sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gurita toko kelontong Madura di perkampungan Jakarta

Hampir selalu ada toko kelontong Madura di permukiman padat penduduk di Jakarta.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 27 Okt 2020 09:00 WIB
Gurita toko kelontong Madura di perkampungan Jakarta

Hujan deras mengguyur sejumlah kawasan di Ibu Kota, Senin (19/10) malam itu. Meskipun hawa dingin mulai merasuk ke toko kelontong yang ia jaga, Adriono membiarkan dadanya telanjang. Hanya sarung tipis yang menyelimuti tubuh pria berusia 25 tahun itu.

Biasanya, Adriono bergantian jaga dengan sang istri. Namun, hari itu istri Adriono yang seharusnya jaga toko pada pagi hari berhalangan. Meski harus jaga sendirian seharian penuh, Adriono "tak berani" menutup toko kelontong milik bosnya itu. 

"Kalau istri saya pagi sampai sore. Ya, malamnya saya yang jaga. Kami mah biasa buka 24 jam. Bahkan, memang harus," ujarnya saat berbincang dengan Alinea.id di warungnya di Jalan Warung Pojok, Semanan, Kalideres, Jakarta Barat. 

Adriono sudah empat tahun bekerja sebagai penjaga toko kelontong dan empat kali berganti bos. Dia orang Sumenep, Madura, Jawa Timur. Bosnya saat ini juga orang Sumenep. Begitu pula tiga bos Adriono sebelumnya. 

"Semua orang Madura yang buka kelontong di Jakarta, ya, pasti orang Sumenep. Saya sih belum pernah ketemu dari daerah lain. Katanya sih ada. Tapi, rata-rata sih orang Sumenep," ujar Adriono.

Belakangan, toko kelontong Madura memang tengah menjamur. Di sepanjang Jalan Warung Pojok saja, ada 10 toko kelontong Madura. Setiap pemilik atau penjaga warung saling kenal. "Masih ada yang saudara juga," ujar Adriono.

Adriono memaparkan setidaknnya dua alasan kenapa bisnis toko kelontong diminati warga Sumenep. Pertama, banyak orang Madura yang sukses saat merantau dan buka warung di Jakarta. Kedua, kesulitan ekonomi yang dialami sebagian besar warga Sumenep yang berprofesi sebagai petani tembakau.

Saat musim panen usai, menurut Adriono, banyak warga kampung yang menganggur. Situasi seperti itu setidaknya dialami langsung oleh Adriono. "Nah, kalau tidak musim (tembakau) saya ke Jakarta jaga warung. Tapi, kalau lagi musim tembakau kadang saya pulang," ujar dia. 

Sponsored

Meskipun menjual produk yang sama, menurut Adriono, pengusaha toko kelontong Madura di daerahnya jarang berkonflik antara satu dan lainnya. Alih-alih rebutan pelanggan, pengusaha toko atau bahkan para penjaganya malah kerap saling bantu. 

"Sebagai contoh, kita kan jual bensin eceran juga. Premium itu kan yang paling susah dicari. Nah, kadang kalau ada rekan yang punya premium itu tidak sungkan bagi-bagi ke temen lain. Lalu, bila malam-malam kita kehabisan rokok, kita itu bisa pinjam dulu barang ke temen," tutur dia. 

Solidaritas juga ditunjukkan saat ada pedagang kelontong asal Sumenep yang dibekap masalah, semisal diintimidasi warga, dirampok, atau tertimpa musibah. Adriono mengatakan, para perantau asal Sumenep tak bakal sungkan untuk mengulurkan tangan.

"Kami itu berjejaring se-Jakarta, meskipun enggak semuanya saling kenal. Tapi, kalau ada masalah atau ada orang yang berbuat onar, kita cukup telepon satu orang untuk menengahi. Kecuali kalau kita sudah diserang. Kalau begitu, apa mau dikata," ujarnya.

Dua petugas bea cukai menginspeksi toko kelontong. /Foto dokumentasi Dirjen Bea Cukai.

Deretan botol bensin di depan warung

Kisah serupa juga dituturkan Cholil, 37 tahun. Sebagaimana Adriono, Cholil juga berasal Sumenep. Namun, ia baru kali pertama bekerja sebagai penjaga toko kelontong Madura di Jakarta. 

"Tembakau lagi enggak bagus di kampung," ujarnya saat berbincang dengan Alinea.id di depan toko kelontong yang ia jaga di kawasan Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Senin (19/10).

Cholil menggantikan sang adik yang pulang kampung dan mendapat pekerjaan baru di Sumenep. Selain karena pendapatannya lebih jelas, Cholil juga merasa tenang bekerja di Jakarta lantaran sang pemilik warung ialah teman masa kecilnya. 

"Kalau bertani (tembakau), kan mesti nunggu tiga bulan (baru panen). Apalagi, masalah tembakau itu. Modalnya luar biasa, tapi harganya suka jatuh," ujar dia.

Dituturkan Cholil, toko kelontong Madura sebenarnya sama saja dengan toko kelontong lainnya. Isi barang dagangannya pun relatif serupa. Yang membedakan ialah kebiasaan buka 24 jam dan lemari kaca berisi bahan bakar minyak (BBM) eceran di depan warung. 

"Kenapa ada bensin di depan warung? Ya, karena kami anggap ini salah satu bahan pokok yang dicari orang. Tapi, memang sudah jadi ciri warung Madura," ucapnya.

Diakui Cholil, beroperasi selama 24 jam berisiko. Menurut dia, perampokan toko kelontong Madura di Jakarta dan daerah-daerah lainnya di pinggiran ibu kota sudah jamak terjadi. Toko yang ia jaga pun pernah kecurian. 

"Tantangannya, capek jaga sampai 24 jam. Kadang-kadang masih ada yang mau gangguin. Cuma tengok-tengok. Kalau ada orangnya (yang jaga), baru mau beli. Kalau enggak ada orangnya, mau diambil (barangnya). Warung saya pernah kehilangan susu satu dus," ucapnya.

Risiko itu, kata Cholil, sebanding. Ia mengaku bisa mengantongi hingga kisaran Rp4-5 juta dari bagi untung dengan bosnya. "Misalnya sebulan keuntungan Rp10 juta. Diambil kontrak Rp1,5 juta. Nah, sisanya dibagi. Sebanyak 50% buat saya, 50%-nya lagi masuk ke bos," ujarnya.

Meski baru menginjakkan kaki di Jakarta tak lama sebelum pandemi Covid-19 merebak, Cholil mengklaim sudah paham seluk-beluk bisnis toko kelontong. Saat ini, ia tengah mengumpulkan modal untuk membuka toko kelontong miliknya sendiri.

"Soalnya untuk buka satu warung, kita harus siapin Rp200 jutalah kurang lebih. Itu untuk sewa kios, beli perlengkapan, dan sembakonya," jelas dia. 

Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (15/1). /Antara Foto

Berkembang dari Jakarta Utara 

Ketua Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Achmad Fauzy mengatakan bisnis toko kelontong Madura kali pertama dipelopori para perantau asal Sumenep yang bermukim di Jakarta Utara sekitar 10 tahun lalu. Karena sejak awal terkenal bergelut dengan dunia usaha sembako, tak sulit bagi para pelopor itu menaklukkan Jakarta. 

Kabar kesuksesan mereka kemudian menyebar dan direplikasi di daerah lainnya. Kerabat, rekan, sahabat, dan warga sekampung pun direkrut untuk dipekerjakan menjaga toko. Walhasil, warung kelontong Madura pun kian marak.

"Jadi, identik karena berawal dari satu daerah yang mempekerjakan orang dari kampungnya terus berkembang dengan ciri sama. Bahkan dalam lima tahun terakhir ini setiap gang dan pertigaan atau perempatan dalam pemukiman padat akan dijumpai pedagang kelontong Sumenep," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (20/10).

Pada mulanya, toko kelontong Madura lebih banyak buka di pinggir jalan raya. Namun, toko-toko itu terdesak oleh kehadiran ritel waralaba modern semacam Alfamart dan Indomaret. "Nah, setelah Alfa menjamur mereka berstrategi masuk ke pemukiman padat," ujarnya.

Tak hanya "menguasai" perkampungan-perkampungan padat di Jakarta, menurut Achmad, para pebisnis toko kelontong Madura juga merambah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. "Cirinya ada (etalase berisi botol) bensin di depannya. Terus buka 24 jam," ucap dia.

Untuk mewadahi para pebisnis toko kelontong asal Sumenep, Ikama dan Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI) dibentuk. Selain sebagai tempat berhimpun, PPKSI juga dimaksudkan sebagai lembaga advokasi bagi para pedagang kelontong. 

"Untuk memberi arahan dan memberi perlindungan hukum kalau ada kasus-kasus pemalakan dan perampokan. Sudah lebih dari 15 kejadian yang menimpa pedagang kelontong Sumenep. Di depok saja sudah 4 kejadian satu bulan. Faktornya karena sepi dan buka 24 jam," tutur dia. 

Guru besar Antropologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Heddy Shri Ahimsa memandang toko kelontong Madura bisa beranak-pinak karena menerapkan pola bisnis berbasis kekerabatan. Pola seperti itu juga lazim dikembangkan pebisnis etnis Tionghoa dan suku-suku "perantau" lainnya. 

"Dengan ikatan kekerabatan ini, mereka lebih mudah berkerja sama karena sudah saling kenal. Seandainya ada masalah, itu juga bisa lebih mudah diselesaikan," ujar Heddy saat dihubungi Alinea.id, Jumat (23/10).

Bisnis berbasis kekerabatan, kata Heddy, juga lebih cepat berkembang lantaran akumulasi kapital lebih mudah. "Dengan kerabat itu utang-piutang lebih gampang. Pinjam-meminjam lebih gampang kalau dengan kerabat itu karena pada dasarnya lebih percaya," kata dia. 

Lebih jauh, Heddy mengatakan, para pedagang kelontong Sumenep solid karena sama-sama tengah berada di tanah perantauan. Tekanan warga setempat terhadap bisnis dan eksistensi mereka membuat para perantau asal Sumenep itu saling menjaga. 

"Solidaritas kelompok itu menjadi sangat penting. Solidaritas orang yang berasal dari tanah yang sama. Apalagi, kalau masih satu kerabat. Mereka berjejaring untuk memperkuat solidaritas di tanah rantau karena itu upaya untuk survive," kata dia. 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid