Betapa pentingnya sosok ayah terhadap anak perempuan
Ketidakhadiran sosok ayah atau fatherless di tengah-tengah keluarga belakangan ini menjadi perhatian dalam melihat perkembangan psikologis pada anak di Indonesia. Data menunjukkan, sekitar 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa adanya peran ayah dalam kehidupannya. Dari 15,9 juta anak itu, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Lalu, 11,5 juta anak tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari.
Menurut psikoterapis Kaytee Gillis dalam Psychology Today, ayah memainkan peran penting dalam perkembangan emosional dan psikologis anak. Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah, berisiko lebih tinggi mengalami harga diri rendah, prestasi akademik yang buruk, dan kesulitan membangun hubungan yang sehat.
Sudah banyak penelitian yang mengulas pentingnya peran ayah terhadap anak-anaknya. Penelitian yang diterbitkan di jurnal Evolutionary Psychological Science awal tahun ini misalnya, menemukan kualitas, bukan hanya kehadiran, keterlibatan ayah selama masa kanak-kanak punya dampak jangka panjang terhadap cara anak laki-laki memandang hubungan romantis.
Penelitian yang dilakukan University of Virginia dan Hampton University, terbit pada Juni 2025, yang menganalisis data sensus Amerika Serikat lebih dari 1.300 anak di Virginia mengungkap, anak-anak dengan ayah yang terlibat mungkin memperoleh nilai tertinggi, lebih kecil kemungkinannya mengalami masalah perilaku di sekolah, dan lebih kecil kemungkinanna menunjukkan depresi.
Terutama bagi anak perempuan, lebih mungkin mendapatkan nilai yang lebih baik dengan ayah yang terlibat, sebesar 53%, dan jauh lebih kecil kemungkinan didiagnosis mengalami depresi, sebesar 1%.
“Ayah penting bagi anak laki-laki dan perempuan,” kata salah seorang penulis studi, Brad Wilcox, dikutip dari Fox News.
“Namun, mereka lebih penting bagi perilaku anak laki-laki di sekolah dan kesejahteraan emosional anak perempuan.”
Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Behavioral Neuroscience pada 2017 menemukan, ayah yang memiliki anak perempuan balita cenderung lebih memperhatikan dan tanggap terhadap kebutuhan anaknya dibandingkan ayah yan punya anak laki-laki balita. Temuan ini berasal dari pemindaian otak dan rekaman interaksi harian antara ayah dan anak mereka.
Menurut penelitian itu, ayah dengan anak perempuan juga lebih sering bernyanyi untuk putrinya dan berbicara lebih terbuka tentang emosi, termasuk kesedihan. Hal ini kemungkinan terjadi karena mereka lebih menerima ekspresi perasaan anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.
Menariknya, ayah dengan anak perempuan menggunakan bahasa yang lebih analitis — misalnya kata “semua”, “di bawah”, atau “banyak”—yang dalam penelitian lain dikaitkan dengan kesuksesan akademis di masa depan.
“Jika anak menangis atau memanggil ayah, ayah dengan anak perempuan lebih sering merespons dibandingkan ayah dengan anak laki-laki,” ujar peneliti utama dari University Emory, Jennifer Mascaro, dikutip dari American Psychological Association.
“Kita perlu menyadari bagaimana konsep gender yang tidak disadari bisa memengaruhi cara kita memperlakukan anak-anak, bahkan sejak usia sangat dini.”
Di sisi lain, penulis Dale M. Kushner dalam Psychology Today mengatakan, menjadi anak perempuan tanpa kehadiran ayah berarti merasakan kehilangan figur ayah, baik secara emosional, fisik, maupun keduanya. Seorang ayah mungkin tak hadir di rumah karena berbagia alasan di luar kendalinya. Setiap situasi, kata Kushner, membawa dampak yang berbeda bagi seorang anak perempuan.
“Penyakit atau kematian dapat menambah beban kesedihan, sementara alasan lain seperti dinas militer, deportasi, adopsi, pemenjaraan, perceraian, atau ketidakpedulian menimbulkan luka dengan cara yang berbeda,” tulis Kushner.
Bahkan, kata Kushner, seorang ayah yang tetap hadir secara fisik tetapi jauh secara emosional, manipulatif, kasar, atau depresi pun dapat membuat anak perempuannya mengalami tekanan psikologis.
“Ambisi, kemandirian, serta kepercayaan seorang anak perempuan terhadap dunia banyak dipengaruhi oleh hubungannya dengan sang ayah,” kata Kushner.
Sementara itu, profesor psikologi remaja dan pendidikan di Wake Forest University, Linda Nielsen mengatakan, anak perempuan yang punya hubungan erat dengan ayah mereka sejak kecil—terlepas dari latar belakang ekonomi, pendidikan, ras, atau agama—cenderung meraih nilai akademik lebih tinggi, berpenghasilan lebih besar, dan lebih tangguh secara emosional saat dewasa.
Dikutip dari Forbes, penelitian Nielsen di Wake Forest University juga menemukan, perempuan yang memiliki hubungan kuat dengan ayah mereka cenderung lebih sukses dalam tiga bidang utama, yang dia sebut 3M: money (uang), men (hubungan dengan pria), dan mental health (kesehatan mental). Menariknya, keberhasilan ini tidak semata-mata karena ayah menjadi “teladan yang baik” dalam bekerja keras atau berperilaku positif terhadap pasangan.
“Sebaliknya, hal itu lebih berkaitan dengan bagaimana anak perempuan belajar menilai risiko, menghadapi tantangan, serta membangun rasa aman dan percaya diri dalam menjalin hubungan maupun menjalani kehidupan,” tulis Forbes.


