sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dari atlet hingga streamer: Cerita para penikmat cuan dari gim online

Tak hanya jadi atlet e-sport, gamer juga bisa menghasilkan duit dengan jadi streamer, pelatih gim, dan beragam profesi lainnya.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Minggu, 01 Mei 2022 16:52 WIB
Dari atlet hingga streamer: Cerita para penikmat cuan dari gim online

Pada mulanya, Mohammad Kautsar hanya sekadar iseng. Suntuk karena mobilitasnya dibatasi pada awal pandemi Covid-19, Kautsar menjajal gim online. Bersama sobat-sobatnya, berjam-jam ia habiskan setiap hari di ruang virtual. 

Merasa telah mahir, Kautsar mulai serius menggeluti gim online. Ia dan sobat-sobatnya kemudian sepakat membentuk tim dan manajemen e-sports. Mereka juga mulai aktif untuk mengikuti sejumlah turnamen, dari yang kelas kelas teri hingga bergengsi. 

“Jadi, e-sports memang benar telah mengubah hidup aku. Ini bukan hanya sekedar olahraga atau senang-senang saja, tetapi (e-sports) ini sudah menjadi profesi,” tutur Kautsar saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (29/4).

Tahun lalu, Kautsar keluar dari tim yang ia dirikan itu. Ia dipinang klub e-sport ternama RANS E-Sport. Selain sebagai pemain, ia juga langsung diberi kepercayaan oleh manajemen RANS membentuk dan mengelola tim untuk gim Player Unknown's Battleground (PUBG).

RANS kepincut dengan rekam jejak Kautsar di berbagai turnamen gim online. "Gabung RANS, aku langsung masuk di tim inti,” ujar pria berusia 25 tahun itu. 

Namun, Kautsar tak lama menjadi atlet RANS. Setelah dari Rans, kemudian dipinang OMG E-Sports. Awal tahun ini, ia memutuskan gantung gawai dan memilih menjadi pelatih tim yang ia dirikan di salah satu klub e-sports yang tergolong besar itu. 

Kautsar mengaku ada banyak cuan yang bisa didapat di dunia e-sports. Selain dari gaji, atlet e-sports selalu punya kesempatan untuk meraup  dari turnamen. Apalagi, kompetisi e-sports umumnya berjalan "sepanjang musim."

"Hampir setiap minggu itu kita ikut dua kali turnamen meski yang kecil-kecil. Jadi, kalau bicara uang, bisa didapat dari hadiah kan? Lumayan juga meski turnamennya kelas kecil. Belum lagi kita juga mendapat gaji. Kalau masalah uang, lebih dari cukup sih,” imbuhnya.

Sponsored

Selain jadi atlet, menurut Kautsar, ada banyak profesi-profesi yang lahir dari e-sports yang tak kalah menjanjikan. Ia mencontohkan "artis" e-sports yang kerjanya menggunggah video permainan di Youtube atau platform streaming lainnya. 

Profesi itu, kata Kautsar, kini kian banyak peminatnya. Tak hanya sekadar dari kalangan eks atlet profesional, banyak pemain amatir juga terjun jadi streamer atau Youtuber gaming. “Sekarang, kan, bisa menjadi influencer atau streamers games,” tutur Kautsar.

Livestreaming adalah proses menyiarkan aktivitas seseorang melalui video secara real-time atau live menggunakan internet. Belakangan, istilah streamer kerap dilekatkan kepada para kreator konten yang menyiarkan langsung aktivitas mereka bermain gim. 

Satu suara dengan Kautsar, Dani Hermawan, 20 tahun, mengakui profesi atlet e-sport kian menjanjikan. Selain di tingkat nasional, menurut Dani, kompetisi dan turnamen e-sport di tingkat daerah juga kian rutin digelar. 

“Apalagi, prize pool (uang hadiah dari turnamen) itu yang seringkali sangat fantastis beserta salary (gaji) dari setiap tim sesuai kontrak masing masing pemain,” tutur Dani saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (30/4). 

Dani adalah salah satu atlet klub e-sports First Raiders. Klub itu utamanya menggeluti gim Free Fire, salah satu gim online Battle Royale Survival yang sangat populer di Indonesia. Sebagaimana gim online lainnya semisal PUBG dan Mobile Legends: Bang-bang, gim itu juga kerap dijadikan materi livestreaming oleh para "artis" e-sports. 

Meski mengakui potensi Free Fire sebagai konten livestreaming dan penghasil cuan tambahan, Dani mengaku belum tertarik untuk jadi streamer. Ia menegaskan masih fokus untuk mengasah keahliannya main gim serta ikut serta dalam beragam turnamen. 

"Dan cari fans sebanyak-banyaknya dulu. Saya enggak mau cari sampingan, misalnya, lewat livestream. Karena kalau main gim dibarengin livestream, takutnya enggak fokus ke latihan dan turnamen,” tandas Dani.

Ilustrasi atlet e-sport. /Foto Antara

Streamer gim 

Berbeda dengan Kautsar dan Dani, Cindy Ang, 25 tahun, lebih memilih jadi livestreamer gim ketimbang jadi atlet e-sport. Meski hobi bermain gim, Cindy tak yakin bisa "berjaya" di level profesional. Selain itu, ia juga masih punya pekerjaan tetap sebagai karyawan swasta. 

"Kalau profesional itu terlalu menyita banyak waktu. Lagi pula penghasilan yang didapat lumayan cukup lumayan sih meski enggak tentu. Paling kecil Rp300 ribu dan yang paling besar Rp1 jutaan,” kata Cindy saat dihubungi Alinea.id, Kamis (28/4).

Cindy biasanya melakoni livestreaming di platform Saweria. Duit yang didapat Cindy berasal dari tips atau donasi dari para penonton yang suka dengan konten yang ia siarkan. Para penonton livestream di Saweria memang bisa memberikan donasi secara langsung via link donasi yang ditautkan oleh streamer

Cindy mengungkapkan ia saat ini tengah berupaya menjalin kerja sama dengan agensi klub e-sport Rex Regum Qeon (RRQ). Jika dipinang agensi, menurut dia, penghasilan streamer bisa berlipat ganda. Selain dapat donasi dari penonton, para streamer juga bisa digaji langsung oleh agensi. 

Para streamer gim, kata Cindy, akan mendapat gaji bulanan dari agensi bila mencapai target tertentu. Target yang ditetapkan agensi semisal streamer memenuhi durasi livestream tertentu dan seberapa lama waktu penonton bertahan di chanel livestream. "Nah, itu kita bisa dapat cuan dari sana," ujar Cindy. 

Cara lainnya untuk mendongkrak penghasilan, lanjut Cindy, ialah dengan menambah pengikut atau follower di akun media sosial. Semakin populer seseorang di jagat maya, maka semakin besar kemungkinan aktivitas livestream-nya ditonton banyak warganet.

“Potensi mencari cuan dari stream besar? Iya, tetapi tantangannya besar. Karena, lawannya juga banyak. Streamer-streamer itu banyak. Jadi kita harus punya keunikan tersendiri, identitas, atau sesuatu yang bisa kita jual agar bisa menarik orang untuk menonton livestream kita,” tutur Cindy.

Serupa, Kemal Mohammad Ahad, 25 tahun, mulai serius menjadikan livestreaming sebagai pekerjaan sampingan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Pada mulanya, Kemal bahkan tak pernah punya bayangan bisa mendapat duit dari aktivitas tersebut. 

Dua tahun lalu, Kemal iseng menyiarkan aktivitasnya bermain gim e-sport di media sosial. Ternyata, livestreaming-nya ditonton banyak orang. Sejumlah warganet bahkan tergerak untuk mendonasikan duit mereka saat Kemal sedang livestreaming

“Kalau dihitung-hitung, gue sudah dapat jutaan rupiah dari awal livestream (gim e-sport) dari 2020. Tetapi, itu baru dapat dari penonton yang donasi saja, ya. Belum dari adsense,” tutur Kemal saat dihubungi Alinea.id, Kamis (28/4).

Kemal biasanya streaming via platform YouTube. Karena tergolong pemain baru, akun pribadi YouTube Kemal hingga kini belum memenuhi syarat untuk dipasangi iklan. Streamer baru berhak mendapatkan duit dari adsense jika telah memiliki 100 ribu subscriber dan jam tayangnya telah mencapai 4.000 jam.

“Kalau sudah di-monetize sama Google adsense, otomatis bakal besar. Makanya, sekarang gue lagi fokus untuk livestream terus untuk memenuhi syarat adsense. Subscriber gue masih 141 dan jam tayang gue juga masih 3000 jam," kata Kemal.

Ilustrasi streamer gim online. /Foto Unsplash/Fredrick Tendong

Potensial terus berkembang

Wakil Ketua Umum IV Indonesia E-sports Association (IESPA) Yudi Kurniawan mengatakan dunia e-sport terus bertransformasi. Menurut dia, tak tertutup kemungkinan akan muncul beragam profesi anyar yang dipicu perkembangan e-sport. 

“Dulu e-sport itu kan hanya sebatas hobi. Kalau sekarang, sudah bisa jadi profesilah.  Jadi, sebenarnya gamers itu enggak harus jadi pemain pro. Mereka bisa jadi streamer, YouTuber gaming, dan sebagainya,” tutur Yudi saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (30/4).

Lebih jauh, Yudi menilai wajar jika kian banyak orang yang terjun menjadi streamer gim. Pasalnya, modal yang dibutuhkan terbilang minim, yakni hanya sekadar gawai, akun media sosial, dan jaringan internet. Di lain sisi, jumlah penonton livestreaming gim di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. 

“Jadi, meningkatkan dia punya dari sisi ekonomi, ya, jauh lebih baik. Enggak pemain profesional doang yang dilihat penonton gamers di Indonesia itu. Tetapi, streamers yang lain juga bahkan lebih banyak ditonton dari pada pemain profesional,” ucap Yudi.

Belakangan, kegiatan menonton livestream gim memang sedang nge-tren. Perusahaan analisis Stream Hatchet melaporkan penonton livestream menghabiskan 34,6 miliar jam pada 2021. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi pertumbuhan durasi penonton livestreaming hingga 21%. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Tak hanya ekosistem bisnis, menurut Yudi, pengelolaan permainan olahraga elektronik juga berkembang pesat. Ia merasa iklim e-sport dalam negeri lebih maju ketimbang negara-negara Asia Tenggara. Salah satunya tandanya ialah terbentuknya organisasi olahraga yang mewadahi pemain e-sport seperti IESPA dan Pengurus Besar Esport Indonesia (PBSEI).

Berbarengan dengan itu, Yudi mengakui, atlet e-sport saat ini juga jauh lebih sejahtera jika dibandingkan dulu. Seperti lazimnya yang terjadi di cabang olahraga konvensional, para pemain berbakat bisa dikontrak klub-klub profesional dengan nilai kontrak yang fantastis. 

“Dulu 2010, saya dikontrak itu gajinya masih setara UMR (upah minimum regional). Sedangkan sekarang saja yang saya tahu streamer atau pemain pro saja itu sudah puluhan juta buat gaji doang. Tim-tim sekarang juga sudah punya gaming house sendiri dan sudah punya fanbase yang besar. Mereka sudah bisa jual merchandise yang nilainya puluhan juta sampai miliaran,” terang dia. 

Denga iklim seperti itu, Yudi optimistis profesi-profesi yang berhubungan dengan dunia e-sport akan terus diminati. Apalagi, sejumlah sekolah kini memasukkan e-sport sebagai kegiatan ekstrakurikuler mereka. 

“Yang penting kita bagaimana caranya untuk membuat bibit (pemain berbakat) itu tetap ada. Bibit itu muncul enggak harus ada di pusat kota, di daerah itu justru lebih banyak muncul dari pada di pusat," kata Yudi. 

Berita Lainnya
×
tekid