close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto: Pixabay
icon caption
Ilustrasi. Foto: Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 16 Juli 2025 14:00

Curhatan di media sosial ungkap beratnya tekanan emosional anak sakit kronis

Kondisi seperti kanker, asma, nyeri kronis, serta masalah kesehatan mental menjadi penyebab utama tekanan emosional ini.
swipe

Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa anak-anak yang menderita penyakit kronis ternyata mengalami tekanan emosional yang luar biasa berat—dan media sosial menjadi tempat mereka dan orang tua mencurahkan isi hati mereka.

Penelitian ini dilakukan oleh tim dari University of Plymouth, Inggris. Mereka menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membaca dan menganalisis ribuan komentar yang ditulis oleh hampir 400 anak serta pengasuh mereka di media sosial, khususnya di platform Care Opinion, yang kerap digunakan masyarakat Inggris untuk berbagi pengalaman tentang layanan kesehatan.

Fokus penelitian ini adalah memahami apa yang dirasakan anak-anak selama menjalani pengobatan, khususnya di masa pandemi COVID-19, dan bagaimana kondisi tersebut memengaruhi kesehatan mental serta emosional mereka.

Hasilnya cukup mengejutkan. Dari semua komentar yang dikumpulkan, hampir 94 persen berisi ungkapan negatif—seperti kesedihan, rasa takut, bahkan rasa kecewa terhadap sistem kesehatan yang dianggap kurang responsif. Banyak anak mengungkapkan kesulitan dalam menjalani pengobatan yang panjang, kunjungan rumah sakit yang berulang, hingga terputusnya rutinitas akibat pandemi.

Kondisi seperti kanker, asma, nyeri kronis, serta masalah kesehatan mental menjadi penyebab utama tekanan emosional ini. Dalam komentar mereka, anak-anak dan orang tua banyak menyebutkan betapa menakutkannya proses pengobatan yang mereka jalani. Perasaan terisolasi, ketidakpastian soal hasil pengobatan, dan terganggunya akses layanan medis membuat situasi semakin berat.

Namun, di tengah banyaknya keluhan, ada juga sisi positif yang menarik. Meski hanya sekitar 6 persen komentar yang bernada positif, sebagian besar di antaranya datang dari pengalaman baik—misalnya ketika bertemu tenaga kesehatan yang ramah, mendapatkan perawatan penuh perhatian, atau berhasil melewati masa sulit dalam pengobatan. Komentar seperti ini memberi gambaran bahwa harapan dan kekuatan bisa muncul bahkan di tengah kondisi paling menantang sekalipun.

Studi ini dipimpin oleh Prof. Shang-Ming Zhou, pakar e-Health dari University of Plymouth. Ia menyebut bahwa ini adalah penelitian pertama yang menggunakan AI untuk memahami perasaan pasien anak melalui media sosial.

“Lewat studi ini, kami melihat bagaimana emosi anak-anak dan pengasuh mereka saling berkaitan dengan beratnya kondisi kesehatan yang mereka hadapi,” ujar Zhou. “Pandemi membuat tekanan itu makin besar, dan penting bagi sistem layanan kesehatan untuk menyadari hal ini.”

Israel Oluwalade, mahasiswa pascasarjana yang ikut menganalisis data, juga terkesan dengan apa yang ia temukan. “Saya melihat begitu banyak komentar yang menunjukkan rasa takut dan sedih, terutama dari mereka yang menjalani pengobatan jangka panjang,” katanya.

Namun yang paling mengejutkannya adalah adanya komentar-komentar penuh rasa syukur dan haru saat anak-anak menerima perhatian dari staf medis atau mengalami kemajuan dalam pengobatan. “Itu jadi pengingat bahwa di balik rasa sakit, ada ketahanan dan harapan yang luar biasa dari anak-anak ini,” ujarnya.

Penelitian ini jadi pengingat penting bagi para tenaga kesehatan dan pembuat kebijakan: merawat anak sakit bukan hanya soal fisik, tapi juga menyentuh sisi emosional mereka. Dukungan psikologis harus jadi bagian dari layanan kesehatan, apalagi bagi anak-anak dengan kondisi kronis yang panjang dan berat.(Ibc)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan