan menyelesaikan masalah sendiri
Ketika konflik tidak bersifat serius atau menimbulkan dampak emosional yang berkepanjangan, orang tua bisa mempertimbangkan untuk membiarkan anak menyelesaikannya sendiri. Sandra Whitehouse menjelaskan bahwa salah satu tujuan utama pengasuhan adalah membesarkan anak agar menjadi pribadi mandiri—mampu memecahkan masalah, menoleransi tekanan, serta bernegosiasi dan berkompromi.

Terlalu cepat turun tangan bisa membuat anak bergantung pada orang tua setiap kali menghadapi tantangan, dan menghambat perkembangan emosionalnya. Dalam situasi seperti ini, orang tua disarankan untuk menjadi pendengar yang baik, memvalidasi perasaan anak, lalu membimbing mereka memilih cara menyelesaikan konflik.

Konsep ini sejalan dengan pendekatan The Scaffold Effect oleh Harold S. Koplewicz, di mana anak didukung untuk mempraktikkan keterampilan mengatasi masalah, sambil tetap berada dalam pengawasan dan bimbingan orang tua.

3. Namun, konflik yang berkepanjangan memerlukan campur tangan
Tidak semua konflik bisa atau seharusnya diselesaikan oleh anak sendiri. Schweikert menyarankan intervensi ketika terjadi risiko kekerasan fisik yang berkelanjutan, tanda-tanda perundungan, atau ketegangan emosional yang semakin meningkat. Whitehouse menambahkan bahwa orang tua perlu menyampaikan empati dan dukungan kepada anak—mengakui bahwa jika solusi mudah ada, anak mungkin sudah melakukannya.

Dalam kondisi ini, orang tua bisa bekerja sama dengan anak untuk menyusun langkah berikutnya. Termasuk menentukan apakah perlu melibatkan guru, orang tua anak lain, atau profesional seperti terapis. Masalah kecil seperti selisih paham soal permainan atau antrean bisa menjadi ajang belajar. Namun, jika menyangkut intimidasi media sosial, perundungan berulang, atau kekerasan fisik, maka perlu segera ditangani secara serius.

4. Jika harus turun tangan, lakukan dengan empati dan langsung
Bila diperlukan komunikasi dengan orang tua anak lain, penting untuk memilih waktu dan tempat yang tepat agar diskusi bisa berlangsung tenang dan terbuka. Schweikert menyarankan agar orang tua tidak memulai percakapan ketika suasana tidak kondusif, misalnya saat sedang terburu-buru.

Whitehouse menyarankan untuk menghindari berkomunikasi lewat pesan teks. Pendekatan terbaik adalah secara langsung, dengan sikap terbuka, empati, dan fokus pada solusi demi kebaikan kedua anak. Validasi kekhawatiran pihak lain dan ciptakan suasana saling percaya.

5. Ketika kesepakatan tidak tercapai
Tak semua upaya komunikasi akan membuahkan hasil. Jika salah satu pihak menolak berdiskusi, pilihan lain adalah melibatkan pihak ketiga yang netral, seperti guru atau konselor. Namun, jika semua jalan buntu, tidak apa-apa untuk mundur sejenak dan kembali membahasnya di lain waktu.

Situasi ini juga bisa menjadi pelajaran penting bagi anak, bahwa tidak semua konflik bisa diselesaikan dengan sempurna. Kadang, menjaga jarak dari teman tertentu atau belajar untuk memilih lingkungan sosial yang sehat adalah langkah terbaik.

Yang perlu diingat, menghadapi konflik anak bukan sekadar menyelesaikan masalah saat itu juga. Ini adalah bagian dari proses panjang membekali mereka dengan kemampuan sosial, emosional, dan mental agar dapat tumbuh menjadi individu yang tangguh dan mandiri. Kapan harus turun tangan dan kapan memberi ruang, semua berpulang pada keseimbangan yang bijaksana—serta kepercayaan bahwa anak mampu belajar dari setiap pengalaman yang mereka hadapi. (purewow)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan